“Tunggu waktu yang tepat,” begitu alasan Pak Kyai.
Sesungguhnya, sesuatu telah terjadi. Apa pun alasannya, tak boleh disepelekan. Harus segera dibahas. Dicari sumber permasalahan, kemudian secepat mungkin segera ditangani. Ini menyangkut banyak hal. Menyangkut perilaku dan kebiasaan. Menyangkut budaya. Menyangkut harga diri. Bahkan, yang lebih jauh adalah menyangkut nyawa.
Namun, Pak Kyai sebagai tokoh sentral di institusi itu masih menganalisis. Mengatur strategi, bagaimana menyelesaikan dengan jalan terbaik. Untuk itu, beliau harus berhati-hati. Tidak gegabah. Lagipula, belum ada laporan secara resmi.
“Tapi, kasihan anak-anak itu,” keluh Nyai, menyuguhkan segelas kopi hitam kesukaan Pak Kyai.
“Sudah dibawa ke klinik kan?” tanya Pak Kyai.
“Sudah. Bahkan sudah diberi obat lagi. Tapi rupanya belum sembuh juga.”
Pak Kyai menarik napas. Agaknya beliau mulai melunak. Lalu, beliau memanggil salah satu santriwan yang kebetulan lewat di depan kediamannya.
“Santri,” suara Pak Kyai agak kencang, lantaran jaraknya cukup jauh dengan santri tersebut.
Spontan santriwan yang dipanggil menghampiri Pak Kyai. Lalu mencium tangan Pak Kyai. “Nggih, Kyai,” sahut santriwan itu lirih, duduk bersimpuh di hadapan Pak Kyai sambil menundukkan kepala.
‘Tolong panggilkan Ustaz Tholib,” perintah Pak Kyai.
Santriwan itu bergegas melaksanakan titah sang Kyai. “Nggih, Kyai.” Kemudian mencium kembali tangan Pak Kyai, merangkak mundur dan melangkah perlahan meninggalkan Pak Kyai dan Nyai.