Cukup lama, Ustaz Tholib belum juga bersuara. Dia bingung harus menyampaikan dari mana. Akhirnya, Pak Kyai kembali berbicara, “Baik, jika Ustaz tidak bisa menjelaskan sekarang, saya minta malam ini diselesaikan. Jangan berlarut-larut. Pastikan semua kondusif. Sekarang Ustaz bicarakan dengan asatiz yang lain. Bahas di forum rapat.”
“Nggih, Kyai. Matur nuwun arahannya.”
Ustaz Tholib kembali mencium tangan Pak Kyai. Kemudian beranjak meninggalkan Pak Kyai. Tetap penuh hormat.
***
Rapat berjalan. Dihadiri Lurah Pondok, asatiz, perwakilan guru, perwakilan pengurus organisasi santri, dan tak ketinggalan tujuh orang santri yang mengalami sakit perut. Semula rapat berjalan biasa, namun ketika membahas inti permasalahan agak alot. Hal itu dikarenakan ketujuh orang santriwan tersebut masih belum mengatakan penyebab sesungguhnya. Entah.
Ustaz Tholib mulai geram, “Kalian jujur saja. Biar masalahnya cepat selesai. Kalau kalian begini terus, ya ndak akan rampung-rampung.”
Salah seorang santriwan itu pamit ke kamar kecil. Seperti biasa. Bolak-balik ke kamar kecil. Disusul seorang lagi. Dan seorang lagi. Ustaz Tholib mulai kesal. Hadirin juga kesal. Tinggal empat santriwan. Ustaz Tholib berkata tegas, “Cukup! Tidak boleh ada lagi yang izin ke kamar kecil.” Hadirin tersentak. Apalagi empat santriwan itu, wajah mereka pucat, ketakutan.
“Sekarang kamu ceritakan kronologisnya?” Ustaz Tholib menatap tajam kepada seorang santriwan di antara keempat santriwan itu.
Dengan berat, agak ketakutan bercampur perasaan malu, santriwan tersebut menyampaikan secara lengkap kronologis kejadian. Hadirin serius menyimak.
Secara runtut santriwan itu bercerita. Awal kejadiannya pada malam Jumat yang lalu. Sebagaimana agenda pondok, setiap malam Jumat, diadakan pengajian Yaasiin, Tahlil, dan ditutup dengan wejangan Pak Kyai, lalu tanya-jawab antara santri atau asatiz dengan Pak Kyai. Kegiatan ini dilakukan di aula. Kebiasaan santri, setiap selesai acara, ramai-ramai mereka berebut sisa kopi hitam Pak Kyai. Ampas kopi itu kemudian diminum secara bergiliran. Jika ampas sudah tak berarir, maka mereka akan menambah air lagi. Kemudian meminumnya. Mereka melakukannya setelah Pak Kyai meninggalkan aula.
Sebenarnya meminum ampas kopi kyai atau tokoh ulama lainnya sudah menjadi kebiasaan turun-temurun. Tidak hanya di pondok-pondok pesantren, namun telah merambah ke lapisan masyarakat secara luas. Sudah membudaya. Menurut keyakinan, dengan meminum ampas kopi --atau dengan menghisap puntung rokok kyai-- akan membawa berkah. Secara logika? Entahlah. Yang jelas, memang sudah membudaya. Dan diyakini.