Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Cerita Kompasiana, Pernah Nyaris Dihajar Preman, dan Tulisan Mahal dari Bekas Lokalisasi

20 Agustus 2021   09:48 Diperbarui: 20 Agustus 2021   11:12 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menulis di Kompasiana tak hanya tentang tulisan yang tayang. Tapi juga perjuangan mencipta tulisan/Ilustrasi: Shutterstock/Kompasiana.com 

Sebuah kebetulan, tanggal 'jadian' saya dengan Kompasiana dan hari pernikahan saya, beriringan bulan.

Saya menikah di akhir bulan November 2010. Lantas, memulai menulis di Kompasiana pada akhir Desember 2010. Kala itu, saya masih bekerja di 'pabrik koran' (baca pekerja media).

Akhir Desember nanti, sudah 11 tahun Kompasiana menjadi bagian dalam keseharian saya.

Berawal dari sekadar penasaran, bikin akun, lalu mencoba menulis satu dua tulisan. Berasa senang ketika tulisan jadi Artikel Utama. Rasa senangnya sama seperti ketika tulisan hasil liputan dipilih jadi headline di koran tempat saya bekerja.

Hingga, tumbuh semacam desakan bagi diri sendiri untuk bisa memposting tulisan setiap hari. Padahal, kala itu, tidak ada reward. Kalaupun ada 'hadiah' ya bila menang kompetisi blog. Bersaing dengan warga Kompasiana lainnya.

Karenanya, dulu saya sangat sering mendapat pertanyaan dari teman-teman yang penasaran: "apakah menulis di Kompasiana bisa dapat duit?". Kalau pertanyaan itu disampaikan sekarang, sampeyan (Anda) pasti tahu jawabannya.

Demi tulisan, digertak preman

Nah, menulis di Kompasiana bukan hanya tentang ribuan tulisan yang sudah tayang. Namun, ada beberapa pengalaman menarik yang pernah saya rasakan dalam mencipta tulisan.

Malah, saya pernah merasakan, untuk menghasilkan tulisan di Kompasiana, proses untuk menyiapkan tulisannya terkadang 'menegangkan' seperti ketika liputan di media.

Dan memang, momen terbaik tak selalu berupa kabar menyenangkan seperti ketika tulisan jadi Artikel Utama dan dibaca ribuan orang ataupun kala memenangi blog competition.

Bagi saya, momen terbaik di Kompasiana juga bisa berupa pengalaman tak terlupakan. Salah satunya, saya pernah berurusan dengan preman demi membuat tulisan di Kompasiana. Cerita itu yang ingin saya bagikan di tulisan ini.

Cerita ini terjadi pada awal Januari tahun 2015 silam.

Seingat saya, kala itu, di Kompasiana ada Voluntourism Blog Competition bertema "Aksi dan Ide Memajukan Pariwisata Indonesia". Ini merupakan hasil kerja sama Kompasiana dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Waktu itu, di Kompasiana memang cukup sering ada blog competition. Hampir setiap bulan selalu ada lomba menulis berhadiah. Temanya macam-macam. Dari tema serius. Hingga yang santai.

Tantangan menulis inilah yang dulu jadi salah satu alasan saya untuk aktif menulis di Kompasiana. Selain karena saya tidak mau terjebak sekadar menulis berita straightnews di media. Tapi juga ingin membiasakan menulis opini. Menulis softnews.

Kembali ke lomba menulis itu, saya sempat hampa ide. Padahal, deadline lomba tanggal 7 Januari. Lantas, tertarik menulis bekas bencana lumpur Lapindo yang "disulap" menjadi wisata.

Dalam tulisan berjudul "Menjual Potensi Wisata Lokal, Berani Jadi Salesman" itu, saya mengulas perihal potensi wisata di kota tempat tinggal saya, Sidoarjo. Plus, sedikit saran perihal intervensi apa saja yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah untuk memajukan potensi wisata lokal di daerahnya.

Dan, tentu saja, bicara tulisan bertema potensi wisata, tidak akan lengkap tanpa adanya foto. Tulisan akan serasa hampa bila sekadar bercerita tanpa diperindah foto.

Karenanya, saya pun menyempatkan waktu untuk mengambil gambar. Datang langsung di lokasi.

Kebetulan, kala itu, saya dan istri serta dua anak kami yang masih kecil, tengah sowan ke rumah mertua di Pandaan, Pasuruan. Sehari di sana, saya ada keperluan mendadak ke Surabaya.

Nah, dalam perjalanan kembali ke Pandaan, saya menyempatkan untuk berhenti di salah satu spot 'pendakian' turis untuk naik ke tanggul lumpur demi menyaksikan pemandangan lumpur yang terhampar.

Sepeda motor saya parkir di seberang jalan. Lantas mengambil gawai untuk memotret di titik awal pendakian tanggul.

Eh baru mengambil dua tiga gambar, mendadak seorang berbadan tinggi besar dan berwajah sangar, keluar dari bangunan semacam pos jaga. Ia menghampiri saya. Dia menunjuk saya sembari membentak dengan suara kasar.

"Hee lapo koen (ngapain kamu) foto-foto?," ujarnya.

Koen yang bermakna kamu, adalah panggilan paling kasar dalam bahasa Suroboyo-an. Itu bahkwan lebih kasar dari kata awakmu yang juga terdengar kasar.

Tahu-tahu, pria yang mungkin penjaga pintu masuk 'pendakian tanggul lumpur' itu sudah berada di depan saya. Dengan badan besarnya, ia seolah ingin mengintimidasi saya yang kala itu masih kurus (sekarang sudah lumayan berisi).

Dia lantas kembali berkata, lebih tepatnya menggertak saya.

"Gawe opo koen foto-foto (buat apa kamu foto-foto? Awakmu wartawan yo," ujarnya.

Saya berusaha tenang. Meski kaki sedikit gemetar. Saya lantas menjawab "oh gak kok mas, aku cuma pengen foto aeh, mumpung lewat kene (sini)".

Agar dia percaya, saya lantas membuka tas dan menunjukkan baju anak dan gendongan anak yang saya bawa.

"Iki lho isi ne tas ku, mosok wartawan nggowo klambi arek cilik" (ini lho isi tas saya, masak wartawan bawa-bawa baju anak kecil).

Ternyata dia percaya. Lalu kembali ke tempat jaganya. Saya pun bergegas pergi.

Dalam hati saya berujar, untung saja dia nggak memaksa untuk melihat KTP. Sebab, di KTP saya bertuliskan "wartawan". Bila begitu, urusan bisa runyam.

Saya tidak tahu siapa orang itu. Saya juga sudah lupa bagaimana rupa orangnya. Saya juga tidak tahu mengapa dia mendadak marah. Mungkin saja dia "yang punya" kawasan itu.

Saya hanya sering mendengar dari beberapa orang, ada biaya parkir kendaraan yang ketika hendak melihat tanggul lumpur itu. Atau ada semacam 'tiket masuk' ketika hendak naik ke tanggul. Mungkin saja dia merasa terusik dengan jepretan foto tadi.

Itu salah satu momen yang paling saya ingat selama menjadi warga Kompasiana. Bahwa, membuat tulisan di Kompasiana terkadang tak hanya dengan membaca berita dan mencari data dari situs luar negeri lalu 'mengarang indah'.

Bukan pula sekadar mengamati situasi yang sedang viral di media sosial atau mengenang pengalaman pribadi yang lantas dituangkan jadi tulisan. Sebuah tulisan terkadang lahir dengan penuh perjuangan.

Tulisan itu pada akhirnya tidak terpilih jadi pemenang lomba tersebut . Tapi, bagi saya, kenangan tulisan itu berharga.

Mencipta tulisan mahal dari bekas lokalisasi

Ada satu lagi momen yang juga terkenang dan masih satu rangkaian dengan lomba menulis.

Pada Mei 2015, Kompasiana kembali bikin blog competition bertema "Kisah Inspiratif di Daerahmu". Ini merupakan hasil sinergi Kompasiana dengan gerakan "Dayakan Indonesia".

Dayakan Indonesia adalah gerakan untuk menyebarkan semangat pemberdayaan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan usaha mikro untuk menjadikan Indonesia yang lebih kuat (www.dayakanindonesia.com).

Singkat kata, dalam blog competition ini, peserta diminta untuk menceritakan sosok atau organisasi inspiratif di daerah mereka.  
Kata kuncinya adalah pemberdayaan yang dilakukan sosok tersebut.

Saya lantas mengulas seorang ibu rumah tangga yang sempat terlibat dalam putaran bisnis esek-esek di salah satu eks lokalisasi di Surabaya. Tahun 2015 silam, lokalisasi itu sudah ditutup beberapa tahun sebelumnya.

Namun, sebelum penutupan, sempat muncul perlawanan dari mereka yang menentang penutupan karena merasa 'keran' rezekinya akan ditutup.  Situasinya sempat memanas.

Tidak mudah untuk masuk ke sana. Beruntung, saya bisa liputan bareng teman-teman dari Bagian Humas Pemkot Surabaya yang kala itu datang ke sana untuk keperluan pengambilan beberapa foto.

Ide menulis kisah ibu ini sebenarnya tidak sengaja. Ketika si bapak fotografer memotret, saya ikut dan mengobrol dengan seorang ibu yang memproduksi handycraft di rumahnya, di antaranya keset berkarakter.

Dari obrolan itu, saya merasa ceritanya sangat menyentuh untuk dibuat tulisan.

Si ibu ini bercerita perihal perjuangan yang dia lakukan untuk lepas dari jerat kehidupan lokalisasi yang melenakan. Ketika dirinya mendukung penutupan lokaliasi, dia sempat dimusuhi tetangganya yang resah karena merasa sumber penghasilan akan hilang. Padahal, dia sendiri rela menutup warung kopinya.

Ketika lokalisasi di sana masih buka, hanya dalam sehari dia bisa mendapat duit ratusan ribu. Warung nasi dan kopinya banyak pengunjung.

Dia lalu move on. Dia risih tinggal di lingkungan lokalisasi. Terlebih dia memiliki seorang putri. Lantas, dengan bekal keterampilan yang dimilikinya, dia mengajak beberapa mantan PSK dan mantan mucikari di sekitar rumahnya untuk memperbaiki nasib dengan mengikuti pelatihan keterampilan.

Tapi, semangatnya itu justru membuatnya pernah merasa umurnya tak panjang. Dia mengaku pernah nyaris dikeroyok orang-orang yang marah. Toh, pengalaman mengerikan itu semakin membuatnya termotivasi untuk mengajak orang lain memberdayakan potensi yang dimiliki.

Pada akhirnya, dia bersama beberapa tokoh, berhasil mengubah pola pikir beberapa warga di kawasan lokalisasi yang terbiasa pragmatis jadi kreatif.

Sebulan kemudian, saya senang luar biasa ketika tulisan yang saya beri judul "Kegigihan Anik Sriwatiah Berdayakan Mantan PSK dan Mantan Mucikari Lokalisasi Dupak Bangunsari" itu terpilih jadi pemenang I. Agar tidak dikira hoaks, saya sertakan tautannya.

Tulisan-tulisan di lomba blog kompetisi tersebut lantas dibukukan. Ada 20 Kompasianer yang tulisannya terpilih di buku berjudul "Hidup yang Lebih Berarti" Sosok Inspiratif untuk Dayakan Indonesia tersebut. Kang Pepih Nugraha, COO Kompasiana kala itu, menuliskan kata pengantar.

Ah ya, cerita ini diceritakan ulang bukan untuk pamer. Sekadar membagikan kenangan perihal keseruan dan nikmatnya menulis di Kompasiana yang pernah saya rasakan. Syukur bila cerita ini mampu memotivasi untuk terus semangat menulis.

Salam. Tetap sehat dan terus menulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun