Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Saya, Pekerja Media, dan Kenangan Bos Terbaik di "Pabrik Koran"

13 Juli 2021   10:08 Diperbarui: 14 Juli 2021   09:58 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memiliki bos yang mendengar dan mau berbaur dengan bawahannya, menjadi idaman bagi banyak orang. Saya pernah merasakan punya bos terbaik ketika dulu bekerja di perusahaan media | Foto: al.co.id/Shutterstock

Nah, saya beruntung pernah dipimpin bos yang idola banget. Bagi pekerja media, saya menganggap syarat seorang bos bisa disebut terbaik tidak harus sempurna. Hanya perlu dua syarat, yakni mau mendengar dan mau berbaur.

Pertengahan tahun 2007 silam, saya pernah punya pemimpin redaksi (bos nya para editor dan kepala kompartemen) yang asyik.

Memang, sebagai pemimpin redaksi (pemred), dia tidak menyuruh wartawan secara langsung untuk liputan. Itu ibaratnya memotong beberapa garis komando perintah.

Memiliki bos yang mendengar dan mau berbaur dengan bawahannya, menjadi idaman bagi banyak orang. Saya pernah merasakan punya bos terbaik ketika dulu bekerja di perusahaan media | Foto: al.co.id/Shutterstock
Memiliki bos yang mendengar dan mau berbaur dengan bawahannya, menjadi idaman bagi banyak orang. Saya pernah merasakan punya bos terbaik ketika dulu bekerja di perusahaan media | Foto: al.co.id/Shutterstock
Dia datang ke kantor pagi saat rapat redaksi yang tentunya belum ada wartawan di kantor. Lalu, datang sore ketika rapat redaksi lagi. Ketika wartawan kembali ke kantor setelah berburu berita.

Momen itu yang paling saya ingat. Selepas Maghrib--pak pemred itu kadang jadi imam sholat di musala kantor--dia berkeliling dari satu desk ke desk lainnya.

Dia mencoba berbaur dengan bawahannya. Mencoba akrab. Tidak bersikap ekslusif dengan hanya diam di ruangannya.

Selama meninjau desk itu, dia mengobrol dengan wartawan perihal hasil liputan hari itu. Mau mendengar bagaimana liputannya, angle tulisan bagaimana yang akan ditulis, dan apa kendalanya.

Sesekali dia melontarkan saran kepada wartawan yang mengalami kendala atau juga merasa berada di zona nyaman. Semisal karena merasa dekat dengan satu dua orang narasumber.

"Mas, lain kali narasumbernya jangan orang ini terus ya. Di kantor dewan kan ada 50 anggota dewan. Coba diwawancara yang lain ya," ujarnya suatu ketika kepada seorang wartawan yang lebih senior dari saya.

Namun, momen yang paling terkenang adalah ketika dia mendadak duduk di kursi saya. Mengedit tulisan. Waktu itu, saya menjadi wartawan olahraga. Kebetulan, bepaknya senang sepak bola. Pencinta klub Inggris, Manchester United.

Tentu saja, momen itu membanggakan. Kala itu, sebagai wartawan yang baru dua tahun bekerja, jelas bukan hal biasa bila tulisan kita diedit langsung oleh pemimpin redaksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun