Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran' (perusahaan media) meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Walau sudah berpamitan sejak pertengahan tahun 2013 silam.
Bukan hanya karena itu pengalaman pertama saya bekerja setelah lulus kuliah. Juga bukan sekadar menerima gaji bulanan. Tapi, ada kenangan dengan para bos di sana.
Saya menyebut para bos. Banyak bos. Sebab, selama delapan tahun bekerja menjadi 'kuli tinta', saya memang menjadi anak buah dari beberapa bos.
Bosnya banyak. Ada yang namanya editor alias redaktur. Ini merupakan bos pertama dari wartawan. Setiap desk liputan ada redakturnya.
Lalu ada kepala kompartemen yang mengepalai tiap desk liputan. Semisal desk politik, ekonomi, kriminal, olahraga, hingga lifestyle. Kepala kompartemen ini merupakan bosnya redaktur juga bosnya wartawan.
Selain itu, ada yang namanya redaktur pelaksana hingga pemimpin redaksi. Nama kekiniannya editor in chief. Semuanya bos di 'pabrik koran' maupun media daring. Bosnya wartawan.
Bekerja di perusahaan media yang setiap hari memproduksi berita, sedikit berbeda dengan kerja kantoran di bidang lainnya.
Di dunia media, kontak langsung antara pekerja dengan atasan (bos) berlangsung lebih intens. Setiap hari ada kontak obrolan antara wartawan dan bo, baik lewat chat maupun bicara langsung.
Obrolannya perihal agenda liputan hari ini apalagi bila ada perstiwa besar yang mendadak. Tentang listing berita yang diliput hingga berita yang harus dilengkapi karena dirasa kurang data maupun narasumbernya.
Pendek kata, tidak pernah sehari saja, tiada kontak antara pekerja media dan atasannya. Minimal kontak dengan editornya. Dari situ, saya bisa mendapati pengalaman berinteraksi dan paham karakter beberapa bos.
Rupa-rupa karakter para bos di kantor media
Ada bos yang kaku banget dalam bekerja. kalau sudah bilang A ya harus A. Tidak bisa melunak menjadi AA, apalagi B. Jarang mau memberi ruang bagi bawahannya untuk menyampaikan argumen.
Tidak jarang, pagi ketika saya masih di rumah, dia sudah 'berkoar-koar' di grup Blackberry Messenger (BBM) perihal rencana liputan di hari itu.
Apalagi bila ada momen mendadak semisal terjadi kebakaran maupun kecelakaan besar, dia bakal semakin menjadi-jadi 'berteriak' membagi tugas di grup BBM, tidak jarang menelepon langsung.
Ada bos yang cenderung santai dalam bekerja. Dia tidak terlalu banyak omong. Bagi dia, yang penting anak buahnya mengirim berita tepat waktu.
Bila rencana menulis berita A di hari itu tidak bisa karena ada kendala semisal narasumbernya tidak bisa dihubungi maupun ditemui, mereka bisa memaklumi. Bisa diganti narasumber maupun tema lainnya.
Bagi saya, dua tipikal bos itu punya kelebihan dan kekurangan.
Bos yang kaku akan membuat anak buahnya jadi bekerja disiplin. Sejak pagi, anak buahnya sudah punya planning. Sebab, mereka khawatir bila ditanya dan ditagih berita tapi tidak bisa menjawab.
Namun, relasi antara bos yang seperti itu dengan anak buahnya cenderung kurang asyik. Bukan tipikal bos ideal. Sebab, dia hanya mementingkan kerja dan mungkin dirinya sendiri, tanpa mau tahu apa  kendala anak buahnya.
Bos yang santai membuat anak buahnya jadi lebih luwes dalam bekerja. Interaksi mereka bagus. Namun, bila terlalu santai juga jadinya tidak bagus.
Sebab, dalam memproduksi berita, rencana itu penting. Bila terbiasa santai dan berpikir pokoknya liputan tanpa membuat rencana, hasilnya bisa kurang maksimal. Sekadar ada. Ini juga bukan tipikal bos idaman.
Kenangan bos terbaik, mau mendengar dan berbaur
Nah, saya beruntung pernah dipimpin bos yang idola banget. Bagi pekerja media, saya menganggap syarat seorang bos bisa disebut terbaik tidak harus sempurna. Hanya perlu dua syarat, yakni mau mendengar dan mau berbaur.
Pertengahan tahun 2007 silam, saya pernah punya pemimpin redaksi (bos nya para editor dan kepala kompartemen) yang asyik.
Memang, sebagai pemimpin redaksi (pemred), dia tidak menyuruh wartawan secara langsung untuk liputan. Itu ibaratnya memotong beberapa garis komando perintah.
Momen itu yang paling saya ingat. Selepas Maghrib--pak pemred itu kadang jadi imam sholat di musala kantor--dia berkeliling dari satu desk ke desk lainnya.
Dia mencoba berbaur dengan bawahannya. Mencoba akrab. Tidak bersikap ekslusif dengan hanya diam di ruangannya.
Selama meninjau desk itu, dia mengobrol dengan wartawan perihal hasil liputan hari itu. Mau mendengar bagaimana liputannya, angle tulisan bagaimana yang akan ditulis, dan apa kendalanya.
Sesekali dia melontarkan saran kepada wartawan yang mengalami kendala atau juga merasa berada di zona nyaman. Semisal karena merasa dekat dengan satu dua orang narasumber.
"Mas, lain kali narasumbernya jangan orang ini terus ya. Di kantor dewan kan ada 50 anggota dewan. Coba diwawancara yang lain ya," ujarnya suatu ketika kepada seorang wartawan yang lebih senior dari saya.
Namun, momen yang paling terkenang adalah ketika dia mendadak duduk di kursi saya. Mengedit tulisan. Waktu itu, saya menjadi wartawan olahraga. Kebetulan, bepaknya senang sepak bola. Pencinta klub Inggris, Manchester United.
Tentu saja, momen itu membanggakan. Kala itu, sebagai wartawan yang baru dua tahun bekerja, jelas bukan hal biasa bila tulisan kita diedit langsung oleh pemimpin redaksi.
Sebab, saya tahu, pak pemimpin redaksi itu tulisannya dashyat. Tulisan esainya berkelas. Gaya tulisannya menunjukkan luasnya keilmuan yang dimilikinya.
Dia memang salah satu wartawan senior. Tulisan opininya di kolom minggu sampai dibukukan. Saya punya buku itu. Dan saya belajar banyak darinya.
Nah, selama mengedit itu dan saya duduk di sampingnya, bapaknya nampak fokus sembari memberikan nasihat dan sesekali diselingi candaan. Dia tidak pelit membagikan ilmunya kepada wartawan yang masih pemula seperti saya.
"Mas, tulisanmu ini sudah enak dibaca. Kamu mengawali tulisan dengan cara yang tidak dipakai oleh banyak wartawan olahraga lainnya. Tapi, usahakan lebih diperkaya datanya," ujarnya.
Saya mendengarkan dengan seksama. Mengangguk. Mengiyakan nasihatnya. Tentu saja, saya senang dengan pujian dan nasihat itu. Bohong bila saya tidak senang dengan pujian bos idola.
Ah ya, satu lagi yang membuat bos ini terbaik. Dia bukan hanya membaur untuk urusan pekerjaan. Hobi bermain bola membuatnya juga mau berbaur dengan bawahanya bermain bola ataupun futsal di lapangan.
Bahkan, pernah ada turnamen futsal antar media, dia ikut bermain dalam tim kami. Sebagai penyerang. Mana ada bos lain yang mau ikut main futsal di turnamen yang terkadang rawan cedera dan benturan fisik.
Karena bos idola ini pula, saya bersedia dipindah ke Jakarta. Di suatu malam, dia duduk di kursi saya, mengedit tulisan saya.
Tanpa disangka dia berujar, "Mas, apakah kamu mau bila ditaruh di Jakarta?".
"Kamu masih muda. Di Jakarta kamu bisa belajar banyak hal. Bisa mendapatkan banyak pengalaman. Itu akan bagus untuk mengembangkan potensimu," ujar bapaknya.
Saya yang waktu itu masih bujang, tidak merasa perlu berpikir panjang. Meski bakal berpisah dengan keluarga, tawaran itu saya ambil. Pindah dari Surabaya ke Jakarta. Di sana meliput banyak hal. dari politik, ekonomi, hingga olahraga. Itu karena bos idola yang memberikan tawaran.
Bos yang tidak baperan
Selain bos yang mau mendengar dan mau berbaur, tipikal bos idaman di perusahaan media adalah yang tidak gampang terbawa perasaan. Nggak baperan.
Maksudnya, mereka terbuka dengan argumen dan masukan dari bawahannya. Semisal untuk konten atau berita yang kekinian dan disukai pembaca, meski seorang bos, dia mau menerima masukan.
Dia tidak merasa paling pintar. Dia merasa wartawan yang setiap harinya berada di lokasi liputan dan juga update dengan dunia media sosial, punya masukan menarik soal konten yang dicari dan diminati pembaca.
Meski mungkin dia kurang update dengan media sosial (medsos), dia tidak merasa malu untuk belajar dan mendengar dari yang muda-muda dan lebih melek medsos.
Ada lho bos baperan yang tidak mau menerima argumen bawahannya. Apalagi dikritik. Dia menempatkan dirinya di pucuk tertinggi yang orang lain seolah tidak selevel dengannya.
Dia kurang terbuka dan tidak adaptif dengan perubahan. Semisal untuk urusan media sosial itu, meski tidak paham, dia enggan bertukar pikiran karena tidak mau diajari bawahannya.
Seorang kawan media pernah bercerita, dia punya bos seperti itu di kantornya. Bos yang baperan.
Pernah ketika rapat denga para bos, ada wartawan yang menyampaikan usulan. Memang, dia menyinggung situasi di kantor dalam menghadapi situasi sulit. Tapi tidak personal. Dan itu juga demi kemajuan perusahaan.
Yang terjadi kemudian, wartawan itu mendapat teguran dari bos-bos di bawahnya. Bahkan, dia dipindah dari desk sebelumnya. Dipindah ke desk lain yang kurang sesuai dengan passionya. Mungkin untuk membuatnya tidak nyaman.
Tapi memang, bekerja di media tantangannya tidak kecil. Kita tidak hanya bekerja 'memeras otak' untuk memproduksi berita. Apalagi bila beritanya sensitif dan berisiko.
Terlebih di masa pandemi ini, tantangannya makin berat. Ada banyak kabar teman wartawan terpapar Covid-19. Ada yang meninggal. Itu karena pekerjaan mereka harus turun ke lokasi dan bertemu orang. Sebab, tidak semua berita bisa diberesi dari rumah.
Tantangan lainnya adalah bagaimana berinteraksi dengan para bos yang karakternya berbeda-beda. Ada bos yang bossy banget. Ada pula yang baperan.
Beruntung bila memiliki bos yang asyik. Bos yang mau mendengar dan mau berbaur, serta mau membagikan ilmunya. Saya beruntung pernah memiliki bos terbaik seperti itu. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H