Selain bos yang mau mendengar dan mau berbaur, tipikal bos idaman di perusahaan media adalah yang tidak gampang terbawa perasaan. Nggak baperan.
Maksudnya, mereka terbuka dengan argumen dan masukan dari bawahannya. Semisal untuk konten atau berita yang kekinian dan disukai pembaca, meski seorang bos, dia mau menerima masukan.
Dia tidak merasa paling pintar. Dia merasa wartawan yang setiap harinya berada di lokasi liputan dan juga update dengan dunia media sosial, punya masukan menarik soal konten yang dicari dan diminati pembaca.
Meski mungkin dia kurang update dengan media sosial (medsos), dia tidak merasa malu untuk belajar dan mendengar dari yang muda-muda dan lebih melek medsos.
Ada lho bos baperan yang tidak mau menerima argumen bawahannya. Apalagi dikritik. Dia menempatkan dirinya di pucuk tertinggi yang orang lain seolah tidak selevel dengannya.
Dia kurang terbuka dan tidak adaptif dengan perubahan. Semisal untuk urusan media sosial itu, meski tidak paham, dia enggan bertukar pikiran karena tidak mau diajari bawahannya.
Seorang kawan media pernah bercerita, dia punya bos seperti itu di kantornya. Bos yang baperan.
Pernah ketika rapat denga para bos, ada wartawan yang menyampaikan usulan. Memang, dia menyinggung situasi di kantor dalam menghadapi situasi sulit. Tapi tidak personal. Dan itu juga demi kemajuan perusahaan.
Yang terjadi kemudian, wartawan itu mendapat teguran dari bos-bos di bawahnya. Bahkan, dia dipindah dari desk sebelumnya. Dipindah ke desk lain yang kurang sesuai dengan passionya. Mungkin untuk membuatnya tidak nyaman.
Tapi memang, bekerja di media tantangannya tidak kecil. Kita tidak hanya bekerja 'memeras otak' untuk memproduksi berita. Apalagi bila beritanya sensitif dan berisiko.
Terlebih di masa pandemi ini, tantangannya makin berat. Ada banyak kabar teman wartawan terpapar Covid-19. Ada yang meninggal. Itu karena pekerjaan mereka harus turun ke lokasi dan bertemu orang. Sebab, tidak semua berita bisa diberesi dari rumah.