Nah, saya beruntung pernah dipimpin bos yang idola banget. Bagi pekerja media, saya menganggap syarat seorang bos bisa disebut terbaik tidak harus sempurna. Hanya perlu dua syarat, yakni mau mendengar dan mau berbaur.
Pertengahan tahun 2007 silam, saya pernah punya pemimpin redaksi (bos nya para editor dan kepala kompartemen) yang asyik.
Memang, sebagai pemimpin redaksi (pemred), dia tidak menyuruh wartawan secara langsung untuk liputan. Itu ibaratnya memotong beberapa garis komando perintah.
Momen itu yang paling saya ingat. Selepas Maghrib--pak pemred itu kadang jadi imam sholat di musala kantor--dia berkeliling dari satu desk ke desk lainnya.
Dia mencoba berbaur dengan bawahannya. Mencoba akrab. Tidak bersikap ekslusif dengan hanya diam di ruangannya.
Selama meninjau desk itu, dia mengobrol dengan wartawan perihal hasil liputan hari itu. Mau mendengar bagaimana liputannya, angle tulisan bagaimana yang akan ditulis, dan apa kendalanya.
Sesekali dia melontarkan saran kepada wartawan yang mengalami kendala atau juga merasa berada di zona nyaman. Semisal karena merasa dekat dengan satu dua orang narasumber.
"Mas, lain kali narasumbernya jangan orang ini terus ya. Di kantor dewan kan ada 50 anggota dewan. Coba diwawancara yang lain ya," ujarnya suatu ketika kepada seorang wartawan yang lebih senior dari saya.
Namun, momen yang paling terkenang adalah ketika dia mendadak duduk di kursi saya. Mengedit tulisan. Waktu itu, saya menjadi wartawan olahraga. Kebetulan, bepaknya senang sepak bola. Pencinta klub Inggris, Manchester United.
Tentu saja, momen itu membanggakan. Kala itu, sebagai wartawan yang baru dua tahun bekerja, jelas bukan hal biasa bila tulisan kita diedit langsung oleh pemimpin redaksi.