Mohon tunggu...
Leonardi Gunawan
Leonardi Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Warga Negara Biasa Yang Ingin Indonesia Ke Piala Dunia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[KC] Cinta Tak Terkatakan

2 Oktober 2015   17:17 Diperbarui: 2 Oktober 2015   18:15 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Leonardi Gunawan : No.129

 

“Lintang… bodoh sekali kamu ini !!…”

“Begitu saja tidak berani….”

Suara ejekan  berteriak keluar dari dalam diriku, telinga dan seluruh isi  kepalaku.

 “Ini sudah ketiga kali kamu melewatkan moment berharga, dasar  penakut !”, kembali suara dalam hatiku berteriak.

“Cuma bilang tiga kata saja tidak berani, apa sih yang ditakutkan?” semakin nyaring suara itu.

Aku semakin terpojok lemas, bahkan untuk duduk pun serasa tidak bertenaga, kubaringkan tubuhku perlahan di kasur, kututup mataku dengan bantal. Tetapi, suara itu mengikutiku. Samapai akhirnya aku coba melawan.

“Waktunya tidak tepat malam ini” Jawabku                

“Apanya tidak tepat ? hari ini, hari ulang tahunnya, kamu diundang khusus sendiri menghadirinya, dirumahnya lagi” Suara hatiku melawan.

“Benar, tetapi  tadi dia sibuk dengan keluarganya” Sanggahku.

“Ahh.. bohong, hampir sepanjang waktu dia didekatmu” jawaban suara hatiku langsung memvonis.

“Aku tidak punya persiapan” kembali aku berkata.

“Aduhh lintang yang bebal, jangan kamu bohongi dirimu, kamu dapat undangannya sebulan yang lalu, bahkan kamu sudah membelikan hadiah buatnya jauh hari, bahkan kamu rela mengurangi jatah jajanmu, demi membelikan jam tangan itu”. Suara hatiku membantah.

“Kamu pengecut, kamu penakut..” Lantang suara hatiku berkata.

“Tidak. juga, aku berani, aku bicaral sama dia kok, aku berani ngobrol sama orang tuanya”membela diri aku.

“Tapi kamu tidak berani bilang itu kepadanya” Kejar suara hatiku.

“Itu…..” Tak bisa aku melanjutkan kata – kata..

“Ayo, Akuilah kalo kamu memang pecundang…” Keras suara hatiku berkata,

“Tapi bagaimana kalau aku ditolak?” Tanyaku

“Kamu takut ditolak jadi kamu takut mengatakannya? Atau kamu memang takut mengatakan tetapi sudah siap ditolak?” pertanyaan yang membingungkan keluar dari dalam hatiku

“ Dua – duanya” jawabku.

“Kamu sudah kenal Laras dari semester berapa?” Suara hatiku bertanya

“Sejak hari pertama aku menginjakkan kaki di kampus sampai sekarang, semester semester 8, bahkan aku ingat dialah wanita pertama yang aku ajak kenalan di kampus ini” jawabku sambil mengenang pertemuan pertama dengan Laras.

“Terus selama ini menurutmu Laras paling dekat sama siapa?” kembali suara hatiku bertanya

‘Aku, tetapi temen dia selain aku juga banyak, temen laki – laki juga” jawabku

“Siapa yang setia menjemput dia setiap hari, menemani saat dia bertanding, setiap malam minggu mengajak dia keluar, menjenguk dia di kala dia sakit, sampai sehari mau tiga sampai empat kali? Tanyanya

“Aku” jawabku

“Sebaliknya, pada saat kamu kecelakaan kemarin, siapa yang paling lama menemani kamu di rumah sakit? Terus pada saat orang tuamu datang menjenguk, siapa yang menemani keluargamu di sini? Tanya suara hatiku

“Laras” jawabku

“Sekarang aku tanya sama kamu lintang, kamu hanya suka, hanya cinta, atau kamu sudah mengangap dialah yang paling cocok mendampingimu saat ini”

“Tiga – tiganya, aku tidak mau kehilangan dia” jawabku..

“Kalau begitu katakanlah perasaanmu…” perintah Suara hatiku

“Haruskah? Tidak cukupkah dengan perbuatan, perhatian yang selama ini aku berikan? Tidak cukupkah itu menggantikan tiga kata tersebut, Haruskah diunggapkan?” pembelaanku.

“Lintang, kamu ini tidak bodoh! Kamu sudah tau bahwa adat kita mentabukan seorang wanita, untuk mendahului pria. Dalam masalah ini kamu juga tau bahwa Laras dengan didikan keluarganya yang begitu menjunjung adat, pasti sangat mengerti dan menghormati akan hal itu” penjelasan suara hatiku.

“Begitukah?” tanyaku pura – pura tidak negerti

“Apa yang akan kamu lakukan apabila, seandainya, orang tua Laras menjodohan dia dengan lelaki lain, apakah Laras akan berkata aku sudah punya Lintang? Padahal dia sendiri tidak yakin akan perasaanmu kepadanya, sama seperti perasaan dia kepadamu.”

“Ahh.. tidak mungkin Laras menerima orang lain” Pembelaanku.

“Percayalah, Wanita butuh kepastian Lintang” Nasehat suara hatiku

“Kalau saat itu benar – benar terjadi. Laras memilih yang lain siapa yang tanggungjawab ?”. Suara hatiku mengakhiri kotbahnya.

Aku kembali terdiam… kuraih telepon genggamku..

“Hallo, malam Laras….” Ucapanku bergetar..

“Malam, lintang, udah sampai di kost? Barusan aku mau telp kamu, aku pikir kamu ada apa-apa dijalan, kok belum nelpon ” Jawab agak cemas diujung sana.

“Barusan sampe, sorry, ya tadi mampir ke kost si Kurnia ambil catatan” Jawabku bohong.

“O gitu, okelah..” jawabnya riang.

“Laras…” Suaraku berubah parau

“Ya.. ada apa …” Jawabnya

“Aku sebenarnya tadi mau bilang …” Ku kecilkan volume suaraku sehingga nyaris tidak terdengar

“Bilang apa lintang ?” kejarnya

“Hhmmm……” lidah terasa kelu…

“Aku.. aku…..” pita suaraku seakan nyaris putus..aku jadi gagu

“Lintang, ngak denger kamu ngomong apa…” Laras diujung setengah teriak…

Aku sudah berteriak Laras… tapi hanya di dalam hatiku… sambil tanganku reflex mematikan sambungan telepon..

Tak lama kemudian teelponku berbunyi, aku lihat, foto Laras disitu, tidak berani aku angkat, sampai dua kali berbunyi..

“Ayo angkat pengecut” suara hatiku memerintahku..

“iya – iya” sambil tanganku meraih tombol menjawab

“Hallo, Lintang, kamu kenapa? Sakit ya? Kok tiba- tiba mati telponnya? Suara Laras.

“Ahh tidak, tadi tiba – tiba habis baterai, terus aku ke toilet sebentar, kebelet pipis,” Jawabku.

“Terus kamu tadi mau bilang apa?” kejarnya

Aduh dia kok masih ingat saja, pikirku..

“Hmm…. Boleh aku sms saja” pintaku..

“Katakan saja.. khan lebih cepat” pintanya..

Matiku aku…

“Sms aja ya..” aku memohon..

“Inboxku penuh..” jawabnya

“Dibuang dulu pesan yang lain..” jawabku

“Yang lain penting  penting semua..” Tak mau kalah dia berkata          

“Punyaku lebih penting” Kataku

“Makanya katakan saja”. Jawabnya cerdas.

“Aku cuma mau bilang kalau Aku….” Tak sampai kata-kataku…

Sampai akhirnya diseberang sana aku mendengar sebuah kalimat laksana juru selamat yang datang pada saat yang tepat.

“Kamu mau menembakku Lintang?” Tanyanya langsung…

Inilah yang aku suka dari Laras, dia cerdas dan, aku kalah cerdas dari wanita ini. Apa yang aku harus aku katakana lagi  ketika dia sudah tau apa yang akan aku katakan.

“Iya…” Jawabku lirih tanda kekalahan

Hening….

“Jadi  apakah kamu mau jadi..…”tanyaku memberanikan diri

“ Pertanyaan yang susah dijawab…” katanya

 “Sampai ketemu besok, Selamat Malam Lintang , Bye..” Jawabnya cepat, Secepat dia matikan sambungan telepon sebelum aku sempat berkata apa-apa.

Pagi hari…

Secara refleks aku ambil telepon gengamku, aku lihat ada dua buah pesan pendek masuk, satu dari Ibu, satu dari Laras, Aku baca pesan dari Ibu, karena jujur aku tidak berani membuka sms dari Laras. Sms dari ibu berbunyi, “Nanti kalau pulang ke Jakarta,  Laras diajak main ya” Lalu aku buka pesan kedua dari Laras. Ternyata tertulis..” Kapan kamu ajak aku main ke Jakarta, ketemu ibumu?”

Aku tersenyum, … ahh aku kalah lagi dari wanita cerdas ini… tapi aku bahagia…

 

 

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun