“Haruskah? Tidak cukupkah dengan perbuatan, perhatian yang selama ini aku berikan? Tidak cukupkah itu menggantikan tiga kata tersebut, Haruskah diunggapkan?” pembelaanku.
“Lintang, kamu ini tidak bodoh! Kamu sudah tau bahwa adat kita mentabukan seorang wanita, untuk mendahului pria. Dalam masalah ini kamu juga tau bahwa Laras dengan didikan keluarganya yang begitu menjunjung adat, pasti sangat mengerti dan menghormati akan hal itu” penjelasan suara hatiku.
“Begitukah?” tanyaku pura – pura tidak negerti
“Apa yang akan kamu lakukan apabila, seandainya, orang tua Laras menjodohan dia dengan lelaki lain, apakah Laras akan berkata aku sudah punya Lintang? Padahal dia sendiri tidak yakin akan perasaanmu kepadanya, sama seperti perasaan dia kepadamu.”
“Ahh.. tidak mungkin Laras menerima orang lain” Pembelaanku.
“Percayalah, Wanita butuh kepastian Lintang” Nasehat suara hatiku
“Kalau saat itu benar – benar terjadi. Laras memilih yang lain siapa yang tanggungjawab ?”. Suara hatiku mengakhiri kotbahnya.
Aku kembali terdiam… kuraih telepon genggamku..
“Hallo, malam Laras….” Ucapanku bergetar..
“Malam, lintang, udah sampai di kost? Barusan aku mau telp kamu, aku pikir kamu ada apa-apa dijalan, kok belum nelpon ” Jawab agak cemas diujung sana.
“Barusan sampe, sorry, ya tadi mampir ke kost si Kurnia ambil catatan” Jawabku bohong.