Pelajaran untuk masa depan
Akhirnya hati ini kembali bisa berdamai. Mungkin awalnya datang seperti ujian, tapi akhirnya saya kembali melihat sebuah pelajaran disini. Pertama saya ternyata berbakat menjadi perawat, namun itu cita-cita tidak kesampaian. Tapi bukan itu poin utamanya. Saat ini saya diperlihatkan kondisi masa depan saya nanti. Bukankah saya dengan si nenek bernasib sama. Sama-sama hanya punya anak laki-laki yang sendirian merantau ikut suami sehingga tidak punya sanak saudara yang dekat disini.Â
Semuanya jauh di Sumatera Barat sana. Jika sekarang anak-anak si nenek pada bingung mengurus mamanya sendiri, karena dulu tidak diajari, karena tidak pernah bertemu kondisi seperti ini. Maka lain halnya dengan tiga bujang saya. Entah ekspektasi saya terlalu jauh menjangkau Uwais Al Qarni, saya hanya berharap mereka bertiga menjadi anak-anak yang bisa berbakti.Â
Saya tidak butuh anak-anak yang bekerja di kantor bergengsi, tapi saat ibunya sakit tidak bisa izin untuk mendampingi. Sedih sekali. Tapi entahlah apa yang akan terjadi pada mereka nanti, tapi setidaknya saat mereka masih kecil ini saya berusaha mengajari, dan memberi contoh, seperti inilah seharusnya kita berbakti.Â
Rabu pagi, saya ke sebelah mengurus mama lebih pagi, sembari mengajak anak-anak melihat neneknya. Di kesempatan inilah saya sounding pada mereka, jika umi tua nanti, dan sakit seperti nenek, maukah kalian mengurusi umi, seperti umi mengurusi nenek? Melap badan umi, mengganti pampers umi, menyuapi umi makan.Â
Terlalu memaksa kesannya. Tapi mereka menjawab nanti jika mereka sudah besar akan melakukannya. Sembari saya menggarisbawahi, mengurus umi nanti adalah kewajiban kalian bertiga, bukan kewajiban istri-istri kalian, ingat itu jangan sampai salah. Jika tidak tahu caranya, lihat umi sekarang mengurus nenek, begitulah caranya nanti.Â
Kamis pagi, jumat pagi, saya mulai terbiasa dengan rutinitas tambahan. Tinggal perkara memasak, dan mencuci pakaian rumah sebelah yang jadi masalah. Untunglah di rabu siang, ada adik papa mertua yang lain lagi yang mau nginap dirumah dan bantu-bantu memasak dan mencuci. Sedangkan urusan mama, tidak mau dipegang selain saya.Â
Tapi tentu saja tidak bisa lama-lama. Minggu depan sebelum Ramadhan beliau sudah harus pulang kembali mengurus keluarga sendiri. Lalu bagaimana nantinya? Urusan memasak mungkin bisa dibeli, urusan mencuci mungkin mau di laundry, maka akan datang lagi kesempatan saya untuk mengatur suami bersaudara belajar mengambil peran untuk berbakti pada orangtua.Â
Saat istri sakit, berarti saatnya suami mengambil alih tugas rumah tangga yang selama ini sendirian dipikulnya. Saat ibu sakit, berarti saatnya anak berbagi peran mengurus ibunya, mengambil kesempatan memperoleh surga yang berada dibawah telapak kakinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H