Tidak ada yang luka, hanya kaki kiri yang geser dipergelangannya. Mungkin sehari dua hari akan membaik. Itulah pikiran positif saya dalam hati. Sehari, dua hari, seminggu, dua minggu, namun memar di kaki tidak jua menghilang. Ternyata ada yang patah di bagian bawah mata kaki sana, sehingga butuh pemulihan yang tidak sebentar, dan akhirnya saya harus menerima kenyataan bahwa kaki ini butuh banyak diistirahatkan, agar tulang yang patah bisa segera tersambung kembali.Â
Padahal sehari setelah kecelakaan, kaki ini masih dipaksakan untuk jalan, untuk menyelesaikan pekerjaan rumah, seperti menyetrika atau sekedar melipat baju saja. Tapi setelah tahu kaki itu tidak boleh lagi banyak digunakan, diri ini pasrah untuk tiduran di kamar saja. Nah disitulah berawal semuanya.Â
Ketika butuh sesuatu mulai deh panggil anak-anak bergantian satu-satu untuk mengambilkan ini itu. Tapi seberapa banyak sih anak umur 8 tahun, 7 tahun dan 4 tahun bisa bantu ibunya yang tidak bisa jalan? Tentu saja semua urusan rumah tangga termasuk mengurus tiga orang anak laki-laki yang sangat aktif-aktif nya di pegang oleh ayahnya.Â
Jungkir balik dunia mereka
Suami sempat izin kerja beberapa hari untuk mengurus rumah tangga yang kakinya pincang sebelah karena cutinya peran istri. Mulai dari pagi menyiapkan anak-anak ke sekolah, sampai mengantarkan mereka ke dua sekolah yang berbeda. Lalu pindah ke urusan domestik, rapi-rapi rumah, cuci piring dan cuci baju. Syukurlah urusan setrikaan dan urusan berpindah ke rumah sebelah dibantu oleh mama mertua.Â
Namun saat suami sudah mulai masuk kerja, ceritanya sangat berbeda. Selain menyiapkan anak-anak berangkat ke sekolah, lalu mengantar mereka. Suami pun harus mengurus diri sendiri untuk berangkat kerja. Mulai menyiapkan sarapan untuk diri sendiri juga untuk saya istrinya, kemudian menyiapkan sendiri pakaian kerja dan tetek bengek lainnya, yang biasanya sudah tersedia.Â
Kemudian pulang kerja disambut dengan cucian yang menumpuk, tidak hanya pakaian di mesin cuci, tapi di tempat cuci piring pun juga menanti untuk dibereskan. Biasanya barulah larut malam, suami bisa beristirahat untuk memulai kembali rutinitas yang sama di keesokan harinya.
Dunia anak-anak ikut berubah total. Tidak ada lagi umi yang menjemput disaat pulang. Berganti dengan abang gojek yang menanti di depan gerbang. Tidak ada lagi sekolah sepak bola, karena umi tidak bisa lagi mengantarkan. Tidak ada lagi jalan-jalan di hari Sabtu atau Minggu, bahkan saat liburan semesteran pun mereka hanya dirumah aja.Â
Tidak ada lagi umi yang membuatkan nasi goreng setiap pagi, berganti segelas susu dan sepotong roti. Tidak ada lagi, acara naik sepeda sekeluarga keliling komplek. Bahkan yoga bersama di rumah pun ikut terhenti karena ummi tidak bisa berdiri lagi.Â
Nikmati Hikmahnya
Begitulah terjadi selama hampir tiga bulan. Setelah berhasil menerima kenyataan bahwa pasti ada hikmah di balik musibah ini. Maka hikmah pertama yang saya rasakan adalah seakan mendapat cuti panjang dari lelahnya pekerjaan seorang istri, dan seorang ibu selama ini. Seolah memberi saya kesempatan untuk istirahat dari rutinitas yang seakan tidak hentinya ini.Â
Pagi setelah menyiapkan anak-anak untuk ke sekolah, saya pun juga harus menyiapkan diri sendiri berangkat kerja yang kebetulan juga mengajar di sekolah. Kemudian siang sekitar jam duaan, saya harus izin untuk menjemput anak-anak dari sekolahnya, kemudian diantar pulang ke rumah.Â