Kemudian di hari minggu mereka diajak naik sepeda, manjat pohon di hutan kota, atau sekedar melempar bola basket di depan rumah. Tapi kaki saya yang tidak bisa jalan tentu saja tidak bisa mendampingi mereka lagi. Maka demi kembalinya kualitas motorik rutin yang menjadi PR mereka di rumah, saya akhirnya setuju mengambil urusan kerumahtanggaan kembali, dan mengembalikan peran ayah kepada suami yang harus meluangkan banyak waktu bermain dengan ketiga jagoannya.Â
Nenek Jatuh
Negosiasi itu terjadi di jumat pagi, artinya mulai Jumat saya akan kembali beraktivitas seperti biasa, meskipun kaki kiri masih pincang diajak jalan, tapi sudah siap untuk memulai kembali aktivitas semula, dengan menghilangkan sekolah sepakbola. Karena ini terlalu menyita waktu anak-anak dan juga saya. Jumat, sabtu dan minggu semua berjalan lancar.Â
Namun senin terjadilah tragedi itu. Saat siang saya pulang cepat karena anak saya yang ketiga panas dan diantarkan gurunya pulang, siang itu juga, justru setelah saya sampai dirumah, si nenek jatuh. Jatuh terduduk ke lantai sehingga tidak bisa bangun lagi. Dibantu untuk berdiri pun tidak kuat karena ada yang sakit dibagian punggung dan pantat. Mau minta tolong tetangga, siang itu sepi karena hari kerja, kalaupun ada yang tersisa nenek-nenek semua.Â
Akhirnya suami ditelpon suruh izin pulang untuk mengurus mamanya. Saya mau urus sendiri, tenaga tidak cukup dengan satu kaki. Belum lagi si bontot yang rewel karena sedang tidak sehat. Dimulailah prahara kedua setelah kecelakaan saya. Padahal baru hari minggu kemarin saya menyelesaikan pengobatan terapi kaki ini dengan adiknya papa mertua yang kebetulan punya keahlian. Katanya tinggal satu kali lagi, Mudah-mudahan kaki ini sudah bisa normal kembali. Tapi seninnya, saya malah dapat ujian baru lagi.Â
Merawat orangtua
Awalnya saya mengira ini saatnya suami berbakti pada orangtua dengan mengurus mamanya. Tapi apa yang terjadi, mereka, suami dan adik-adiknya terlalu bingung untuk mengurus orang sakit. Sepertinya mereka bingung harus melakukan apa. Disitulah akhirnya ujian itu berpindah ke saya.Â
Senin itu saya udah bolak balik antara dua rumah, mengurus anak sakit, dan mengurus si nenek yang juga sakit. Si bontot tidak mau dengan ayahnya, sedangkan si ayah bingung mau ngapain mengurus mamanya. Apa-apa bilangnya tidak tahu, tidak mengerti. Apa selalu saya yang didorong untuk memberi perintah. Suruh beli ini, suruh beli itu, akhirnya minta ditemani, dengan alasan belajar dulu. Kaki ini akhirnya bisa istirahat setelah adik papa mertua datang untuk mengobati si nenek.Â
Tapi itu hanya sampai senin malam, besoknya? Saya kembali pada kenyataan. Suami dan adik-adiknya tidak ada yang bisa izin kerja. Mereka semua malah berharap saya yang izin kerja untuk mengurus mama mereka yang sebenarnya juga menjadi mama saya. Meski saya jelas menolak untuk izin, saya akhirnya memilih untuk telat datang kerja.Â
Pagi setelah menyiapkan anak-anak berangkat ke sekolah, barulah saya ke sebelah mengurus mama mertua. Melap badan, mengganti baju, mengganti alas kasur, ganti pampers, kemudian menyuapi makan. Setelah urusan beliau beres, barulah saya berangkat kerja. Bukan bermaksud untuk egois, tapi minggu ini saya benar-benar tidak bisa izin mengajar sama sekali.
Anak-anak minggu depan mau UTS, soal sudah dibuat sampai materi yang dipelajari di minggu ini. Bisa saja tidak masuk, tapi ada rasa bersalah karena memberi soal dari materi yang belum mereka pelajari sama sekali. Maka jika bisa saya kerjakan semuanya kenapa tidak.Â
Di hari selasa itu, untunglah ada ibu-ibu tetangga yang menemani si nenek. Membantu membuatkan susu, mengambilkan minum, selagi saya masih berada di tempat kerja. Biasanya saya pulang kerumah jam tigaan,setelah menjemput si sulung dan ditengah dari sekolahnya. Tapi hari ini, kebetulan saya cepat selesai mengajar, sehingga bisa langsung pulang sebelum tengah hari.Â
Sesampainya dirumah, siapin makan si nenek lalu disuapin. Balik ke rumah sebelah, suapin makan si bontot yang masih sakit, bari deh makan siang untuk diri sendiri. Sungguh hari yang melelahkan kembali terjadi. Tapi untungnya siang itu ada tetangga lagi yang menemani si nenek, sehingga saya punya waktu untuk tidur siang sebelum nanti jam empat sore menjemput si sulung dan si tengah pulang kerumah.Â