Makhluk Tercantik
Kami adalah perempuan langka dirumah ini, seorang mertua, seorangnya lagi menantu. Hanya kami berdua perempuannya, seorang nenek, seorangnya lagi Ibu. Sedangkan penghuni lainnya adalah makhluk penuh logika yang tidak faham bahasa kalbu. Jadilah kami berdua menjadi makhluk paling cantik di keluarga ini.
Si nenek punya anak empat orang, laki-laki semua. Anak pertamanya menikah, itulah yang menjadi suami saya. Lalu kami punya anak tiga orang yang juga laki-laki semua. Kami tinggal di dua rumah yang berbeda dengan posisi berdampingan. Dua rumah, tapi satu dapur, satu setrikaan, satu...satu...pokoknya semua urusan manajemen kerumahtanggaan diatur dalam satu pintu. Hanya tempat tidurnya saja yang dipisahkan berdasarkan kartu keluarga.Â
Coba hitung deh, si nenek satu keluarga suami istri dan anak jumlah total enam orang. Sulungnya menikah, punya istri, punya tiga anak, total jadi lima orang sekeluarga. Maka tepatlah pembagian berdasarkan kartu keluarga, masing-masing rumah diisi oleh lima nyawa. Kebayang dong bagaimana repotnya si nenek mengurusi keluarga besarnya yang laki-laki semua.Â
Nenek perempuan hebat
Maka disini berlakunya hukum, tidak hanya ibu yang tidak boleh sakit, tapi si nenek juga tidak boleh sakit. Jika ibu yang sakit, masih ada nenek yang siap dan terbiasa menghandle semuanya. Tapi jika nenek yang sakit, ibu yang tidak bisa apa-apa ini akan pusing kepala. Syukur-syukur masih bisa mengurusi tiga anak laki-lakinya.Â
Lalu bagaimana dengan si kakek dan tiga adik iparnya yang laki-laki semua. Siapa yang akan mengurusi perkara makan dan kebutuhan mereka. Namun sepanjang yang sudah terjadi, saat salah satu dari kami yang sakit, semua masih bisa berjalan normal seperti sediakala. Jika kendala utamanya tidak bisa masak untuk semua. Setidaknya harus punya budget lebih agar mampu beli makanan jadi aja.Â
Adakalanya saya dirawat di rumah sakit beberapa hari saat hamil anak ketiga. Meski hanya si nenek yang handel sendirian, ternyata urusan ke rumah tanggaan lancar tanpa kendala. Alhamdulillah, saya tidak mendapatkan posisi yang berkebalikan. Hanya pernah merawat  si nenek yang sakit dirumah, tapi masih bisa duduk dan bisa berjalan ke kamar mandi meskipun di papah.Â
Kala itu si kakek masih ada, jadi urusan cuci mencuci, si kakek masih kuat mengambil alih tugas mama mertua. Sedangkan urusan rapi-rapi rumah bisa dihandle anak kedua. Tinggal urusan masak memasak yang berpindah ke saya, dirumah sebelah dengan hasil seadanya.Â
Ketika si kakek meninggal dunia, dan anak kedua nenek menikah dan tinggal bersama istrinya dikota yang berbeda, maka tinggallah kami berdelapan keluarga besar. Kami masih berlima, dan si nenek bertiga dengan dua anak laki-lakinya yang lain.Â
Saat Ibu tidak bisa jalan
Lalu terjadilah kecelakaan itu di akhir November 2023. Rabu sore sehabis mengantarkan anak-anak sekolah sepak bola di belakang komplek, kemudian menuju ke sekolah untuk absen sore. Entah kenapa ada setitik rasa ragu hingga akhirnya mobil itu menabrak tepat dari arah samping kanan.Â
Tidak ada yang luka, hanya kaki kiri yang geser dipergelangannya. Mungkin sehari dua hari akan membaik. Itulah pikiran positif saya dalam hati. Sehari, dua hari, seminggu, dua minggu, namun memar di kaki tidak jua menghilang. Ternyata ada yang patah di bagian bawah mata kaki sana, sehingga butuh pemulihan yang tidak sebentar, dan akhirnya saya harus menerima kenyataan bahwa kaki ini butuh banyak diistirahatkan, agar tulang yang patah bisa segera tersambung kembali.Â
Padahal sehari setelah kecelakaan, kaki ini masih dipaksakan untuk jalan, untuk menyelesaikan pekerjaan rumah, seperti menyetrika atau sekedar melipat baju saja. Tapi setelah tahu kaki itu tidak boleh lagi banyak digunakan, diri ini pasrah untuk tiduran di kamar saja. Nah disitulah berawal semuanya.Â
Ketika butuh sesuatu mulai deh panggil anak-anak bergantian satu-satu untuk mengambilkan ini itu. Tapi seberapa banyak sih anak umur 8 tahun, 7 tahun dan 4 tahun bisa bantu ibunya yang tidak bisa jalan? Tentu saja semua urusan rumah tangga termasuk mengurus tiga orang anak laki-laki yang sangat aktif-aktif nya di pegang oleh ayahnya.Â
Jungkir balik dunia mereka
Suami sempat izin kerja beberapa hari untuk mengurus rumah tangga yang kakinya pincang sebelah karena cutinya peran istri. Mulai dari pagi menyiapkan anak-anak ke sekolah, sampai mengantarkan mereka ke dua sekolah yang berbeda. Lalu pindah ke urusan domestik, rapi-rapi rumah, cuci piring dan cuci baju. Syukurlah urusan setrikaan dan urusan berpindah ke rumah sebelah dibantu oleh mama mertua.Â
Namun saat suami sudah mulai masuk kerja, ceritanya sangat berbeda. Selain menyiapkan anak-anak berangkat ke sekolah, lalu mengantar mereka. Suami pun harus mengurus diri sendiri untuk berangkat kerja. Mulai menyiapkan sarapan untuk diri sendiri juga untuk saya istrinya, kemudian menyiapkan sendiri pakaian kerja dan tetek bengek lainnya, yang biasanya sudah tersedia.Â
Kemudian pulang kerja disambut dengan cucian yang menumpuk, tidak hanya pakaian di mesin cuci, tapi di tempat cuci piring pun juga menanti untuk dibereskan. Biasanya barulah larut malam, suami bisa beristirahat untuk memulai kembali rutinitas yang sama di keesokan harinya.
Dunia anak-anak ikut berubah total. Tidak ada lagi umi yang menjemput disaat pulang. Berganti dengan abang gojek yang menanti di depan gerbang. Tidak ada lagi sekolah sepak bola, karena umi tidak bisa lagi mengantarkan. Tidak ada lagi jalan-jalan di hari Sabtu atau Minggu, bahkan saat liburan semesteran pun mereka hanya dirumah aja.Â
Tidak ada lagi umi yang membuatkan nasi goreng setiap pagi, berganti segelas susu dan sepotong roti. Tidak ada lagi, acara naik sepeda sekeluarga keliling komplek. Bahkan yoga bersama di rumah pun ikut terhenti karena ummi tidak bisa berdiri lagi.Â
Nikmati Hikmahnya
Begitulah terjadi selama hampir tiga bulan. Setelah berhasil menerima kenyataan bahwa pasti ada hikmah di balik musibah ini. Maka hikmah pertama yang saya rasakan adalah seakan mendapat cuti panjang dari lelahnya pekerjaan seorang istri, dan seorang ibu selama ini. Seolah memberi saya kesempatan untuk istirahat dari rutinitas yang seakan tidak hentinya ini.Â
Pagi setelah menyiapkan anak-anak untuk ke sekolah, saya pun juga harus menyiapkan diri sendiri berangkat kerja yang kebetulan juga mengajar di sekolah. Kemudian siang sekitar jam duaan, saya harus izin untuk menjemput anak-anak dari sekolahnya, kemudian diantar pulang ke rumah.Â
Dua kali dalam seminggu, biasanya saya langsung menunggu mereka ganti baju, untuk diantarkan lagi ke lapangan mengikuti sekolah sepak bola yang jadwalnya setengah empat sore. Maka paslah, setelah mengantarkan mereka saya balik lagi ke sekolah untuk absen sore di jam empat teng, kemudian balik lagi ke lapangan menunggu mereka selesai latihan bola, yang biasanya baru berhenti setelah adzan magrib berkumandang.Â
Disaat itulah kami baru kembali kerumah, mandi, makan, dan menemani anak-anak mengaji, kemudian membacakan cerita sebelum tidur. Tapi saya belum bisa istirahat teman, selepas magrib menjelang isya adalah jadwal ayahnya pulang kerja. Selain membuatkan minum, lalu menyiapkan makan malam, yang biasanya harus dimasak dulu, atau setidaknya dipesankan dulu melalui gofood.Â
Ngobrol sembari memutar mesin cuci dan menyetrika atau melipat pakaian. Semampunya saja, karena sebenarnya mata sudah tidak kuat menahan kantuk. Selain memang saya tipikal tidur diawal waktu, lelah seharian juga membantu mata ini meronta-ronta dengan segera. Begitulah terjadi setiap hari. Sedangkan sabtu minggu, jika tidak kemana-mana, tentu saja saya bergulat dengan setrikaan yang selalu menggunung setiap minggunya.Â
Saat kaki kiri ini tidak bisa diinjakkan lagi, semua rutinitas tadi berhenti total. Untunglah saya masih bisa berjalan menggunakan alat bantu jalan, sehingga untuk mengurus diri sendiri tidak terlalu membebani anggota keluarga lain. Sedangkan semua rutinitas yang biasanya saya kerjakan otomatis berpindah ke pundak suami, dan dibantu ibu mertua juga.Â
Sebenarnya bersyukur karena suami tipikal laki-laki yang bisa mengurus rumah. Tapi melihat cara kerja terkadang tertawa prihatin tapi tidak mau diberikan petunjuk. Misal saat mencuci pakaian, semuanya dibalik sehingga bagian bagusnya berada diluar. Tapi saat menjemur dibalik kembali agar bagian bagusnya berada di bagian dalam.Â
Begitu juga saat mengangkat jemuran, pakaian tadi kembali dibalik agar bagian bagusnya berada di luar lagi. Belum lagi bilas di mesin cucinya sampai berkali-kali, sampai benar-benar bersih katanya. Alhasil, terlalu banyak waktu yang dihabiskan hanya untuk mencuci pakaian saja.Â
Belum lagi urusan cuci piring. Saya yang biasa bekerja di sambi, saat mencuci baju, bisa sekalian mencuci piring, maka lebih terbiasa menumpuk piring kotor biar dicucinya nanti sekalian saja. Biar sekalian berada di dapur, biar sekali aja basah bajunya. Biar praktis aja gak bolak balik main air di dapur.Â
Tapi itu menurut saya. Tapi suami selalu gatal tangannya setiap melihat ada peralatan yang kotor. Meskipun hanya sebuah piring, sebuah gelas, bahkan hanya sebuah sendok. Menurut saya terlalu banyak waktu yang juga dihabiskan hanya untuk mencuci piring. Tapi ya sudahlah, akhirnya saya pasrah. Setidaknya pekerjaan rumah beres tanpa kendala. Hanya sayang saja, anak-anak kehilangan teman bermainnya.Â
Ambil alih demi anak
Lalu, hampir tiga bulan kaki ini di masa pemulihan, beberapa hari yang lalu, mulai terasa membaik, saya bernegosiasi dengan suami. Kami memiliki satu anak yang tumbuh kembangnya butuh pendampingan ektra dari orangtuanya. Namun sejak saya kecelakaan, dan semua urusan domestik rumah tangga berpindah ke suami, anak-anak tidak lagi mendapat pendampingan motorik. Sementara aktivitas motorik harian mereka dirumah akan berpengaruh pada lancar atau tidaknya kegiatan mereka selama disekolah.Â
Tiga bulan tanpa aktivitas motorik yang maksimal, tentu saja akan terlihat jelas penurunannya oleh pihak sekolah. Maka inilah salah satu pertimbangan saya untuk mencoba kembali rutinitas yang sebelumnya menjadi tanggung jawab saya seperti urusan kerumahtanggaan dan menjemput mereka ke sekolah agar bonding itu diperkuat lagi.
Biasanya, bermain sepak bola, merupakan salah satu aktivitas motorik rutin untuk anak-anak. Bermain bola bukan membuat mereka menjadi atlet, tapi hanya sekedar untuk membuat mereka bergerak mengejar bola, tentu saja bukan bergerak sembarangan, tapi ada aturan main yang juga mereka pelajari.Â
Kemudian di hari minggu mereka diajak naik sepeda, manjat pohon di hutan kota, atau sekedar melempar bola basket di depan rumah. Tapi kaki saya yang tidak bisa jalan tentu saja tidak bisa mendampingi mereka lagi. Maka demi kembalinya kualitas motorik rutin yang menjadi PR mereka di rumah, saya akhirnya setuju mengambil urusan kerumahtanggaan kembali, dan mengembalikan peran ayah kepada suami yang harus meluangkan banyak waktu bermain dengan ketiga jagoannya.Â
Nenek Jatuh
Negosiasi itu terjadi di jumat pagi, artinya mulai Jumat saya akan kembali beraktivitas seperti biasa, meskipun kaki kiri masih pincang diajak jalan, tapi sudah siap untuk memulai kembali aktivitas semula, dengan menghilangkan sekolah sepakbola. Karena ini terlalu menyita waktu anak-anak dan juga saya. Jumat, sabtu dan minggu semua berjalan lancar.Â
Namun senin terjadilah tragedi itu. Saat siang saya pulang cepat karena anak saya yang ketiga panas dan diantarkan gurunya pulang, siang itu juga, justru setelah saya sampai dirumah, si nenek jatuh. Jatuh terduduk ke lantai sehingga tidak bisa bangun lagi. Dibantu untuk berdiri pun tidak kuat karena ada yang sakit dibagian punggung dan pantat. Mau minta tolong tetangga, siang itu sepi karena hari kerja, kalaupun ada yang tersisa nenek-nenek semua.Â
Akhirnya suami ditelpon suruh izin pulang untuk mengurus mamanya. Saya mau urus sendiri, tenaga tidak cukup dengan satu kaki. Belum lagi si bontot yang rewel karena sedang tidak sehat. Dimulailah prahara kedua setelah kecelakaan saya. Padahal baru hari minggu kemarin saya menyelesaikan pengobatan terapi kaki ini dengan adiknya papa mertua yang kebetulan punya keahlian. Katanya tinggal satu kali lagi, Mudah-mudahan kaki ini sudah bisa normal kembali. Tapi seninnya, saya malah dapat ujian baru lagi.Â
Merawat orangtua
Awalnya saya mengira ini saatnya suami berbakti pada orangtua dengan mengurus mamanya. Tapi apa yang terjadi, mereka, suami dan adik-adiknya terlalu bingung untuk mengurus orang sakit. Sepertinya mereka bingung harus melakukan apa. Disitulah akhirnya ujian itu berpindah ke saya.Â
Senin itu saya udah bolak balik antara dua rumah, mengurus anak sakit, dan mengurus si nenek yang juga sakit. Si bontot tidak mau dengan ayahnya, sedangkan si ayah bingung mau ngapain mengurus mamanya. Apa-apa bilangnya tidak tahu, tidak mengerti. Apa selalu saya yang didorong untuk memberi perintah. Suruh beli ini, suruh beli itu, akhirnya minta ditemani, dengan alasan belajar dulu. Kaki ini akhirnya bisa istirahat setelah adik papa mertua datang untuk mengobati si nenek.Â
Tapi itu hanya sampai senin malam, besoknya? Saya kembali pada kenyataan. Suami dan adik-adiknya tidak ada yang bisa izin kerja. Mereka semua malah berharap saya yang izin kerja untuk mengurus mama mereka yang sebenarnya juga menjadi mama saya. Meski saya jelas menolak untuk izin, saya akhirnya memilih untuk telat datang kerja.Â
Pagi setelah menyiapkan anak-anak berangkat ke sekolah, barulah saya ke sebelah mengurus mama mertua. Melap badan, mengganti baju, mengganti alas kasur, ganti pampers, kemudian menyuapi makan. Setelah urusan beliau beres, barulah saya berangkat kerja. Bukan bermaksud untuk egois, tapi minggu ini saya benar-benar tidak bisa izin mengajar sama sekali.
Anak-anak minggu depan mau UTS, soal sudah dibuat sampai materi yang dipelajari di minggu ini. Bisa saja tidak masuk, tapi ada rasa bersalah karena memberi soal dari materi yang belum mereka pelajari sama sekali. Maka jika bisa saya kerjakan semuanya kenapa tidak.Â
Di hari selasa itu, untunglah ada ibu-ibu tetangga yang menemani si nenek. Membantu membuatkan susu, mengambilkan minum, selagi saya masih berada di tempat kerja. Biasanya saya pulang kerumah jam tigaan,setelah menjemput si sulung dan ditengah dari sekolahnya. Tapi hari ini, kebetulan saya cepat selesai mengajar, sehingga bisa langsung pulang sebelum tengah hari.Â
Sesampainya dirumah, siapin makan si nenek lalu disuapin. Balik ke rumah sebelah, suapin makan si bontot yang masih sakit, bari deh makan siang untuk diri sendiri. Sungguh hari yang melelahkan kembali terjadi. Tapi untungnya siang itu ada tetangga lagi yang menemani si nenek, sehingga saya punya waktu untuk tidur siang sebelum nanti jam empat sore menjemput si sulung dan si tengah pulang kerumah.Â
Pelajaran untuk masa depan
Akhirnya hati ini kembali bisa berdamai. Mungkin awalnya datang seperti ujian, tapi akhirnya saya kembali melihat sebuah pelajaran disini. Pertama saya ternyata berbakat menjadi perawat, namun itu cita-cita tidak kesampaian. Tapi bukan itu poin utamanya. Saat ini saya diperlihatkan kondisi masa depan saya nanti. Bukankah saya dengan si nenek bernasib sama. Sama-sama hanya punya anak laki-laki yang sendirian merantau ikut suami sehingga tidak punya sanak saudara yang dekat disini.Â
Semuanya jauh di Sumatera Barat sana. Jika sekarang anak-anak si nenek pada bingung mengurus mamanya sendiri, karena dulu tidak diajari, karena tidak pernah bertemu kondisi seperti ini. Maka lain halnya dengan tiga bujang saya. Entah ekspektasi saya terlalu jauh menjangkau Uwais Al Qarni, saya hanya berharap mereka bertiga menjadi anak-anak yang bisa berbakti.Â
Saya tidak butuh anak-anak yang bekerja di kantor bergengsi, tapi saat ibunya sakit tidak bisa izin untuk mendampingi. Sedih sekali. Tapi entahlah apa yang akan terjadi pada mereka nanti, tapi setidaknya saat mereka masih kecil ini saya berusaha mengajari, dan memberi contoh, seperti inilah seharusnya kita berbakti.Â
Rabu pagi, saya ke sebelah mengurus mama lebih pagi, sembari mengajak anak-anak melihat neneknya. Di kesempatan inilah saya sounding pada mereka, jika umi tua nanti, dan sakit seperti nenek, maukah kalian mengurusi umi, seperti umi mengurusi nenek? Melap badan umi, mengganti pampers umi, menyuapi umi makan.Â
Terlalu memaksa kesannya. Tapi mereka menjawab nanti jika mereka sudah besar akan melakukannya. Sembari saya menggarisbawahi, mengurus umi nanti adalah kewajiban kalian bertiga, bukan kewajiban istri-istri kalian, ingat itu jangan sampai salah. Jika tidak tahu caranya, lihat umi sekarang mengurus nenek, begitulah caranya nanti.Â
Kamis pagi, jumat pagi, saya mulai terbiasa dengan rutinitas tambahan. Tinggal perkara memasak, dan mencuci pakaian rumah sebelah yang jadi masalah. Untunglah di rabu siang, ada adik papa mertua yang lain lagi yang mau nginap dirumah dan bantu-bantu memasak dan mencuci. Sedangkan urusan mama, tidak mau dipegang selain saya.Â
Tapi tentu saja tidak bisa lama-lama. Minggu depan sebelum Ramadhan beliau sudah harus pulang kembali mengurus keluarga sendiri. Lalu bagaimana nantinya? Urusan memasak mungkin bisa dibeli, urusan mencuci mungkin mau di laundry, maka akan datang lagi kesempatan saya untuk mengatur suami bersaudara belajar mengambil peran untuk berbakti pada orangtua.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2HSaat istri sakit, berarti saatnya suami mengambil alih tugas rumah tangga yang selama ini sendirian dipikulnya. Saat ibu sakit, berarti saatnya anak berbagi peran mengurus ibunya, mengambil kesempatan memperoleh surga yang berada dibawah telapak kakinya.