"Iya, Bu."
Malam seakan melangkah perlahan di antara gerimis yang padat dan mengaburkan pandangan ke arah persawahan tadah hujan yang sudah beralih fungsi karena dibeli oleh perusahaan penambangan batu. Tidak ada senandung serangga, kecuali tetesan sekumpulan gerimis yang menimpa kaleng dan botol plastik.
"Beginilah suasananya di sini, Mas Oji," ujar Pak Odang.
"Saya juga aslinya orang udik, Pak. Bahkan, saya pernah tinggal di rumah kakek saya yang belum tersentuh jaringan PLN. Masih mengandalkan aki untuk tipi hitam-putih, dan baterai untuk senter."
"Arti kata, Mas Oji sedang mudik selama bekerja."
"Sayangnya saya tidak bisa mencari kodok hijau dengan senter dan lampu petromax, Pak."
"Lho, 'kan, benar kata saya? Mudik selama bekerja, bukannya mudik selama berlibur. Arti kata, maknanya jelas berbeda."
"Ha-ha-ha!" Saya tertawa.
Ya, beginilah malam pertama kali saya berniat tinggal sementara di dekat lokasi, dan menikmati suasana kekeluargaan dengan rekan saya. Suasananya sangat apa adanya dan lebih akrab daripada ketika saya sekadar ngobrol lalu pulang ke rumah Sarwan.
"Sebenarnya rumah Sarwan yang Mas Oji tempati itu tidak nyaman," kata Bu Lia. "Sejak pertama dulu saya main ke sana, suasananya aneh-aneh gimana, gitu."
Saya menoleh ke Bu Lia untuk mendengarkan dengan saksama. Bu Lia pun menceritakan perihal "guna-guna" yang menyasar pada istri Sarwan sehingga mereka terpaksa pindah rumah, bahkan menyewa di tempat yang cukup jauh. Kepada Bu Lia pun Sarwan pernah menceritakan perihal ketidaksukaan istri Sarwan pada rumah mereka sendiri.