Pak Odang, saya, dan Bu Lia berdiri di lahan Blok H1. Degul mengambil peralatan ukur di kontrakan. Sementara Handoko sudah menggerakkan excavatornya ke sisi kiri blok untuk menggali saluran drainase. Sebelumnya excavator "bersenam besi" sebelum memulai tugas  tepat pkl. 08.00 nanti.  Â
"Itu rumahnya, Ji," kata Bu Lia tanpa menyertakan telunjuknya.
"Ya, Bu."
Rumah "orang pintar" di tengah persawahan tadah hujan yang belum ditanami lagi. Tidak ada satu rumah lainnya di dekat rumah itu. Sekitar seratus meter di kanannya adalah makam keramat yang berpohon mahoni dan dikelilingi persawahan tadah hujan yang juga belum ditanam lagi..
Sebentar-sebentar Pak Odang melihat ke patok-patok, baik di sudut-sudut blok maupun di  lahan lainnya. Sebagian masih terikat tali rafia, meski sudah selesai dikerjakan. Memang, urusan semacam itu merupakan tugas sekaligus tanggung jawabnya.
Sementara sisa hujan kemarin sore sampai malam masih memamerkan genangan di sebagian lahan blok. Genangan paling menyebalkan terlihat di jalan yang masih berupa tanah dan sebagian galian saluran drainase yang belum tersambung ke mana-mana. Â
Tiba-tiba ponsel Pak Odang berbunyi, dan saya menoleh ke arahnya. Pak Odang langsung mengambil dari tas buluk andalannya.
"Halo?" Begitu saja Pak Odang menanggapi.
Tidak ada kelanjutan komunikasi, Pak Odang menutupnya. Kemudian ponsel berbunyi lagi, dan Pak Odang menanggapi.
Saya agak kepo. Pak Odang mengamati layar ponsel, lalu keningnya berkerut. Bu Lia masih meneruskan cerita misteri.
"Ibu menelpon saya?"