Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Akek Bagak Menanam Batu

17 Januari 2019   14:46 Diperbarui: 17 Januari 2019   15:01 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akek Bagak berdiri di atas sebuah batu berukuran raksasa di lereng Bukit Betung--bukit  yang mirip perahu terbalik atau seperti Gunung Tangkuban Perahu. Kabar burung hantu dulu, seorang dikenal dengan nama "Akek Antak" telah menendang perahu kayu karena beradu kesaktian dengan Akek Bedengung. Entahlah benar-tidaknya karena hanya kabar burung hantu yang didengarnya sebelum tidur.

Dari atas batu itu mata Akek Bagak menyapu seluruh panorama di dataran lebih rendah. Hutan belantara dan semak belukar. Terkadang muncul biawak atau burung puyuh di tanah dekat batu itu. Sementara empat elang sikep berbutar-putar di langit.

Masih membekas dalam ingatannya ketika ia baru pulang dari daerah seberang pulau yang sangat jauh, atau dikenal dengan nama Semenanjung Malaka, setelah ikut perahu besar milik saudagar di sana untuk mengantarkan kayu-kayu berukuran dua kali pelukannya.

"Ini apa?" tanya bininya ketika itu sambil melihat sebuah batu sebesar genggaman Akek Bagak.

"Batu."

"Batu? Untuk apa?"

"Ditanam."

"Dapat dari?"

"Orang Malaka. Ini batu terakhir, harta terakhir, untuk membayar kayu-kayuku."

Ia tidak menceritakan bahwa batu itu adalah batu satu-satunya yang pernah dilihatnya atau diceritakan orang-orang.

"Mau kau tanam?"

"Iya. Siapa tahu bisa tumbuh di sini."

"Di mana?"

"Oh, di hutan dekat bukit sana."

Lantas mengomellah bininya. Akek Bagak hafal, bininya bisa bahkan biasa mengomel seharian-semalaman, apalagi soal batu itu. Oleh sebab itu pula Akek Bagak menamai bininya "Nek Kelanter".

Demi menghindar dari omelan Nek Kelanter, ia segera bergegas ke hutan dekat lereng Bukit Betung, yang jaraknya mencapai setengah lintasan matahari. Kalau diladeni, Nek Kelanter semakin bersemangat untuk mengomelinya bahkan bisa hingga esok sebelum matahari mewarnai pagi di bentang cakrawala.

"Eh, colek makanan dulu biar tidak kepun! Asal main pergi saja. Kelak kena bala, aku pula yang repot! Macam budak, minta dikasih tahu!"

Mau-tidak mau Akek Bagak berbalik menuju dapur. Dibukanya gerubok lalu dicoleknya ubi bakar dan pelanduk bakar.

***

Akek Bagak masih berdiri di atas sebuah batu berukuran raksasa di lereng Bukit Betung. Batu itulah yang pertama kali ditanamnya, puluhan tahun silam. Batu itu menjadi tanda baginya dan bininya, sekaligus kenang-kenangan dari orang seberang nan jauh.

Ia sengaja menanamnya di lereng bukit itu supaya dengan mudah ia melihatnya nanti, jika bertumbuh dan besar. Tapi menanam batu tidaklah semudah menanam batang ubi. Berkali-kali ia harus melihat pertumbuhan batu itu. Terkadang menyiramnya. Terkadang disenggolnya untuk memastikan kondisi akar-akarnya. Yang akhirnya ia benar-benar ketahui, batu bertumbuh sejengkal di setiap masa purnama paling puncak.

"Itukah batumu dulu?" tanya bininya ketika diajaknya melihat batu hasil tanamnya. Tingginya baru enam jengkal dan lebarnya sepuluh jengkal.

"Iya. Aku hendak menanam pula di tempat lain."

"Caranya?"

"Kalau sudah sebesar orang dan panjangnya sepuluh depa, aku hendak pecahkan badannya. Aku bakar saja."

Kemudian Akek Bagak menerangkan cara itu secara rinci pada bininya. Tetapi sebenarnya Akek Bagak hanya mengarang cara.

Ia terpaksa mengarang supaya bininya tidak mampu memahami dan susah untuk bertanya sekaligus mengomel. Ya, hanya karangannya sendiri. Ia sama sekali tidak tahu, bagaimana bisa memecahkan batu dan menjadikannya sebagai bibit baru.

"Coba kau tanam dekat rumah kita."

"Pastilah."

Memang pasti. Di sekitar rumah mereka pun terdapat batu-batu pada tahun-tahun berikutnya. Batu-batu bertumbuh dan berkembang pesat. Ada yang memanjang hingga ratusan depa. Ada pula yang meninggi hingga sebesar rumah.

Akek Bagak pun sudah tahu bahwa batu itu berjenis laki jika cenderung menjulang, dan bini jika memanjang. Ada juga batu yang bakal tumbuh, dan ada yang memang mati. Batu yang mati bisa dipakai sebagai tungku.

Batu-batu juga tumbuh di pesisir-pesisir. Bahkan, Akek Bagak menanamnya di seluruh pesisir pulau itu -- kelak dinamakan Bangka--sebagai penanda bahwa ia pernah ke sana. Orang-orang yang semula heran, mengapa Akek Bagak menanam batu, malah kemudian memuji-mujinya karena orang-orang bisa menggunakan batu-batu itu, khususnya yang memanjang dan lebar, sebagai alas pondok mereka. 

***

Akek Bagak belum beranjak dari atas sebuah batu berukuran raksasa di lereng Bukit Betung. Angin memainkan ubannya yang terurai. Empat elang sikep masih berputar-putar di langit. Sesekali melintas burung punai dan tiung kuning.

Pandangannya mengarah ke timur, tepatnya pesisir. Batu-batu raksasa terlihat menyeruak di antara rimbun hijau hutan belantara. Batu-batu itu dulu ia yang menanamnya beberapa puluh tahun silam, dan bininya mempercayai bahwa batu-batu tumbuh serta di samping rumah mereka berkat tangan dingin Akek Bagak.

"Woooi! Akek Bagak!"

Suara panggilan berpantul pada batang-batang dan lereng Bukit Betung berbaur kicau burung perincek dan pesuit.

Oh, Nek Kelanter sudah datang tapi di mana dia, pikir Akek Bagak.

Matanya segera mengarah ke beberapa tempat di bawah. Pepohonan dan semak yang sangat rapat sangat mengganggu pandangannya.

"Turunlah, cepat!" teriak bininya. "Makan dulu. Satu hari kau tidak makan. Cuma mencolek makanan, mana bisa bikin kenyang dan jadi tenaga!"

Rasa lapar mendadak berbunyi di perutnya. Tadi pagi, sewaktu di rumah, ia memang hanya mencolek makanan agar tidak kepun. Kebiasaan itu dilakukan karena kepercayaan orang-orang bahwa makanan bisa menjadi tulah, berupa kecelakaan, apabila tidak mendapat penghargaan. Meskipun tidak makan secuil pun, minimal dengan mencoleknya saja.

"Kau di mana, Nek Kelanter?"

"Woi, aku di sini! Di atas batu ini! Woi, Akek Bagak buler!"

"Di batu mana, Nek Kelanter?!"

"Yang ada batang seruk dan banyak kemunting! Woi, Akek Bagak! Coba tengok di mana asap mengepul!"

"Mana?"

"Woi! Pakai mata kalau mencari, jangan cuma pakai mulut!"

 Bininya terpaksa berdiri di sebuah batu memanjang nan lebar di kaki bukit setelah membuat api dan menutupi dengan ilalang basah untuk menaikkan asap sebagai posisi. Akek Bagak langsung menemukan posisi bininya.

"O, sudah kelihatan. Tunggu!"

Segera ia menuruni batu dan lereng Bukit Betung. Rasa lapar memang harus diredam. Tidak ada ketenangan berpikir dalam kondisi perut diaduk rasa lapar. Itu pun dipahaminya, dan membuat langkahnya terasa ringan menuju makanan.

Bininya kembali duduk dan membuka bekal makanan yang dibungkus daun simpur. Beberapa kali terdengar kicau perbak, disusul ketutu, dan sesekali telagup (pergem). 

 "Tidak terasa puluhan tahun, batu-batuku di pesisir-pesisir sana sudah kelihatan dari lereng bukit," kata Akek Bagak setibanya di dekat bininya.

"Tanah kita memang cocok untuk batu-batumu."

"Oh, ya, kau masak apa tadi?"

"Tadi pelepas-pelepas sekitar rumah kita dapat banyak. Puyuh, ketutu, keroak..."

"Kapan aku pasang pelepas lagi?"

"Aku yang pasang pagi-pagi waktu kau masih ngorok. Sebelum tengah hari, dapatlah. Selama kau tidak di rumah untuk menanam batu sampai ke pantai-pantai, aku sudah biasa memasang pelepas dan pulut sendiri."

***

Akek Bagak dan bininya duduk di atas batu yang terletak di samping rumah mereka. Batu yang mereka duduki sebenarnya memanjang ke belakang rumah mereka yang berdinding kulit kayu dan beratap daun rumbia. Beberapa kali malam Akek Bagak menjadikan punggung batu itu sebagai tempat membakar ubi atau hewan hasil buruan, misalnya pelanduk, tupai, ayam hutan, burung puyuh, dan lain-lain.

Aroma daging terbakar masih mengulik-ulik penciuman. Suara hewan nokturnal terdengar nyaring. Di atas mereka, langit legam begitu kuat menampilkan bulan dan bintang yang benderang. Terkadang elang keluwit melintas; entah ke kelekak mana lagi yang menjadi tujuan perburuan mereka.

"Besok aku hendak ke seberang."

"Ke mana?"

"Ke pulau seberang."

"Di sini masih banyak hutan, batang-batangnya tidak akan habis. Para saudagar dari seberang selalu mencarimu untuk mendapatkan batang-batang bermutu..."

"Aku mau menanam batu di sana, sekaligus mengunjungi anak kita," potong Akek Bagak sebelum Nek Kelanter sempat mencecarnya dengan omelan bertubi-tubi, "Aku sudah menyiap batu-batu di kolek yang kemarin kubikin."

"Tidak usahlah membawa batu-batu. Biarkan batu-batu hanya ada di sini..."

Omelan bininya masih panjang-lebar-tinggi. Kali ini terpaksa Akek Bagak mendengarnya agar kepergiannya besok bisa dimenegerti oleh bininya, dan, tentunya, tidak diiringi omelan.

***

Akek Bagak menyeret kolek ke tepi pantai. Perahu kecil berbahan kayu itu berisi buah-buahan, umbi-umbian, dan pecahan batu. Waktu itu ombak pantai sedang kecil. Sementara seekor elang laut sedang menuju pohon pinus, yang ada sarangnya.

"Titip salam untuk anak dan cucu kita," pesan bininya di belakang Akek Bagak.

"Pastilah," sahutnya tanpa menoleh karena sedang berusaha menarik kolek ke pinggir laut.

"Hati-hatilah di laut. Jangan kencing sembarangan, kelak buyut laut ngamuk!"

"Iyalah."

Akek Bagak menanggapi secara singkat saja. Sekadar meyakinkan. Sekadar mengurangi kecemasan atau kekhawatiran bininya. Kalau diladeni dengan beberapa kata, bininya bisa mengomel bertubi-tubi dengan inilah-itulah dan beginilah-begitulah, yang ujung-ujungnya malah membatalkan keberangkatannya ke pulau seberang.

"Aku berangkat!" seru Akek Bagak ketika ia dan kolek-nya sudah bergerak lebih ke tengah laut. Segera ia naik ke kolek.

"Jangan lama-lama di sana! Ingat rumah! Aku tidak mau hidup sendirian lama-lama! Aku tidak mau berkawan dengan burung kuek!" teriak bininya sambil meneteskan airmata.

"Ya!"

Dan itulah kali terakhir obrolan suami-istri tersebut. Sejak itulah Akek Bagak tidak pernah kembali, dan bininya mengomel sepanjang waktu sehingga benar-benar dikenal orang-orang sebagai Nek Kelanter. Hanya kabar burung hantu juga, batu-batu telah tumbuh di pesisir-pesisir dan bukit-bukit pulau seberang--kelak pulau itu dinamakan Belitung.

*******

Pundok Seruk, 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun