Omelan bininya masih panjang-lebar-tinggi. Kali ini terpaksa Akek Bagak mendengarnya agar kepergiannya besok bisa dimenegerti oleh bininya, dan, tentunya, tidak diiringi omelan.
***
Akek Bagak menyeret kolek ke tepi pantai. Perahu kecil berbahan kayu itu berisi buah-buahan, umbi-umbian, dan pecahan batu. Waktu itu ombak pantai sedang kecil. Sementara seekor elang laut sedang menuju pohon pinus, yang ada sarangnya.
"Titip salam untuk anak dan cucu kita," pesan bininya di belakang Akek Bagak.
"Pastilah," sahutnya tanpa menoleh karena sedang berusaha menarik kolek ke pinggir laut.
"Hati-hatilah di laut. Jangan kencing sembarangan, kelak buyut laut ngamuk!"
"Iyalah."
Akek Bagak menanggapi secara singkat saja. Sekadar meyakinkan. Sekadar mengurangi kecemasan atau kekhawatiran bininya. Kalau diladeni dengan beberapa kata, bininya bisa mengomel bertubi-tubi dengan inilah-itulah dan beginilah-begitulah, yang ujung-ujungnya malah membatalkan keberangkatannya ke pulau seberang.
"Aku berangkat!" seru Akek Bagak ketika ia dan kolek-nya sudah bergerak lebih ke tengah laut. Segera ia naik ke kolek.
"Jangan lama-lama di sana! Ingat rumah! Aku tidak mau hidup sendirian lama-lama! Aku tidak mau berkawan dengan burung kuek!" teriak bininya sambil meneteskan airmata.
"Ya!"