"Kapan aku pasang pelepas lagi?"
"Aku yang pasang pagi-pagi waktu kau masih ngorok. Sebelum tengah hari, dapatlah. Selama kau tidak di rumah untuk menanam batu sampai ke pantai-pantai, aku sudah biasa memasang pelepas dan pulut sendiri."
***
Akek Bagak dan bininya duduk di atas batu yang terletak di samping rumah mereka. Batu yang mereka duduki sebenarnya memanjang ke belakang rumah mereka yang berdinding kulit kayu dan beratap daun rumbia. Beberapa kali malam Akek Bagak menjadikan punggung batu itu sebagai tempat membakar ubi atau hewan hasil buruan, misalnya pelanduk, tupai, ayam hutan, burung puyuh, dan lain-lain.
Aroma daging terbakar masih mengulik-ulik penciuman. Suara hewan nokturnal terdengar nyaring. Di atas mereka, langit legam begitu kuat menampilkan bulan dan bintang yang benderang. Terkadang elang keluwit melintas; entah ke kelekak mana lagi yang menjadi tujuan perburuan mereka.
"Besok aku hendak ke seberang."
"Ke mana?"
"Ke pulau seberang."
"Di sini masih banyak hutan, batang-batangnya tidak akan habis. Para saudagar dari seberang selalu mencarimu untuk mendapatkan batang-batang bermutu..."
"Aku mau menanam batu di sana, sekaligus mengunjungi anak kita," potong Akek Bagak sebelum Nek Kelanter sempat mencecarnya dengan omelan bertubi-tubi, "Aku sudah menyiap batu-batu di kolek yang kemarin kubikin."
"Tidak usahlah membawa batu-batu. Biarkan batu-batu hanya ada di sini..."