Akek Bagak belum beranjak dari atas sebuah batu berukuran raksasa di lereng Bukit Betung. Angin memainkan ubannya yang terurai. Empat elang sikep masih berputar-putar di langit. Sesekali melintas burung punai dan tiung kuning.
Pandangannya mengarah ke timur, tepatnya pesisir. Batu-batu raksasa terlihat menyeruak di antara rimbun hijau hutan belantara. Batu-batu itu dulu ia yang menanamnya beberapa puluh tahun silam, dan bininya mempercayai bahwa batu-batu tumbuh serta di samping rumah mereka berkat tangan dingin Akek Bagak.
"Woooi! Akek Bagak!"
Suara panggilan berpantul pada batang-batang dan lereng Bukit Betung berbaur kicau burung perincek dan pesuit.
Oh, Nek Kelanter sudah datang tapi di mana dia, pikir Akek Bagak.
Matanya segera mengarah ke beberapa tempat di bawah. Pepohonan dan semak yang sangat rapat sangat mengganggu pandangannya.
"Turunlah, cepat!" teriak bininya. "Makan dulu. Satu hari kau tidak makan. Cuma mencolek makanan, mana bisa bikin kenyang dan jadi tenaga!"
Rasa lapar mendadak berbunyi di perutnya. Tadi pagi, sewaktu di rumah, ia memang hanya mencolek makanan agar tidak kepun. Kebiasaan itu dilakukan karena kepercayaan orang-orang bahwa makanan bisa menjadi tulah, berupa kecelakaan, apabila tidak mendapat penghargaan. Meskipun tidak makan secuil pun, minimal dengan mencoleknya saja.
"Kau di mana, Nek Kelanter?"
"Woi, aku di sini! Di atas batu ini! Woi, Akek Bagak buler!"
"Di batu mana, Nek Kelanter?!"