Aku tersenyum. Menggelikan. Setiap akhir Oktober Mama selalu menelpon Theres dan Liza agar kedua keluarga itu bisa mudik, terlebih dua kali Natal pasca kepergian Papa. Banyak alasan Mama yang sarat rayuan. Mama tidak bisa ke Jakarta kalau Natal karena selalu menunggu kunjungan para tamu, khususnya mantan rekan-rekan kerjanya.
Dampaknya, ya, mirip kapal pecah. Tidak ketinggalan taman mungilnya Mama di samping kanan beranda. Tidak ada bunga yang selamat dari permainan anak-anak kami. Selalu ada tanaman yang terinjak-injak. Beberapa dahan pohon jambu pun patah karena dipanjati Gabriel atau Lia karena sedang musim berbuah. Soal sampah berupa daun, kelopak bunga, dan lain-lain, adalah pemandangan yang biasa. Mirip masa kecil Theres, Liza dan Maria, ujar Mama apabila melihat taman mungilnya acak-acakan.
"Menantu Mama dan kawan-kawannya juga, ya, Ma?"
"Ya kamu itu," jawab Mama tanpa menoleh ke arahku. "Habis berapa bir tadi malam?"
"Satu kaleng saja, Ma."
"Satu kaleng? Botek1memang menantu Mama satu ini! Mama lihat ada enam kaleng bir di tempat sampah kita. Awas lho, bisa ditiru Oji. Mucil2-nya sudah kelihatan nurun dari kamu."
"Lho, 'kan, dengan saya, jadinya enam kaleng, Ma? Coba Mama hitung lagi, berapa kaleng bir yang masih penuh di bawah meja itu."
Mama tidak melanjutkan obrolan. Tetap melakukan kegiatan di ruang tamu. Biasanya Mama selalu mengomel, ada saja jawabanmu. Tapi aku senyum saja sebab aku, bahkan Bang Ucok dan Ko Richard pun tidak terlalu suka minuman semacam itu. Berbeda dengan Papa dulu, yang masih membawa kebiasaan orang Filipina-nya. Kalau cuma bir, pasti Papa tertawa. Apa hebatnya bir? Bir tidak laku dalam setiap perjamuan karena bir cuma jadi pemicu buang air kecil, ujar Papa dulu sambil mengangkat botol red wine asli dari Roma.
Sementara semua toples sudah berisi kudapan dan rapi kembali. Kotak tisu sudah siap lagi. Ruang tamu sudah siap menampung kunjungan di hari ketiga Natal ini, dan sore nanti baru kami berangkat ke gereja.
Dari ruang tamu aku mendengar suara perkakas makan-minum sedang dicuci di dapur. Tidak ada suara siapa-siapa. Kupikir, Theres sedang mencuci perkakas itu. Istriku pasti sedang mencuci pakaian yang menumpuk karena selama beberapa hari ini aliran air dari PDAM tidak lancar sehingga istriku harus mengalah pada kedua kakaknya.
Anak-anak kami belum terdengar kegiatannya. Mereka masih terlelap di kamar. Setiap hari libur, mereka memang dibebaskan untuk tidur lebih dari 8 jam, apalagi tadi malam tidur agak larut karena menonton film kokos3Â bertokohkan Sinterklas dari saluran tv luar negeri.