Ruang keluarga di rumah kami--aku sekeluarga tinggal bersama Mama semenjak Papa meninggal dunia dua tahun silam--diramaikan oleh anak-anak yang berebutan mencari posisi enak untuk menyaksikan film-film Natal kesukaan mereka, yang selalu ada Sinterklas-nya. Oji, Ocy, dan Lia duduk di depan tv. Ketiganya seakan terpaku di atas lampit, dan menatap lurus pada layar kaca.
Jarum jam dinding menunjukkan pukul 14.15 WITA. Aku kembali menikmati es buah di ruang makan yang menyatu dengan ruang keluarga ketika Bang Ucok--suaminya Theres--keluar kamar dan menuju anak-anak kami.
"Lia, lapar, nggak?" tanya Bang Ucok dengan suara lirih.
Lia menggeleng satu kali, dan tatapannya tetap melekat pada layar kaca yang memerlihatkan Sinterklas tengah membagi-bagikan kado di sepatu anak-anak.
Bang Ucok langsung menoleh ke arahku sambil menampakkan muka yang dibuat jelek dan lidah dikeluarkan. Aku memasang muka jelek juga sambil mengangkat bahu, menekuk kedua lengan, dan kedua telapak tangan terbuka. Kemudian Bang Ucok beranjak ke beranda. Mungkin mencari ide dari bunga-bunganya Mama.
Kemarin-kemarin aku, Bang Ucok, dan Ko Richard--suaminya Liza--memang selalu tidak mampu mengendalikan kegemaran anak-anak ketika sedang serius menyaksikan film-film bertema Natal dengan Sinterklas di tv. Itu-itu saja. Padahal film-film produksi Hollywood itu selalu ditayangkan selama satu minggu, 24 sampai 31 Desember. Padahal mereka sudah hafal jalan ceritanya.Â
Kami bertiga malah bosan. Kalau sudah begitu, kami beranjak ke belakang rumah, tepatnya ke Panggung Renungku--semula perpustakaan pribadi tapi kemudian menjadi ruang kerjaku sejak aku di-PHK dari sebuah perusahaan tambang batubara di Samarinda beberapa bulan silam. Untungnya sebagian panorama di sekitar situ masih berupa kebun mungil milik Karang Taruna RT sehingga udaranya sejuk, dan pemandangannya serba hijau.
Di situ kami pasti ngobrol soal perkembangan sosial-politik di Balikpapan, Jakarta, dan nasional, tentang Jokowi, Ahok, Emil, Risma, FPI, dan lain-lain. Sembari minum kopi, tentunya. Seperti Natal tahun lalu dan sebelumnya. Ko Richard selalu lebih lihai karena, di samping tekun membaca berita online, juga lulusan Hubungan Internasional Universitas Parahiyangan, Bandung. Â
Setiap keluarga Theres dan Liza mudik ke Balikpapan, kami bertiga lebih sering ngobrol di situ daripada mengajak keluarga besar bertamasya ke mana, semisal pantai. Pernah satu kali, sekitar tiga tahun sebelum Papa meninggal, keluarga kami berangkat ke Pantai Manggar tapi sepulangnya Lia dan Gabriel berkomentar serentak, "Mending Ancol deh!" Mereka jera, rupanya.
Aku pun menanggapi mereka, kapan-kapan berlibur Natal ke Bangka, ke pantai-pantai di sana. Air muka Bang Ucok dan Ko Richard mendadak cerah. Barangkali gagasanku tepat untuk diwujudkan suatu waktu libur Natal anak-anak kelak. Tapi Mama menyela, jangan, nanti kalian tidak mau lagi berlibur ke rumah Oma. Mending uang liburan dipakai untuk ke Balikpapan.
Seketika air muka Bang Ucok dan Ko Richard berubah datar saja. Bang Ucok, yang lahir-besar di Jakarta, belum satu kali pun mengunjungi Bangka atau Belitung. Panorama pesisir Babel dan film Laskar Pelangi seolah olok-olokan bagi Akuntan lulusan Universitas Katholik Atma Jaya Jakarta ini ketika menyaksikan di tv atau pameran fotografi nasional.