Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Boneka Ayam Jantan di Pucuk Pohon Natal

31 Desember 2018   02:08 Diperbarui: 31 Desember 2018   02:33 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku berlari kecil menuju gerbang pagar rumah. Mobil sewaan kami hendak  masuk sepulang mengantar Liza sekeluarga ke Bandara Sepinggan. Liza sekeluarga segera pulang ke Jakarta karena, besok pagi, 27 Desember, mereka akan berangkat ke New York sekaligus bertahun baru di sana.

"Oji! Sabar!" seru Mama--mertuaku--yang terdengar sayup-sayup.

"Aaaah, Oma ini," rengek Oji, "nanti Sinterklas-nya keburu pergi ke langit lagi."

"Oji, sabar!" perintah istriku.

Rupanya Oji, anak sulungku yang berusia 7 tahun, berusaha membuka pintu mobil yang masih menunggu gerbang kubuka. Tidak perlu lima menit, gerbang terbuka dan mobil sudah bisa parkir di depan beranda. Seketika pula Oji membuka pintu mobil, keluar, disusul oleh Ocy--adiknya, dan Lia--keponakanku.

"Aku tadi minta oleh-oleh boneka Sinterklas yang asli buatan Amerika!" kata Lia, anak tunggalnya Theres--kakak sulungnya istriku.

Tumben anak tunggalnya Theres yang berusia 6 tahun itu berani minta oleh-oleh pada anaknya Liza, pikirku. Sebab, sekian tahun aku berada dalam keluarga besar ini, Liza paling tidak bisa diusik oleh Theres, meskipun Theres anak sulung. Ya, soal 'ketegangan hubungan' antara sang kakak dan si adik, sang sulung dan si anak nomor dua. Tapi, barangkali, anak-anak mereka dibebaskan untuk bergaul sebagai sesama sepupu.

"Aku juga!" sahut Ocy, yang baru berumur 4 tahun.

"Aku minta robot Sinterklas dan kereta kudanya. Gagahnya!" sela Oji yang sudah terlebih dulu sampai pintu depan rumah.

Oji dan Ocy memang memiliki sifat kayak mamanya, Maria alias istriku, yang dulu selalu berani meminta apa saja dari Jakarta pada kedua kakaknya. Satu-satunya alasan istriku, anak bungsu harus selalu diperhatikan oleh kakak-kakaknya. Kini giliran kedua anak kami yang 'minta perhatian' kakak-kakak sepupunya, dan tidak pernah ditolak.

Ketiganya berlarian ke dalam rumah. Mereka sudah tidak sabar hendak menonton film bertema Natal yang ada Sinterklasnya. Topi khas Sinterklas pun tidak lepas dari kepala ketiganya. Memang, setiap Natal, mereka kompak mengenakan topi mirip Sinterklas.

Tadi, sekitar pukul 08.00 WITA, sebelum berangkat untuk mengantar Liza sekeluarga, mereka sempat bingung, antara ikut mengantar ke bandara ataukah menonton tv. Film-film bertema Natal itu juga yang tadi sempat membuat tangisan pada kedua anaknya Liza--Gabriel  dan Angel. Keduanya tidak mau pulang karena ingin menonton bareng sepupu-sepupunya. Oma mereka atau mertuaku akhirnya menengahi; kedua anaknya Liza harus patuh pada orangtuanya untuk kembali ke Jakarta, dan kedua anakku serta anak tunggalnya Theres mau ikut mengantar.

Yang paling memusingkan kami adalah jam penayangannnya pada 25 Desember kemarin. Anak-anak kami kompak untuk tidak berangkat ke gereja karena film kesukaan mereka ditayangkan pada pagi hari. Mau-tidak mau kami harus menggunakan 'sedikit' nada tinggi untuk membuat mereka patuh, dan menikmati perayaan Natal bersama di gereja.

***

Mengenai robot atau boneka Sinterklas, aku memang belum pernah membelikannya untuk kedua anakku. Sedangkan istriku hanya membelikan topi Sinterklas karena tidak enak hati kalau kedua anak kami tidak kompak dengan anak-anaknya Theres dan Liza apalagi kalau dibelikan oleh Theres atau Liza.

Alasanku belum pernah membelikannya karena semasa kecil di Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, aku tidak pernah mengenal tokoh bernama Sinterklas pada saat menjelang atau ketika Natal. Orangtuaku tidak pernah menyebut nama atau mengenalkan tokoh itu.

Selama Natal dulu, tayangan di tv pun tidak ada tidak menayangkan tokoh kakek berjenggot putih, berkostum salju dengan warna merah-putih, dan kereta yang ditarik oleh rusa-rusa. Tayangan bernuansa Natal pun hanya dari satu stasiun milik Pemerintah alias TVRI. 

Di rumah orangtuaku juga tidak ada perayaan Natal. Tidak ada pohon Natal, lampu kelap-kelip, kue-kue, dan makanan besarnya. Tidak ada lagu-lagu seputar Natal karena orangtua kami tidak memiliki peralatan memutar lagu-lagu.

Natal hanya dirayakan di gereja, yaitu Gereja Maria Pengantara Segala Rahmat. Pastor-pastornya dari Belanda, dan Jerman. Malam Natal, Pagi Natal, dan Natal Anak-anak seusai Pagi Natal dengan drama yang dilakoni oleh anak-anak. Semua tentang kelahiran Yesus Kristus. Tidak ada drama yang menggunakan tokoh Sinterklas. Dan, tidak ada seorang panitia pun yang mengenakan atribut Sinterklas.

Aku pernah kebagian peran figuran, yaitu orang penginapan yang menolak Yusuf dan Maria. Cuma sebentar tapi latihannya sampai berhari-hari. Itu pun satu kali.

Satu-satunya perayaan hari besar di rumah orangtuaku dulu adalah Tahun Baru. Selama tiga hari rumah kami dikunjungi para tamu, apalagi Bapak seorang guru di SMP Maria Goretti dan STM Sungailiat. Murid-murid dan mantan murid-murid selalu datang. Minuman bersodanya buatan lokal, yaitu City, Bravo, dan Sinas. Beberapa kali tahun baru, Bapak pernah menyediakan satu-dua krat bir, khusus untuk murid-murid STM. Waktu kecil aku juga sudah mencicipi rasanya bir.

***

Ruang keluarga di rumah kami--aku sekeluarga tinggal bersama Mama semenjak Papa meninggal dunia dua tahun silam--diramaikan oleh anak-anak yang berebutan mencari posisi enak untuk menyaksikan film-film Natal kesukaan mereka, yang selalu ada Sinterklas-nya. Oji, Ocy, dan Lia duduk di depan tv. Ketiganya seakan terpaku di atas lampit, dan menatap lurus pada layar kaca.

Jarum jam dinding menunjukkan pukul 14.15 WITA. Aku kembali menikmati es buah di ruang makan yang menyatu dengan ruang keluarga ketika Bang Ucok--suaminya Theres--keluar kamar dan menuju anak-anak kami.

"Lia, lapar, nggak?" tanya Bang Ucok dengan suara lirih.

Lia menggeleng satu kali, dan tatapannya tetap melekat pada layar kaca yang memerlihatkan Sinterklas tengah membagi-bagikan kado di sepatu anak-anak.

Bang Ucok langsung menoleh ke arahku sambil menampakkan muka yang dibuat jelek dan lidah dikeluarkan. Aku memasang muka jelek juga sambil mengangkat bahu, menekuk kedua lengan, dan kedua telapak tangan terbuka. Kemudian Bang Ucok beranjak ke beranda. Mungkin mencari ide dari bunga-bunganya Mama.

Kemarin-kemarin aku, Bang Ucok, dan Ko Richard--suaminya Liza--memang selalu tidak mampu mengendalikan kegemaran anak-anak ketika sedang serius menyaksikan film-film bertema Natal dengan Sinterklas di tv. Itu-itu saja. Padahal film-film produksi Hollywood itu selalu ditayangkan selama satu minggu, 24 sampai 31 Desember. Padahal mereka sudah hafal jalan ceritanya. 

Kami bertiga malah bosan. Kalau sudah begitu, kami beranjak ke belakang rumah, tepatnya ke Panggung Renungku--semula perpustakaan pribadi tapi kemudian menjadi ruang kerjaku sejak aku di-PHK dari sebuah perusahaan tambang batubara di Samarinda beberapa bulan silam. Untungnya sebagian panorama di sekitar situ masih berupa kebun mungil milik Karang Taruna RT sehingga udaranya sejuk, dan pemandangannya serba hijau.

Di situ kami pasti ngobrol soal perkembangan sosial-politik di Balikpapan, Jakarta, dan nasional, tentang Jokowi, Ahok, Emil, Risma, FPI, dan lain-lain. Sembari minum kopi, tentunya. Seperti Natal tahun lalu dan sebelumnya. Ko Richard selalu lebih lihai karena, di samping tekun membaca berita online, juga lulusan Hubungan Internasional Universitas Parahiyangan, Bandung.  

Setiap keluarga Theres dan Liza mudik ke Balikpapan, kami bertiga lebih sering ngobrol di situ daripada mengajak keluarga besar bertamasya ke mana, semisal pantai. Pernah satu kali, sekitar tiga tahun sebelum Papa meninggal, keluarga kami berangkat ke Pantai Manggar tapi sepulangnya Lia dan Gabriel berkomentar serentak, "Mending Ancol deh!" Mereka jera, rupanya.

Aku pun menanggapi mereka, kapan-kapan berlibur Natal ke Bangka, ke pantai-pantai di sana. Air muka Bang Ucok dan Ko Richard mendadak cerah. Barangkali gagasanku tepat untuk diwujudkan suatu waktu libur Natal anak-anak kelak. Tapi Mama menyela, jangan, nanti kalian tidak mau lagi berlibur ke rumah Oma. Mending uang liburan dipakai untuk ke Balikpapan.

Seketika air muka Bang Ucok dan Ko Richard berubah datar saja. Bang Ucok, yang lahir-besar di Jakarta, belum satu kali pun mengunjungi Bangka atau Belitung. Panorama pesisir Babel dan film Laskar Pelangi seolah olok-olokan bagi Akuntan lulusan Universitas Katholik Atma Jaya Jakarta ini ketika menyaksikan di tv atau pameran fotografi nasional.

Sementara Ko Richard, yang lahir-besar di Bandung, juga begitu. Padahal Ko Richard sudah lama terobsesi untuk melihat situasi sosial-politik di Babel sejak Ahok alias Basuki Tjahaja menasional. Pasalnya, Ko Richard juga Nasrani dan Tionghoa tapi dari Suku Hokian. Kalau Ko Richard mau menyediakan waktu selama dua minggu di Babel, sudah pasti akan melihat sendiri kerukunan Melayu, Tionghoa, dan etnis lainnya di sana, kataku suatu waktu.

***

Aku mengisi kembali tempat minuman bergelas plastik di meja tamu. Sinar matahari dari sudut jendela depan masih sejuk karena terhalang mendung tipis.

Tadi malam, ketika hujan sempat turun, aku merasa menjadi bujangan kembali bersama lima kawanku. Minuman air tawar dalam gelas-gelas plastik berkurang. Asyiknya ngobrol sambil makan kudapan dan minum. Perjamuan bubar menjelang azan subuh dikumandangkan dari Masjid Baburrachman yang berada di ujung wilayah RT.

Sementara itu Bang Ucok sedang sibuk memilih, memilah, dan menyunting foto-foto kegiatan Natal keluarga besar kami di komputer jinjingnya. Salah satu keahlian Bang Ucok memang di bidang fotografi, dan mengolahnya di komputer. Bang Ucok betah berjam-jam memelototi layar kaca seolah tiada kenikmatan selain mengelola foto. Kalau sudah beres, Bang Ucok akan menayangkannya di blog khusus keluarga besar kami.

Tidak jauh dariku, Mama sedang menyiapkan kudapan untuk dimasukkan ke toples agar terlihat penuh.  Suasana ruang tamu sudah kembali rapi. Pada satu bidang dindingnya terpampang foto keluarga: Papa, Mama, Theres, Liza, dan istriku. Foto bergambar usang yang menjelang Natal kemarin kupasang di situ setelah kupindah dari ruang keluarga.

Di atasnya terpajang lukisan "Keluarga Kudus--Yusuf, Maria, dan bayi Yesus" berbingkai. Di sampingnya sebuah sertifikat bertuliskan "His Holiness, Francis, cordially imparts the requested Apostolic Blessing..." berbingkai, yang didapat langsung dari Vatikan ketika Mama dan Theres berziarah ke Vatikan dan beberapa kota di Italia satu tahun silam.

Untuk foto masing-masing keluarga versi terbaru, kupasang pada bidang berbeda. Setiap November Theres dan Liza harus mengirimkan foto keluarga mereka versi terbaru via internet  agar aku cetak dan membingkainya.

"Cucu-cucu Mama, kalau sudah ngumpul, aduh..."

"Sekali setahun, Ma. Mumpung mereka berlibur panjang, bisa ngumpul." Dalam hati kupikir, ah, Mama kelihatan kewalahan padahal masih berat hati ditinggal cucu-cucunya pulang ke Jakarta.

"Begitulah, Gus. Kalau mereka nggak datang, Omanya kangen. Kalau mereka datang, lengkap, aduuuh, seperti kapal pecah saja rumah Omanya ini."

Aku tersenyum. Menggelikan. Setiap akhir Oktober Mama selalu menelpon Theres dan Liza agar kedua keluarga itu bisa mudik, terlebih dua kali Natal pasca kepergian Papa. Banyak alasan Mama yang sarat rayuan. Mama tidak bisa ke Jakarta kalau Natal karena selalu menunggu kunjungan para tamu, khususnya mantan rekan-rekan kerjanya.

Dampaknya, ya, mirip kapal pecah. Tidak ketinggalan taman mungilnya Mama di samping kanan beranda. Tidak ada bunga yang selamat dari permainan anak-anak kami. Selalu ada tanaman yang terinjak-injak. Beberapa dahan pohon jambu pun patah karena dipanjati Gabriel atau Lia karena sedang musim berbuah. Soal sampah berupa daun, kelopak bunga, dan lain-lain, adalah pemandangan yang biasa. Mirip masa kecil Theres, Liza dan Maria, ujar Mama apabila melihat taman mungilnya acak-acakan.

"Menantu Mama dan kawan-kawannya juga, ya, Ma?"

"Ya kamu itu," jawab Mama tanpa menoleh ke arahku. "Habis berapa bir tadi malam?"

"Satu kaleng saja, Ma."

"Satu kaleng? Botek1memang menantu Mama satu ini! Mama lihat ada enam kaleng bir di tempat sampah kita. Awas lho, bisa ditiru Oji. Mucil2-nya sudah kelihatan nurun dari kamu."

"Lho, 'kan, dengan saya, jadinya enam kaleng, Ma? Coba Mama hitung lagi, berapa kaleng bir yang masih penuh di bawah meja itu."

Mama tidak melanjutkan obrolan. Tetap melakukan kegiatan di ruang tamu. Biasanya Mama selalu mengomel, ada saja jawabanmu. Tapi aku senyum saja sebab aku, bahkan Bang Ucok dan Ko Richard pun tidak terlalu suka minuman semacam itu. Berbeda dengan Papa dulu, yang masih membawa kebiasaan orang Filipina-nya. Kalau cuma bir, pasti Papa tertawa. Apa hebatnya bir? Bir tidak laku dalam setiap perjamuan karena bir cuma jadi pemicu buang air kecil, ujar Papa dulu sambil mengangkat botol red wine asli dari Roma.

Sementara semua toples sudah berisi kudapan dan rapi kembali. Kotak tisu sudah siap lagi. Ruang tamu sudah siap menampung kunjungan di hari ketiga Natal ini, dan sore nanti baru kami berangkat ke gereja.

Dari ruang tamu aku mendengar suara perkakas makan-minum sedang dicuci di dapur. Tidak ada suara siapa-siapa. Kupikir, Theres sedang mencuci perkakas itu. Istriku pasti sedang mencuci pakaian yang menumpuk karena selama beberapa hari ini aliran air dari PDAM tidak lancar sehingga istriku harus mengalah pada kedua kakaknya.

Anak-anak kami belum terdengar kegiatannya. Mereka masih terlelap di kamar. Setiap hari libur, mereka memang dibebaskan untuk tidur lebih dari 8 jam, apalagi tadi malam tidur agak larut karena menonton film kokos3 bertokohkan Sinterklas dari saluran tv luar negeri.

Kesempatan ini pula kami pergunakan untuk membereskan pekerjaan rumah. Pasalnya, kalau mereka sudah bangun, pasti ada-ada saja permainan mereka, termasuk benda-benda yang berserakan. Pada hari biasa, Oji paling sering kena omelan, baik oleh istriku maupun Mama. Dengan keseharian berkaus singlet dan celana dalam Oji sok-sokan membaikkan mainannya tapi onderdil berantakan. Namanya juga anak-anak.

"Ayam jago punya siapa, kok ditaruh di pucuk pohon Natal Mama?!" celetuk Mama dengan nada agak tinggi. "Bintangnya malah di bawah pohon, di bawah palungan lagi!"

Aku langsung menoleh ke pucuk pohon Natal. Di situ tampak sebuah boneka ayam jago sedang membusungkan dada dan paruhnya menganga seolah tengah berkokok. Aduh, siapa yang iseng banget begitu, sih?

*******

Keterangan :

1) botek = bohong

2) mucil = nakal

3) kokos = kartun

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun