Seketika saya memaki sendiri di Panggung Renung. Kebisingan cucu-nenek bersahutan, dan membuyarkan perjalanan imajinasi saya.
“Mau gulingku, Nek!”
“Nih, ambil! Guling pesing aje, diributin!”
“Nenek jangan di situ.”
“Ape lagi?!”
“Nenek di sini. Sebelah sini!”
“Ah, tidur, tidur aje! Kagak perlu berisik!”
“Ng-ng-ng… Nenek jangan di situ! Nenek!”
“Apaan, sih?! Berisik, tau?!”
Rengekan, tangisan, dan bentakan segera memenuhi keheningan malam. Gambaran mengenai jalan cerita karangan saya berganti dengan bayangan saya tentang apa yang dilakukan oleh cucu dan neneknya itu. Meski sekadar bayangan, yang bisa jadi justru meleset, tetaplah menyingkirkan gambaran saya tentang tulisan cerita. Sangat keterlaluan memang.
Saya pun beranjak, dan bergegas ke dalam rumah induk dengan diiringi kebisingan cucu-nenek itu. Saya mau menonton televisi saja sambil menunggu kunjungan kantuk karena besok pagi ada kegiatan kerja bakti di wilayah RT kami. Di sana, besok, saya akan membahas soal kebisingan dan persoalan “apa lihat-lihat” itu dengan ketua RT kami.