“Ya, sebentar, Om Odang. Duduklah di situ!” sahut seorang pria dari dalam rumah. “Sendiriankah?”
“Sendiri saja. Malas bawa kawan-kawan. Maunya enak sendiri, nggak mau keluar uang!”
Suara keduanya memantul-mantul hingga menembus dinding Panggung Renung. Dalam hati saya memaki karena sedang mendapat jalan cerita yang lempang tetapi tiba-tiba seolah diterabas lintasan kereta api yang tidak jelas asal-muasalnya. Mau-tidak mau suara mereka mulai mengganggu konsentrasi saya.
Suara keduanya berhenti sejenak ketika pintu depan rumah itu berderit. Disusul lagi suara kedua pria tadi. Tidak terlalu jelas.
Saya mencoba untuk mengingat jalannya cerita. Bagi saya, menikmati suasana dalam Panggung Renung dengan berkarya jauh lebih penting daripada rasa ingin tahu yang percuma.
Dung! Dung! Dung! Dang! Ding! Dung!
Astaga! Apa lagi, sih?
Ya, astaga, suara musik berisik tiba-tiba menghantam pendengaran. Dada saya pun berdebar-debar akibat irama dan tingginya nada dari dua kotak pengeras suara mereka. Saya merasa gerah perlahan-lahan menghasut kondisi kulit.
Menurut hitungan saya, malam Minggu semacam ini bukanlah pertama kali sejak saya mulai mengaktifkan Panggung Renung. Memang, kebisingan musik mereka paling menjengkelkan adalah menjelang malam Tahun Baru silam. Tetapi, tentunya, parade letusan petasan hingga ledakan kembang api menjadikan kebisingan musik mereka agak tergoyahkan.
Tapi malam ini bukan malam Tahun Baru. Hanya malam Minggu biasa. Mengapa lagi-lagi mereka membisingkan suasana tenang? Anehnya, mengapa pula tetangga kanan-kiri mereka tidak pernah protes, ya?
Saya bangkit dari kursi plastik, menuju pintu di sebelah meja kerja, membuka, dan berdiri di beranda Panggung Renung yang luasnya 1 m x 4 m. Saya tengok teras rumah itu. Tidak ada penerangan karena selalu digelapkan. Hanya satu titik lampu biru dari kotak bising mereka.