Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keluarga Paling Bising Sedunia

17 Juni 2017   17:07 Diperbarui: 17 Juni 2017   20:16 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seterusnya hanya kebisingan antara seorang nenek bernama Zaenab dan cucunya menjelang senja Sabtu beringsut di balik tebing barat, yang menghadap sebuah bangunan ibadah. Kebisingan semacam itu bisa dimulai sejak dini hari, muncul lagi pada jam sarapan, lalu menjelang tengah hari, dan ketika si balita menolak untuk mandi sore. Kalau diam, kemungkinan ia tengah tidur, atau memang sedang tidak berada di rumah.

Sementara mendadak saya kehilangan kata-kata, dan gagal membuat narasi maupun dialog yang pas. Saya teringat lagi, sebelum balita itu lincah bicara, seorang kakaknya–sudah masuk TK–pun menjadi sumber kebisingan di sana, membuyarkan konsentrasi saya tetapi entah ke mana sejak satu tahun ini. Cukup berduet dengan neneknya, suasana keseharian akan dijejali suara bising keduanya.

***

Hujan deras hanya sebentar pada gerbang malam Minggu. Cuaca akhir-akhir ini memang mirip para ABG alias anomalis bin galauis karena musim penghujan telah mengingkari kodratnya. Senja yang cerah bisa mendadak diserbu mendung lantas hujan deras tidak terbendung.

Barangkali secangkir kopi hitam dapat memicu perjalanan imajinasi untuk meneruskan cerita. Malam ini saya tidak perlu menghidupkan obat nyamuk bakar sebab suasana dingin selepas hujan deras selalu menghalau pasukan nyamuk keluar dari persembunyian.

Sahutan-sahutan sekelompok kodok seakan ucapan puji-syukur kepada langit. Diiringi gemericik air dari aliran parit yang selalu bening–entah kenapa. Tidak jarang gongongan beberapa anjing yang melengking-lengking dari balik rumah-rumah, yang memantul di tebing-tebing, bisa memeriahkan suasana.

Pukul 20.30 sebagaimana tertera pada layar komputer jinjing. Udara basah memenuhi ruangan Panggung Renung yang berdinding papan tidak rapat, berjendela sana-sini, dan berlantai papan pun tidak rapat.

Saya menyeruput kopi dengan suasana hati yang paling serasi. Sesekali juga mensyukuri hidup karena memiliki ruang kerja sekaligus perpustakaan pribadi di Panggung Renung. Kalau perlu, radio bergelombang FM dengan lagu-lagu Barat lama akan mengudara tanpa perlu saya ganti.

Panggung Renung merupakan tempat berkarya bagi saya ketika berada di rumah, tepatnya di belakang rumah induk permanen. Awalnya hanya berupa gudang berdinding seng berkarat, berisi kayu-kayu jelek, seng bekas, dan barang-barang bekas lainnya, termasuk kotoran sepasang anjing kami. Baru dua tahun saya meremajakannya kembali menjadi tiga fungsi sekaligus. Gudang, perpustakaan pribadi, dan ruang berkarya.

Inilah tempat yang menjadi bagian terpenting dalam keseharian saya. Dalam suasana malam yang tidak terasa sedang berada di tengah Kota Balikpapan, saya selalu menghabiskan sinar bulan sampai ke ampas-ampasnya, walaupun kopi selalu berhasil didinginkan oleh udara malam apalagi basah selepas hujan tadi.

“Woi, Demun! Jadi, nggak?! Cuacanya mendukung banget nih!” Sebuah teriakan seorang pria dari arah seberang alias di depan teras rumah keluarga paling bising sedunia itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun