Bismillahiirahmanirrahim
Beberapa waktu ini kita disibukan dengan perdebatan dugaan “penghinaan” terhadap salah satu ayat yang terkandung di dalam Al Quran surat Al Maidah ayat 51 yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu dihadapan warga di kepulauan seribu dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh pemprov DKI Jakarta. Dalam video yang di ungah kepublik tersebut, “terasa” sekali sang Gubernur membuat pernyataan yang tidak dapat diterima oleh sebagian orang islam.
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas apakah pernyataan sang gubernur dalam video yang diunggah tersebut salah atau tidak, namun saya mencoba mengajak teman – teman untuk bersama – sama memahami makna yang terkandung didalam surat Al Maidah ayat 51 secara komprehensif dengan pendekatan metodologi tafsir maudhu’i.
Berikut bunyi dari terjemah surat Al Maidah ayat 51
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”
Berikut Asbabul nuzul dari surah tersebut Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Baihaqi, yang bersumber dari ‘Ubadah bin ash-Shamit bahwa ‘Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh munafik Madinah) dan ‘Ubadah bin ash-Shamit (salah seorang tokoh Islam dari Bani ‘Auf bin Khazraj) terikat oleh suatu perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa’. Ketika Bani Qainuqa’ memerangi Rasulullah saw.. ‘Abdullah bin Ubay tidak melibatkan diri. Sedangkan ‘Ubadah bin ash-Shamit berangkat menghadap Rasulullah saw. untuk membersihkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari ikatannya dengan Bani Qainuqa’ itu , serta menggabungkan diri bersama Rasulullah dan menyatakan hanya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 51) yang mengingatkan orang yang beriman untuk tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak mengangkat kaum Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin mereka.
Sangat jelas sekali pernyataan Allah yang terkandung dalam surat ini larangan seseorang yang beriman dilarang untuk mengangkat pemimpin dari kalangan orang kafir. Larangan ini benar – benar di tujukan kepada orang – orang yang beriman. Sebelum jauh membahas tafsir surah al maidah ayat 51 ini ada baiknya kita sedikit mengulas makna iman itu sendiri, mendalami kembali karakteristik orang yang beriman sehingga akhirnya kita dapat mengetahui apakah kita termasuk orang – orang yang di larang oleh Allah SWT dalam surah Al Maidah ayat 51 tersebut.
Mengapa makna iman ini menjadi penting untuk dibahas, hal ini dikarenakan Allah SWT dalam Firmannya mengingatkan kita perihal siapa yang berhak menyandang sebutan orang yang beriman dari Allah. Dalam firmannya Al Quran surah Al Baqarah ayat 8 Allah SWT mengingatkan kita
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَبِٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَمَا هُم بِمُؤۡمِنِينَ
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman
Bahkan dalam lanjutannya di ayat 9 Allah swt mengingatkan upaya yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengaku beriman ini untuk menipu Allah dan orang – orang benar – benar beriman.
يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَمَا يَخۡدَعُونَ إِلَّآ أَنفُسَهُمۡ وَمَا يَشۡعُرُونَ
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar
Dari dua ayat dalam surah Al Baqarah tersebut jelas sekali Allah mengingatkan kita bahwa ada seseorang atau sekelompok orang yang menyatakan dirinya telah beriman namun menurut Allah mereka ini sesungguhnya bukan orang beriman, ternyata keimanan seseorang bisa dinyatakan batal oleh Allah SWT karena sebab – sebab tertentu.
Mengapa hal ini terjadi ?
Menurut bahasa iman berarti pembenaran hati. Sedangkan menurut istilah, iman adalah: membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan.
Pada zaman Rasulullah seseorang yang hendak beriman datang menghadap rasulullah, menyatakan keimanannya kepada rasulullah dengan membaca ikrar keimanan yang kita sebut dengan dua kalimat syahadat, kondisi saat ini sedikit berbeda hampir seluruh dari kita, umat islam di Indonesia menjadi islam tanpa melakukan proses ikrar secara khusus, umat islam bangsa Indonesia mayoritas secara otomatis menjadi orang islam karena bapak dan ibunya adalah seorang islam dan seterusnya bapak dan ibunya menjadi muslim karena kakek dan neneknya adalah seorang islam, hingga seterusnya, berbeda jika seseorang yang lahir dan tumbuh besar dari latar belakang keluarga yang tidak beragama islam, biasanya ke islaman mereka mesti di tunjukan dengan membaca dua kalimat syahadat yang di persaksikan oleh pemuka agama. Satu situasi yang sedikit sulit dipahami. Namun seperti itulah kondisi yang ada yang berlangsung ratusan tahun silam.
Jika seseorang sudah menyatakan dirinya sebagai orang islam, secara otomatis suka atau tidak suka, ringan maupun berat terikat dalam segala aturan yang mengatur segala aspek kehidupannya berdasarkan aturan islam. Hal ini sebagai wujud keimanannya karena sebagai mana definisi iman itu sendiri yang tidak hanya di ikrarkan namun juga terpatri dalam hati dan terwujud dalam segala perbuatannya.
Allah SWT memberikan lebel iman kepada seseorang dengan persyaratan, kita mengenal ada 6 (enam ) rukun iman yang bukan hanya di Imani dengan lisan tetapi terpatri dalam hati dan terwujud dalam segala bentuk gerak dan tindakannya.
1. Iman Kepada Allah
Bisa dipastikan semua orang islam akan menyatakan bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah, apakah tidak konsekuensi yang harus di jalankan jika seseorang telah menyatakan iman kepada Allah? Tentu saja ada,
La illahaillah adalah kalimat Tauhid, berkonsekuensi kepada segala hal yang datangnya dari Allah baik berupa perintah maupun larangan harus di dengar, di taati, dan dijalankan dalam kehidupan sehari – hari, perintah dan larangan dilaksanakan secara menyeluruh, melanggar dari garis Tauhid yang telah dibuat bisa mengakibatkan seorang bisa kehilangan statusnya sebagai seorang muslim.
BerTauhid bermakna Meng Esakan Allah, Sebagai langkah awal, kata Esa atau Ahad dapat difahami sebagai suatu keyakinan yang integral, tidak terbagi, tetapi tunggal.
Selanjutnya Al-Quran memberikan penjelasan tentang kata Ahad atau Esa ini dalam Surah Al-Ikhlas, sebagai berikut:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ(1)اللَّهُ الصَّمَدُ(2)لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ(3)وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ(4)
“Katakanlah: “Dialah Allah Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada diperanakkkan, dan tidak seorangpun yang setara dengan Dia”. (112:1-4).
Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw. atau siapa saja untuk mengatakan bahwa Allah adalah Maha Esa. Ke-Esa-an Allah ini dijelaskan-Nya dalam tiga garis besar, yaitu terlihat dalam kalimat:
Allahush-Shamad
Yaitu, Allah adalah Tuhan yang tergantung kepada-Nya segala sesuatu. Artinya, segala sesuatu bergantung dan tergantung atas kehendak dan keinginan Allah. Tergantung atas aturan, ilmu, hukum dan sunnah Allah. Segala sesuatu tidak akan pernah terlepas dari pada-Nya. manusia tidak akan pernah menahan rasa lapar, menahan berkurangnya umur, menempatkan kaki berfungsi sebagai tangan atau sebaliknya, dan lebih jauh lagi manusia tidak akan pernah mampu merubah hukum alam yang lain, seperti hukum mendidih dan membeku air dan membalik gaya grafitasi bumi.
siapapun tidak akan mampu berbuat apa-apa kecuali tunduk patuh kepada yang telah digariskan, disunahkan dan diatur oleh-Nya, baik rela mapupun terpaksa.
أَفَغَيۡرَ دِينِ ٱللَّهِ يَبۡغُونَ وَلَهُۥٓ أَسۡلَمَ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ طَوۡعٗا وَكَرۡهٗا وَإِلَيۡهِ يُرۡجَعُونَ ٨٣
Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan(Qs. 3:83).
Intinya, Allah adalah Rabbul ‘alamin, dimana segala sesuatu telah diatur, dipelihara dan diawasi-Nya dengan seksama, sistematis dan kokoh, sehingga tidak suatu apapun atau siapapun mampu merusak tatanan-Nya. Tidak ada yang harus dilakukan oleh makhluk-Nya kecuali tunduk patuh atau bergantung kepada-Nya.
Konsekuensi dari pemahaman ini adalah Allah tempat bergantung, Allah tempat sandaran, Allah tempat merujuk kebenaran, Allah tempat kembali bagi segala pikiran, harapan, keinginan, cita-cita dan keadilan. Berdasarkan teori ini, sangat logis jika manusia memilih Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung. Laa Shamada Illallah. Tidak ada tempat bergantung kecuali Allah.
Lam Yalid Walam Yulad
Yaitu, Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Allah ada dan mewujud tidak disebabkan oleh hukum sebab-akibat. Allah SWT ada dan mengada-Nya hanya Allah SWT saja yang mengetahuinya. Manusia hanya diberi tahu bahwa Allah ada dan mengada bukan melalui proses dilahirkan dan juga Allah tidak melahirkan. Jadi Allah itu ahad/tunggal mutlak. Demikian juga kekuasaan-Nya pun betul-betul mutlak. Berbeda jika Allah mempunyai bapak atau anak seperti manusia, maka kekuasaannya tidak mutlak. karena kekuasaan tersebut, bisa jadi didukung atau dilemahkan oleh keduanya.
Allah SWT sudah pasti memiliki kekuatan dan kekuasaan penuh. Dia tidak mempunyai anak dan sekutu dalam kerajaan-Nya
وَقُلِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي لَمۡ يَتَّخِذۡ وَلَدٗا وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ شَرِيكٞ فِي ٱلۡمُلۡكِ وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ وَلِيّٞ مِّنَ ٱلذُّلِّۖ وَكَبِّرۡهُ تَكۡبِيرَۢا ١١١
Dan katakanlah: "Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya(Qs. 17;111).
Tidak ditekan atau menekan siapapun. Dia adalah yang tidak menerima jasa dan pamrih dari siapapun. Dia Suci dan tersucikan, sehingga Dia Laa Malika Illallah, yang segala kerajaan yang ada di langit dan dibumi tunduk kepada-Nya. Ia memberikan kerajaan kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Dia tidak lebih besar karena diibadahi dan tidak lebih kecil karena didurhakai.
Konsekuensi pemahaman seperti ini secara teoritis adalah bahwa menjadikan Allah sebagai satu-satunya raja, Laa Malika Illallah. Maha Raja abadi dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Berdasarkan teori ini, maka sangat logis jika manusia menjadi khalifah-Nya dan melaksanakan amanat kekhalifahan-Nya (Wahyu).
Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad.
Yaitu, tidak ada seorangpun dan apapun yang setara dengan Dia. Setara artinya sama. Sama rendah, sama tinggi, sama besar dan lain sebagainya. Tidak serata artinya tidak sama. Jadi makna siapapun tidak setara dengan Allah adalah Allah Maha Unggul dari siapapun dan dari apapun.
Sudah menjadi fitrah manusia, memilih yang lebih cantik, lebih baik, lebih pintar, lebih adil, lebih bijaksana dan memlilih yang lebih segala-galanya. Kepada yang unggul ini, manusia akan mampu memberikan segala cinta, kepatuhan, ketundukan, keridlaan untuk berbuat apa saja demi yang unggul tersebut. Oleh karena itu, jika Allah adalah unggul dari segala-galanya, maka tidak ada yang patut untuk ditaati, dipatuhi dan dibadahi kecuali Allah SWT.
ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَيُّ ٱلۡقَيُّومُۚ لَا تَأۡخُذُهُۥ سِنَةٞ وَلَا نَوۡمٞۚ لَّهُۥ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِۗ مَن ذَا ٱلَّذِي يَشۡفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذۡنِهِۦۚ يَعۡلَمُ مَا بَيۡنَ أَيۡدِيهِمۡ وَمَا خَلۡفَهُمۡۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيۡءٖ مِّنۡ عِلۡمِهِۦٓ إِلَّا بِمَا شَآءَۚ وَسِعَ كُرۡسِيُّهُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَۖ وَلَا ئَُودُهُۥ حِفۡظُهُمَاۚ وَهُوَ ٱلۡعَلِيُّ ٱلۡعَظِيمُ ٢٥٥
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa´at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar (Qs 2:255)
Sangat logis, jika menusia hanya mengangkat dan menjadikan Allah saja yang diibadahi, ditaati dan dipatuhi seumur hidupnya. Sebab tidak ada yang lebih unggul kecuali Allah. Laa Kafiya Illallah.
2. Iman kepada Malaikat
Definisi dan Pengertian Malaikat Allah SWT adalah kekuatan-kekuatan yang patuh, tunduk dan taat pada perintah serta ketentuan Allah SWT. Malaikat berasal dari kata malak bahasa arab yang artinya kekuatan. Dalam ajaran agama islam terdapat 10 malaikat yang wajib kita ketahui dari banyak malaikat yang ada di dunia dan akherat yang tidak kita ketahui yaitu antara lain :
- Malaikat Jibril yang menyampaikan wahyu Allah kepada nabi dan rasul.
- Malaikat Mikail yang bertugas memberi rizki / rejeki pada manusia.
- Malaikat Israfil yang memiliki tanggung jawab meniup terompet sangkakala di waktu hari kiamat.
- Malaikat Izrail yang bertanggungjawab mencabut nyawa.
- Malikat Munkar yang bertugas menanyakan dan melakukan pemeriksaan pada amal perbuatan manusia di alam kubur.
- Malaikat Nakir yang bertugas menanyakan dan melakukan pemeriksaan pada amal perbuatan manusia di alam kubur bersama Malaikat Munkar.
- Malaikat Raqib / Rokib yang memiliki tanggung jawab untuk mencatat segala amal baik manusia ketika hidup.
- Malaikat Atid / Atit yang memiliki tanggungjawab untuk mencatat segala perbuatan buruk / jahat manusia ketika hidup.
- Malaikat Malik yang memiliki tugas untuk menjaga pintu neraka.
- Malaikat Ridwan yang berwenang untuk menjaga pintu sorga / surga
Menurut Abu A’la Al Maududi, seorang tokoh pembaru dari Pakistan, beriman kepada malaikat akan memurnikan dan membebaskan konsep tauhid dari perbuatan-perbuatan syirik. Hal itu juga sejalan dengan beberapa hadis Nabi Muhammad Saw. yang melarang umat islam untuk menyambah malaikat. Dengan mengimani keberadaan malaikat, umat islam juga menyadari bahwa tugas-tugas dan kewajiban yang dijalankan malaikat sangat dekat dan berkaitan erat dengan kehidupan manusia. Tidak ada satupun gerak dan gerik manusia yang tidak terawasi oleh para Malaikat, yang tidak akan berkhianat kepada Allah, memastikan apakah seorang manusia senantiasa menjalankan perintah dan larangan Allah, secara penuh dan menyeluruh. Dengan memahami hal itu, umat islam akan terdorong untuk senantiasa termotivasi mengerjakan amalan-amalan yang diperintahkan Allah SWT.
3. Iman Kepada kitab – kitab Allah.
Pengertian iman kepada kitab-kitab Allah adalah mempercayai dan meyakini sepenuh hati bahwa Allah SWT telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada para nabi atau rasul yang berisi wahyu Allah untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia.
Al Quran ialah kitab suci bagi umat manusia bukan hanya untuk umat islam yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW, dalam firman Allah surat Al Baqarah ayat 185 Allah SWT menjelaskan 3 (tiga) fungsi Al Quran bagi umat manusia
Tentang ketiga elemen itu, Allah berfirman:
الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ ا لْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Dia menurunkan AlQuran di dalam bulan Romadhan, sebagai petunjuk bagi manusia, penerangan dan furqon. (2:185).
Fungsi Al Qur’an yang pertama ialah :
1. Hudan Linnas
Makna Hudan Linnas adalah petunjuk bagi manusia. Oleh karena itu, Al-Quran sebagai huda linnas menjelaskan tentang konsep dan tata cara hidup yang lurus. Al-Quran menjelaskan dengan gamblang tentang konsep hidup, baik konsep hidupnya orang-orang yang telah diberi nikmat yang harus diikuti, dan konsep hidupnya orang-orang yang dimurkai Allah serta konsep hidupnya orang-orang yang sesat yang harus dijauhi. Sehingga dengan penjelasan ini manusia dapat menempuh jalan hidup yang benar-benar diridhai oleh Allah Swt, yaitu Sirotol Mustaqim.
إِنَّ هَذَا ا لْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ ا لْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا(9)
“Sesungguhnya Al Quran ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan memberi gembira kepada orang-orang mu’min yang mengerjakan amal shaleh bagi mereka ada pahala yang besar”. (17:9).
Bukankah seorang muslim senantiasa berdo’a meminta kepada Allah SWT agar dapat di tunjukan jalan yang lurus, jalan yang di ridhoi
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ ٥ ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ٦ صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ ٧
Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan, Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.(Qs. 1 : 5-7)
Pernyataan manusia kepada Allah SWT bahwa hanya Allah lah yang disembah, dan manusia memohon pertolongan kepada Allah SWT, agar dapat selamat menjalani kehidupan di dunia, sehingga hasil dari kehidupan di dunia ini dapat di nikmati di kehidupan akhirat, namun dalam menjalani kehidupan di dunia berdasarkan kehendak Allah SWT sangat lah sulit, begitu banyak ujian, rintangan dan godaan, manusia pun memohon kepada Allah untuk diberikan jalan yang lurus, jalan yang lurus sesuai dengan kehendak Allah SWT, kehendak dari sang Maha Pencipta, Yang Maha Memiliki termasuk manusia sebagai mahluk yang di ciptakan adalah milik Allah, sudah menjadi sebuah keharusan sang manusia hidup berdasarkan kehendak, aturan Yang Maha Memiliki dan Menciptakan. Sebuah jalan hidup yang apabila di ikuti secara utuh dan penuh adalah jalan hidup yang lurus, yang menghantarkan manusia kedalam keselamatan di dunia dan berbuah manis di akhirat.
Jalan yang lurus yang di minta sebagai jalan yang lurus yang telah dijalani oleh hamba – hamba Allah yang diberi nikmat karena telah menjalani kehidupan sesuai dengan kehendak Allah, Jalan yang di bawa di jalani oleh para nabi dan Rasul terdahulu, jalan yang di jalani oleh Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya di jamannya, meskipun mungkin jalan yang di jalani itu begitu berat dengan segala rintangan dan ujian, bahkan tidak sedikit para nabi dan rasul termasuk Nabi Muhammad SAW mengalami ancaman pembunuhan oleh orang – orang yang tidak menghendaki Jalan hidup menurut petunjuk Allah ini dilaksanakan dikarenakan akan bertentangan dengan aturan hidup yang mereka buat, aturan hidup yang jelas – jelas bertentangan dengan aturan hidup yang disiapkan Allah SWT untuk manusia sebagai salah satu mahluknya, dalam do’a nya yang terakhir manusia juga menegaskan kepada Allah agar Allah menyelematan dirinya dari jalan hidup yang di murkai oleh Allah SWT, jalan hidup yang tidak sesuai dengan aturan hidup yang Allah SWT siapkan untuk manusia.
Untuk menemukan jalan hidup tersebut manusia membutuhkan sebuah guideness jika manusia sebuah alat, tentu saja membutuhkan manual book agar dapat difungsikan sesuai dengan kehendak yang menciptakan. Kembali kepada fungsi Al Quran dalam surat Al Isra ayat 9 yaitu sebagai petunjuk hidup, petunjuk hidup manusia agar dapat hidup sesuai dengan kehendak Allah bukan petunjuk dari yang lain.
Dengan menggunakan petunjuk hidup ini yaitu Al Quran manusia akan mendapati Jalan hidup yang lurus sebagaimana do’a nya didalam surat Al fatiha. Pentunjuk hidup yang tidak ada keraguan didalamnya.
ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢ ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣ وَٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَ وَبِٱلۡأٓخِرَةِ هُمۡ يُوقِنُونَ ٤ أُوْلَٰٓئِكَ عَلَىٰ هُدٗى مِّن رَّبِّهِمۡۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٥
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka,dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat,Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung (QS. 2: 2-5)
Keberuntungan akan didapatkan bagi manusia beriman yang mau menjalani kehidupannya dengan menggunakan aturan Allah SWT, aturan hidup yang tertuang didalam Al Quran, menjalani petunjuk dalam Al Quran tidaklah bisa secara parsial, mengimani sebagian dan mengkafiri sebagian yang lain. Jika hal itu terjadi manusia yang beriman tadi akan masuk kedalam golongan Kafir, Fasik ataupun Dzalim. Atau jika hanya mengimani dalam ucapan namun tidak terpatri dalam hati dan terwujud dalam tindakannya akan memasukan dirinya dalam kategori orang yang munafik.
مَا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِهِۦٓ إِلَّآ أَسۡمَآءٗ سَمَّيۡتُمُوهَآ أَنتُمۡ وَءَابَآؤُكُم مَّآ أَنزَلَ ٱللَّهُ بِهَا مِن سُلۡطَٰنٍۚ إِنِ ٱلۡحُكۡمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٤٠
Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS 12:40)
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡفُرُونَ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ وَيُرِيدُونَ أَن يُفَرِّقُواْ بَيۡنَ ٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ وَيَقُولُونَ نُؤۡمِنُ بِبَعۡضٖ وَنَكۡفُرُ بِبَعۡضٖ وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُواْ بَيۡنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا ١٥٠ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ حَقّٗاۚ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٗا مُّهِينٗا ١٥١
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan (QS. 4 : 150-151)
Para pendiri bangsa di Republik Indonesia telah mensepakati dasar hukum yang berlaku dan diberlakukan adalah UUD 45 dan Pancasila.
Sejarah Pancasila sebagai dasar negara secara yuridis (hukum) tercantum dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 menjelaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama bangsa Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia.Memorandum DPR-GR disyahkan pula oleh MPRS melalui Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ( jo Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 dan Ketetapan No. IX/MPR/1978 ).Dijelaskan bahwa pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia yang hakikatnya adalah sebuah pandangan hidup.
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum juga diatur dalam pasal 2 UU No.10 tahun 2004 tentang pembentukan perundang-undangan yang menyatakan “Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara”.
Dalam Konteks Republik Indonesia, Al Quran sepenuhnya tidak bisa di berlakukan dan di tetapkan sebagai pengatur segala urusan warga negaranya, siapapun yang hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia secara sadar maupun tidak sadar menempatkan Al Qur’an dan sunah dibawah dari Pancasila dan UUD 45 sebagai hukum positif yang berlaku.
DKI Jakarta sejak berdirinya pasca kemerdekaan telah memiliki 17 Gubernur, latar belakang agama Gubernur DKI Jakarta mayoritas adalah beragama Islam, hanya 1 orang sebelum Basuki Tjahaja Purnama yang beragama non muslim namun bisa kita lihat dalam proses menjalankan pemerintahannya Gubernur yang berlatar belakang beragama Islam tidak satupun yang mampu menerapkan aturan Allah SWT yang terkadung didalam Al Qur’an secara penuh dan menyeluruh. Artinya siapapun Gubernurnya meskipun seorang kyai sekalipun tidak akan pernah bisa (boleh) menerapkan hukum Allah di negeri ini, termasuk di DKI Jakarta.
Bersambung…
Penulis adalah seorang pengajar disebuah kampus swasta di Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H