Kesenian gegel jubleg ini tidak lepas dari muatan mistis sebagaimana seni tradisi lainnya yang berkembang di nusantara, kemasan pemanggungan ini pun menonjolkan sisi trance para pelakunya. Karena kesenian ini didasarkan pada kedudukan Balong Sirah (Mata air yang membentuk kolam besar) sebagai lambang kehidupan, kemakmuran kecamatan Cisewu, dimana terdapat seribu mata air yang mitologinya sebagai air keramat. Posisi Balong Sirah bagi masyarakat Cisewu sangat vital, sebagai sumber air untuk mencukupi segala kebutuhan kehidupan di cisewu. Maka untuk mengungkapkan rasa syukur terhadap keberlimpahan kehidupan di cisewu diadakan upacara kesenian dengan membawa air dari balong sirah yang cipratkan oleh daun hanjuang beureum.
Cipratan air Balong Sirah dari daun hanjuang beureum ini sebagai simbol memandikan warga, karena menurut mitologinya, banyak pejabat tinggi negara yang mandi dulu di baalong gede sebelum mereka menjadi birokrat, air ini dipercaya sebagai air berkah yang dapat mendorong seseorang untuk mencapai impian yang dicita-citakannya.
Semua itu, terangkum dalam pertunjukan seni gegel jubleg. Mengungkapkan sisi mistik, mitologi, sejarah kecamatan Cisewu, yang disampaikan melalui bahasa-bahasa yang simbolis, spektakuler. Menjadi senyawa seni yang unik disetiap repertoarnya.
4.5.6.3 Susunan helaran seni Gegel jubleg
Pemain dogdog, kedok dan bangbarongan gerakannya acak tidak rampak diselingi dengan interaksi langsung dengan penonton. (Gambar ini dubuat oleh kang Anggi ketika diwawancarai oleh penulis disanggar seninya).
4.5.7. Lais
Lais merupakan suatu jenis pertunjukan rakyat di Jawa Barat yang mirip akrobat tetapi, karena kegiatan apa pun dalam masyarakat sunda tradisional ini selalu tidak lepas dari kepercayaan penduduknya, maka keterampilan akrobatik yang dilakukan oleh pemain-pemain lais itu pun dipercaya mendapat bantuan gaib. Selain itu, tentu saja lais juga diberi nafas seni dengan dimasukkannya tetabuhan dan dilantunkannya lagu-lagu selama pertunjukan.
Pertunjukan lais ini mempertontonkan keterampilan satu atau dua orang pemain lais yang berjalan atau duduk di atas tali tambang yang direntangkan di antara dua ujung bambu. Tali tambang tersebut selalu bergoyang dan bambunya pun bergerak-gerak selagi menyangga beban dan gerakan pemain lais tersebut. Kesenian Lais ini terdapat dibeberapa seperti Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon dan Bandung. Lais dapat disaksikan pada acara-acara kenegaraan, hajatan, pernikahan ataupun khitanan.
Pertunjukan lais dilakukan dengan cara memancangkan dua leunjeur (batang) awi gombong (bambu berbumbung besar) di tanah kemudian merentangkan tali tambang pada kedua ujung bambu tersebut. Tali tambang diikatkan pada kedua ujung bambu yang dipancangkan tersebut lalu tetabuhan pun dibunyikan sebagai pembukaan juga sebagai pemberitahuan bahwa permainan akan segera dimulai. Hal ini dilakukan untuk mengundang penonton supaya hadir dalam pementasan lais tersebut.
Ketika permainan dimulai, sang dukun (pawang) lais pun siap dengan perlengkapan upacaranya, yaitu sesajen (sesajian) dan pedupaan (kukusan). Bersamaan dengan bunyi tetabuhan, dibakarlah kemenyan dalam pedupaan tadi serta mantera-mantera pun dibacakan. Upacara ini dimaksudkan agar si pemain lais diberi kekuatan, kelincahan, keterampilan serta keselamatan di dalam permainannya. Busana yang dikenakan oleh pemain lais yaitu busana yang biasa dipakai oleh wanita seperti kain dan kebaya, terutama pemain lais di Priangan. Dengan langkah gemulai, pemain lais yang menurut kepercayaan mulai kemasukan roh gaib itu menari-nari mendekati salah satu tiang bambu. Ia menyelipkan sebuah payung di pinggangnya. Pada saat itu terjadilah percakapan antara pemain lais dan pawang.
Sambil menari lagi, Si Lais terus mendekati tiang bambu lalu dengan cekatan memanjat tiang bambu tersebut seperti seekor kera. Cara memanjatnya yaitu dengan tidak merapatkan tubuh ke batang bambu, melainkan dengan menggunakan tangan dan kakinya.