Mohon tunggu...
Gufron Ali Purnomo
Gufron Ali Purnomo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku "Hukum Waris" Dra. Amal Hayati M.Hum, Rizki Muhammad Haris S.H.I, Zuhdi Hasibuan SH.I

13 Maret 2024   11:15 Diperbarui: 13 Maret 2024   11:22 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Gufron Ali Purnomo
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia

Abstract:
Buku "Hukum Waris" ini memberikan gambaran umum tentang Hukum Waris. Melalui pembahasan yang mendalam tentang gambaran kewarisan secara menyeluruh, wasiat,serta pengganti waris. penulis menguraikan secara detail tentang kewarisan, ashabul furud. Namun, beberapa pembaca ingin banyak contoh dan penjelasan praktis. Penambahan analisis tentang problem-problem dalam waris yang ada pada zaman sekarang serta dapt meningkatkan relevansi dan kedalaman buku ini. Dengan demikian, buku ini menjadi sumber yang lebih lengkap dan relevan bagi mereka yang ingin memahami hukum waris.
Keywords: hukum waris; wasiat; pengganti waris; ashabul furud


Introduction
Hukum Waris di Indonesia merupakan bagian integral dari sistem hukum negara ini, yang memiliki populasi mayoritas Muslim. Dalam konteks ini, pemahaman yang mendalam tentang hukum keluarga Islam menjadi penting tidak hanya bagi para praktisi hukum, tetapi juga bagi masyarakat umum yang ingin memahami nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mendasari tatanan keluarga dan masyarakat Islam di Indonesia.
Buku "Hukum Waris" oleh Dra.Amal Hayati, M.Hum, Rizki Muhammad Haris, SH.I. , Zuhdi Hasibuan, S.H.I. hadir sebagai upaya untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang hukum waris dalam konteks Indonesia. Dengan menguraikan konsep-konsep pentingdalam hukum waris dan pembahasan didalmnya, buku ini bertujuan untuk menjadi panduan yang berguna bagi mereka yang ingin memahami dan menerapkan hukum waris dengan benar dan efektif.
Dalam latar belakang ini, review buku ini bertujuan untuk mengevaluasi kekuatan, kelemahan, dan relevansi buku tersebut dalam menyajikan materi tentang hukum waris. Dengan memahami konten dan pendekatan yang digunakan dalam buku ini, pembaca akan dapat menilai sejauh mana buku ini memberikan kontribusi yang berharga dalam pemahaman dan aplikasi hukum waris.


Result and Discussion


Pengertian hukum Waris dan Dasar Hukumnya


Pengertian umum dari hukum waris yaitu humpunan petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam masyarakat. Dijelaskan pula pada Kompilasi Hukum Islam No.1 Th.1991 pasal 171 butir (a) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagian masing-masing.


Warisan adalah harta atau peninggalan orang yang telah meninggal. Pewaris adalah orang yang memiliki harta dan sudah meninggal. Ahli waris adalah orang yang berhak menerima harta waris. Sehingga penjelasan tersebut merupakan istilah-istilah yang adapada hukum waris.
Menurut Dr. Santoso pudjosubroto, hukum waris adalah hukum yag mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban tentang benda seseorang sewaktu meninggal dunia akan beralih pada orang lain yang masih hidup. Sehingga dalam islam juga huku waris juga disebut dengan ilmu faraid.


Terdapat bebepara rujukan yang sudah ada. [1] Al-Qu'an Surat An-Nisa' ayat 11 yang disebutkan "allah mewasiatkan kepadamu tentang anak-anakmu, bahwa bagaimana seorang anak lelaki sam dengan bagian dua orang anak perempuan" ayat tersebut menjelaskan pembagian harta waris. [2] Sunnah Imam Bukhari telah menghimpun hadits tentang hukum waris tidak kurang dari 46 hadist. [3] Ijma' kesepakatan para ulama atau sahabat sepeninggal rasulullah saw, tentang ketentuan waris. [4] Ijtihad peikiran sahabat atau ulama dalam menyelesaikan kasus pembagian waris yang belum atau tidak disepakati.

Rukun dan Syarat Waris


Rukun adalah sesuatu yang harus ada yang menentukan sah satu tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan (ibadah) itu, misalnya membasuh muka dalam wudhu dan takbiratul ihrom dalam sholat. Contoh lain, adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan dalam perkawinan, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan sesuatu (rukun) yang harus ada dalam suatu pekerjaan (ibadah). Oleh karenanya apabila sesuatu (rukun) itu tidak ada, maka tidak sah pekerjaan (ibadah) itu. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang harus ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan (ibadah) itu, misalnya menutup aurat dalam sholat, beragama Islam bagi calon mempelai laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya.


Definisi syarat suatu yang terbentuk sesuatu yang lain dari keberadaannya, mengigat eksisnya suatu itu dengan rukun (unsurnya) itu sendiri, bukan karena tegaknya. Selain itu menurut terminology para fuqaha yaitu sesuatu yang ketidakadaannya mengharuskan tidak adanya hukum itu sendiri. Syarat-syarat kewarisan [1] matinya muwarrist adalah warisannya beralih dengan sendirinya kepada ahli waris dengan syarat tertentu. [2] hidupnya waris(ahli waris) disaat kematian waris. [3] tidak adanya penghalang mewarisi.  

Kedudukan Hukum Kewarisan Dalam

 Sistem Hukum Islam
Hukum islam mengatur beberapa bidang, anatara lain bidang hukum kekeluargaan yang meliputi hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Hukum waris, siapa saja berhak dan berapa bagian setiap ahli waris serta bagaimana harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris semua di atur dalam Al-Qur'an karena setiap orang pasti akan mengalami kematian dan menimbulkan peristiwa kewarisan sepanjang rukun kewarisannya terpenuhi.  Kewarisan menyangkut harta benda yang bila tidak diberikan ketetntuan akan mudah menimbulkan sengketa antara para ahli waris.


Factor yang melahirkan hak kewarisan islam yaitu factor seiman maka yang tidak seiman tidak dapat hak dla kewarisan. Factor hubungan darah, factor menurut pandangan imam syafi'i dan ahli-ali fiqh. Factor hubungan perkawinan yaitu suami-istri.


 Asas- Asas Hukum Kewarisan Islam
Asas ijabari (memaksa), melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Dalam hal waris maksudnya adalah "terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendirinya, maksudnya tanpa ada perbuatan hukum atau pernyataan kehendak pewaris semasa hidup tidak dapat menolak atau menghalangi terjadinya peralihan tersebut.


Asas Bilateral,harta warisan beralih pada 2 arah, maksudnya setiap orang menerima hak kewarisn dari sua belah pihak yaitu pihak garis keturunan laki-laki dan pihak garis keturunan perempuan.
Asas individual, harta waris dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara oerseorangan. masing-masing ahli waris berhak menerima bagian secara tanpa terikat dengan hali waris lain.
Asas Keadilan berimbang, keseimbangan antara hak dan kewajiban, keseimbangan antara yag diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.


Asas kematian, harta yang dapat setelah seseorang meninggal dunia.  
sebab kewarisan dan sebab terhalangnya
Sebab- sebab kewarisan
Adanya hubungan keluarga (al-qarabah)
Hubungan perkawinan
Adanya kegiatan seorang memerdekakan orang lain dari pebudakan (al-wala')
Adannya hubungan agama
Sebab-sebab terhalag kewarisan.
Pembunuhan,
Menurut ulama mazhab hanfiyah menjelaskan bahwa pembunuhan yang menjadi penghalang: pembunuhan yang dapat di berlakukan qishas, pembunuhan yang hukumannya berupa kafarat,  pembunuhan khilaf, pembunuhan di anggap khilaf.
Berbeda agama, hukum ini disepakati 4 imam
Perbudakan (al-'abd), para ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk menerima warisan karenan dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum
Berbeda negara, karenan memiliki banyak perbedaan baik dari domisili, pemimpin, kedaulatan, dan tidak ada ikatan kekuasaan dengan negara lain.

Ashabul Furud


Waris telah ditetpkan dalam qur'an surat An-Nisa' ayat 11-14 terkait dengan bagian-bagian dan siapa yang berhak menerima. Orang yang kemungkinan dapat harta orang yang sudah meninggal dunia ada 25 orang diantaranya 15 pihak laki-laki dan 10 orang pihak perempuan.

* Dari golongan laki-laki

1. Anak laki-laki

2. Cucu dari pihak anak laki-laki

3. Bapak

4. Kakek dari pihak bapak

5. Saudara laki-laki kandung

6.Saudara laki-laki sebapak saja

7.Saudara laki-laki seibu saja

8.Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

9.Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak

10.Saudara laki-laki bapak (paman)

11.Saudara laki-laki bapak yang sebapak saja

12.Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang kandung

13. Anak laki-laki saudara bapak laki-laki (paman) yang sebapak

14.Suami

15.Laki-laki yang memerdekakan si mayit

* Dari pihak perempuan

1.Anak perempuan

2.Anak perempuan dari anak laki-laki

3.Ibu

4.Ibu dari bapak

5.Ibu dari ibu

6.Saudara perempuan yang seibu sebapak

7.Saudara perempuan yang sebapak

8.Saudara perempuan seibu

9.Istri

10.Perempuan yang memerdekakan si mayat

Ashab Al-Furud Dan Bagian-Bagiannya

Ashab al-furud adalah orang-orang yang berhak mendapat bagian tertentu dari harta warisan yang ditinggal muwarris. Bagian yang ditentukan. Orang yang mendapat ,, , , , dan

1. Orang yang mendapar

> Anak perempuan jika hanya sendiri

>Anak perempuan dari anak laki-laki jika tidak ada anak perempuan

> Saudara perempuan yang seibu sebapak

> Suami

2. rang yang mendapat 1/3

>Ibu jika yang meninggak tidak meninggalkan anak atau cucu

>Dua saudara atau lebih dari saudara seibu

3. Orang yang mendapat

>Suami jika meninggalkan anak

>Istri

4. Orang yang mendapat 1/6

> Ibu jika bersama anakbapak si mayat jika yang meninggal mempunyai anak laki-laki

>Nenek jika ibu tidak ada

>Cucu perempuan dari pihak nak laki-laki

>Kakek (bapak dari bapak)

>Saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan

>Saudara perempuan yang sebapak

5. Orang yang mendapat bagian 1/8

> Istri

6. Orang yang mendapat 2/3

>Dua anak perempuan atau lebih jka tidak ada anak laki-laki

>Dua orang anak perempuan dari anak laki-laki(cucu)

>Saudara perempuan seibu sebapak

Ashabah

Ashabah artinya kerabat seorang dari jurusan ayah, sedangkan Menurut fuqaha adalah ahli waris yang tidak mendapat bagian yang sudah dipastikan besar kecilnya yang telah disepakati oleh seluruh fuqaha dan belum disepakati oleh mereka. Ashabah merupakan orang yang menghabiskan seluruh harta yang meninggal setelah dibagi Menurut bagian masing-masing.

Ashabah ini dibagi menjadi dua yaitu, [1] ashabah an-nasabiyah yaitu sebab mewarisi karena adanya hubungan nasab. Dibagi menjadi tiga yaitu ashabah bi an-nafs, ashabah bi al ghair, ashabah ma'al ghair. [2] ashabah as-sababiyah yaitu peristiwa sumpah setia antara dua orang/lebih yang tidak memiliki hubungan nasab untuk bersumpah akan saling waris-mewarisi jika salah seorang dari mereka meninggal dunia.

Hijab

Secara etimologi hijab artinya penutup, penghalang, takbir, tirai, ataupun sekat, sedangkan secara terminology adalah ahli waris yang dapat menutup/menghalangi ahli waris yang lain untuk memperoleh bagian-bagian tertentu harta warisan.

Ahli waris yang dihijab antara lain, nenek dihijab ibu, kakek dihijab ayah. Saudara seibu dapat dihijab anak, bapak,kakek. Saudara sebapak dihijab bapak, anak laki-laki, saudaralaki-laki sekandung. Saudara kandung dihijab anak laki-laki, cucu, bapak. Cucu laki-laki satau perempuan dari anak laki-laki dihijab oleh anak.

Zawil Arham

Secara etimologi artinya yang mempunyai kasih saying, sedangkan secara terminology adalah para ahli waris selain sahib al-furuddarah dan ashabah, baik laki-laki maupun perempuan serta seorang ataupun banyak. Cara pembagian untuk zawil arham adalah jika zawil arham itu hanya seorang diri, baik laki-laki maupun perempuan menerima seluruh harta peninggalan atau sisa harta peninggalan setelah diambil fardh salah seorang suami/istri bila ia mewarisi bersama dengan seorang suami/istri.  

Azas-azas pembagian harta warisan yaitu, [1] Al-Qarabah, dekatnya hubungan kerabat dengan orang yang meninggal. [2] At-Tanzil, penempatan kepada status kerabat yang menyebabkan adanya pertalian nasab dengan mayit. {3] Ar-Rahim, kerabat.

Aul dan Radd

Aul menurut ulama faradiyun adalh betambahnya jumlah bagian zawil furud atau berkurangnya kadar penerimaan warisan mereka. Terjadi apabila terdapat banyak ahli waris yang berhak memperoleh warisan, sehingga menghabiskan harta warisan tetapi masih ada ahli waris lainnya yang belum mendapat bagian.

Pada zaman nabi masalah aul ini belum muncul karena tidak ada kasus yang menuntut penyelesaian dengan cara ini. Kasus ini muncul pertama kali pada zaman sahabat Umar Bin Khatab di tanya oleh seorang sahabat tentang penyelesaian pembagian warisan dimana ahli waris terdiri suami, dan 2 saudara perempuan sekandung. Jadi suami mendapat karena tidak ada anak, dan 2 saudara perempuan sekandung 2/3. Beliau tidak tau siapa yang mereka harus didahulukan. Sebab sekiranya beliau telah mengetahui, beliau tidak menemui kebimbangan. Setelah itu disampiakan permasalahan ke Zaid Bin Tsabit dan Abbas bin Abd Muthalib. Dab abbas mengusulkan untuk di aulkan saja. Zaid menyelesaikan dengan cara aul yaitu dengan di naikkan angka asal masalah sebesar angkah jumlah bagian yang diterima ahli waris semula. Penyelesaian masalah aul in disepakati oleh para sahabat, tabi'i dan para imam madzhab. Namun di tentang oleh abbas.

Radd artinya mengembalikan. Sedangkan menurut istilah yaitu pengembalian bagian yang tersisa dari bagian zawul furud nasabiyah kepada mereka, sesuai dengan besar kecilnya bagian masing-masing bila tidak ada lagi orang lain yang berhak menerima.

Rukun radd adalah adanya ashabul furud, adanya kelebihan harta peninggalan setelah dibagika kepada masing-masing ashabul furud, tidak ada ahli waris ashabah.

Macam Macam Kewarisan

 Kewarisan gharawain yaitu permasalahan pada ilmu mawaris yang mana apabila ahli waris hanya terdiri dari suami, ayah, dan ibu, ataupun istri, ayah, dan ibu. Masalah ghawarain adalah salah satu masalah dalam kewarisan yang pernah diputuskan oleh umar dan diterima oleh mayoritas sahabat dan diikuti oleh jumhur ulama. Masalah ini terjadi waktu penjumlahan beberapa furudh dalam satu kasus kewarisan yang hasilnya tidak memuaskan beberapa pihak.

Kewarisan masyarakah (berserikat) yaitu persoalan khusus yakni khusus untuk meyelesaikan persoalan warisan antara saudara seibu (baik laki-laki maupun perempuan) dengan saudara laki-laki sekandung. Musyarakah ahli warisnya yaitu; suami, ibu atau nenek, saudara laki-laki atau perempuan seibu, saudara laki-laki sekandung.

Kewarisan munasakhat (memindahkan) yaitu meninggalnya sebagian ahli waris yang sebelum pembagian harta waris sehingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya yang lain. Bila bagian berpindah pada ahli waris meninggal, sedangkan ia belum menerima hak waris, maka hak waris berpindah kepada ahli waris. Macam-macam kewarisan munasakhat dibagi menjadi 3 yang sesuai dengan keadaan.

Kewarisan mafqud (hilang) yaitu orang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahhui domisilinya, dan tidak diketahui tentang hidup dan matinya. Bisa disebut juga orang yag tidak diketahui keberadaanya. Tenggang waktu lamanya si mahfud pergi terdapat beberapa pendapat salah satunya yaitu imam malik yang berpendapat menetapkan waktu yang dipeebolehkan bagi hakim memberi vonis kematian si mafqud ialah empat tahun.

Hak Waris Anak Dalam Kandungan (mirats al-haml)

Al-hamlu (hamil) dalam Bahasa arab adalah bentuk mashdar (infinitive) dari kata hamalat. dikatakan "al-mar'atu hamil ma haamilatun idsaa kaanat hublaa" (Wanita itu hamil apabila ia sedang mengandung janin). Menurut istilah yaitu janin yang dikandung dalam perut ibunya, baik laki-laki maupun perempuan.

Syarat dari ahli waris yaitu keberadaannya (hidup) ketika pewaris wafat. Jadi maka janin yang masih di dalam kandungan ibuya belum dapat ditentukan hak warisnya, karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi tersebut lahir selamat atau tidak, laki-laki atau perempuan dan satu atau kembar. Setelah lahir jika masih selamat maka bayi tersebut sudah bisa dikatakan ahli waris , namun dengan sebaliknya jika tidak selamat maka dinyatakan bahwa ahli waris tidak ada ketika pewaris wafat.

Janin dalam kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi tiga persyaratan: [a] janin tersebut diketahui secara pasti keberadaanya dalam kandungan ibunya Ketika muwaris wafat. [b] bayi dalam keadaan hidup Ketika keluar dari perut ibunya. [c] matinya muwaris.

Batas waktu keluarnya bayi dari dalam kandungan ialah maksimal dua tahun sejak kematian pewaris, jika bayi yang ada dalam kandungan itu pewaris. Pernyataan tersebut merupakan pendapat mazhab hanafi dan imam ahmad. Sedangkan mazhab syafi'i dan maliki berpendapat bahwa janin dalam kandungan maksima; empat tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam mazhab imam ahmad.

Keadaan janin juga berpengaruh dalam hak waris. Keadaan pertama yaitu seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahla waris yang ada secara langsung tanpa harus menunggu kelahiran janin, karena janin tersebut tidak termasuk ahli waris dalam segala kondisi. Keadaan kedua yaitu seluruh harta waris yang dibagikan kepada ahl waris dengan menganggap bahwa janin yang dikandung adalah salah satu dari ahli waris, namun sementara pembagian di bekukan.

Keadaan ketiga yaitu keadaanya hanya saja hak waris yang dimiliki berbeda (bisa laki-laki dan perempuan maka dalam keadaan tu hendaknya kita diberikan dua ilustrasi dan memberkukan untuk janin dari bagian yang maksimal. Keadaan keempat yaitu apabila bagian janin dalam kandungan tidak berubah baik sebagai laki-laki maupun perempuan, maka disisihkan bagian warisnya dan berikan bagian ahli waris yang ada secara sempurna.

Pembagian Waris Khuntsa Musykil

Khuntsa artinya lemah atau pecah. Sedangkan istilah yaitu orang yang mempunyai alat kelamin ganda (laki-laki dan perempuan). Macamnya ada dua yaitu khuntsa musykil yaitu orang yang mempunyai alat kelamin ganda, jika ia membuang air kecil melewati kedua alat kelamin bersam-sama. Khuntsa ghair musykil, yaitu orang yang mempunyai alat kelamin ganda, namun statusnya sudah diketahui bahwa statusnya laki-laki ketuka membuang air kecil.

Ahli waris khuntsa musykil yaitu [a] hat bunuwwah (garis anak) yaitu anak dan cucu. [b] jihat ukhuwwah (garis paman). [c] jihat 'umumah (agris paman), dua orang yaitu paman dan anak paman. [c] jihat wala' (perwalian bidak), yaitu mu'tiq.

 

Wasiat

Pemberian hak milik secara suka rela yang dilaksanakan setelah pemberinya wafat. Seseuai syara' yaitu pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang, ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat itu, sesudah orang yang berwasiat meninggal dunia. Pebedaan dengan hibah, karena kalua hibah yaitu terjadi pada saat itu juga dan hibah berupa barang.

Wasiat dilaksanakan dengan landasan hukum yaitu al-qur'an surat al- baqarah: 180, al-maidah : 106. Seta hadits rasulullah yang artinya "diriwayatkan dari bukhari dan muslim, dari ibnu umar r.a dia berkata, "rasulullah saw bersabda, hak bagi orang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak di wariskan, sesudah bermalam selama dua malam, tiada lain wasiatnya itu tertulis pada amal kebajikan" ibnu umar berkata "tidak berlalu bagiku satu malam pn sejak aku mendengar rasulullah saw mengucapkan hadist itu, kecuali wasiat selalu berrada disisiku".

 hukum wasiat terdapat banyak yaitu dikatakan wajib jika dalam keadaan masunusia mempunyai kewajiban seperti utang,zakat, dll. Wasiat dikatakan sunah jika diperuntukkan kepada kebajikan, karib kerabat, orang kafir, dan orang saleh. Wasiat haram jika merugikan ahli waris. Wasiat dikatakan makruh jika orang yang berwasiat sedikit hartanya sedang dia mempunyai ahli waris yang membutuhkan hartanya.

Adapun rukun wasiat yaitu harus :

[1]Ada pewasiat,

[3]Ada yang diberi wasiat

[3]Ada sesuatu yang diwasiatkan, berupa harta atau manfaat

[4]Ada akad atau ijab qabul secara lisan atau tulisan

Wasiat Wajibah

Merupakan kebijakan penguasa yang bersifat memaksa untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Wasiat ini diperuntukkan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara'.

Menurut fatchur rahman dikatakan wasiat wajiba dikarenkan dua hal: [1] hilangnya unsur ikhiar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasoat dan persetujuan si penerim. [2] terdapat kemiripan dengan ketentuan bagian harta pusaka dalam hal penerimaan laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.

Pemberian bagian dalam wasiat wajiba dijelaskan pada Kompilasi Hukum Islam pada pasal 209 yang menyiratkan :

[1]Subjek hukum adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat.

[2]Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan tetapi dilakukan oleh negara.

[3]Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh melebihi 1/3 dari harta peninggalan pewaris.

Ahli Waris Pengganti  

Istilah yang digunakan bukan "ahli waris pengganti" namun "tanzil". Mengandung hakekat makna ahli waris pengganti akan tetapi makna tersebut tidak sempurna karena yang berhak sebagai ahli waris pengganti hanyalah keturunan laki-laki, yang meninggal lebih dulu pewaris. Dengan kata lain, hanya cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki (ibnu ibnin) yang daoat menrima warisan dari kakeknya, dan itupun bagian yang telah di tentukan secara pasti. Dalam pasal 185 khi yang lengkapnya:

Ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat diganti oelh anaknya.

Bagian ahli waris tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang di ganti.  

Conclusion

Buku ini memberikan gambaran yang komprehensif tentang hukum waris, terutama fokus pada hukum waris, ashabul furud,aul dan rad, macam-macam waris, wasiat dan ahli waris pengganti. Penulis dengan jelas menguraikan konsep-konsep penting yang juga mencantumkan beberapa pandangan baik dari pendapat ulama, mazhab, dan contoh- contodala kehisupan.

Bab-bab dalam buku ini dirangkum dengan baik dan disusun dengan struktur yang logis, memudahkan pembaca untuk mengikuti pembahasan dari konsep dasar hingga penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam bab tentang hukum waris, penulis tidak hanya membahas pengertian, namun juga menjelaskan dengan rinci dan mudah di pahami. dengan mencantumkan cara pembahasan pembagian waris yang mudah di terpakan.

Selain itu, penulis juga menyertakan referensi hukum Islam yang relevan, seperti Al-Qur'an dan hadis, serta pendapat ulama terkemuka, sehingga membantu memperkuat argumen yang disampaikan. Ini memberikan kepercayaan kepada pembaca bahwa isi buku didasarkan pada landasan yang kuat dan sahih.

Namun, ada beberapa aspek yang mungkin dapat diperbaiki dalam buku ini. Salah satunya adalah penggunaan bahasa yang lebih sederhana dan jelas agar lebih mudah dipahami oleh pembaca.

Melalui pembahasan yang mendalam dalam setiap bab dan sub bab, pembaca dapat memahami secara lebih baik tentang hukum-hukum tersebut dan bagaimana penerapannya dalam konteks masyarakat Indonesia. Terdapat juga referensi yang kuat terhadap sumber-sumber hukum Islam serta pandangan para ulama, sehingga membantu memperkuat argumen yang disampaikan oleh penulis.

Namun, beberapa pembaca mungkin akan merasa bahwa bahasan tentang Aul dan radd memerlukan lebih banyak contoh atau studi kasus untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam. Selain itu, akan lebih baik jika buku ini mencakup juga aspek praktis dalam penerapan hukum keluarga Islam di Indonesia, seperti prosedur perkawinan.

Tambahan yang mungkin juga dapat meningkatkan kualitas buku ini adalah penambahan analisis terhadap perkembangan hukum waris seiring dengan perubahan sosial, budaya, dan politik. Dengan memperhatikan konteks sosial yang dinamis, pembaca dapat memahami bagaimana hukum keluarga Islam terus berkembang dan beradaptasi dengan kondisi zaman.

Selain itu, penulis dapat mempertimbangkan untuk menambahkan diskusi tentang perbandingan antara hukum waris dengan hukum warism non-Islam. Hal ini akan membantu pembaca untuk memahami konteks waris dan bagaimana hal tersebut berbeda atau serupa dengan praktek-praktek hukum keluarga di tempat lain.

Dengan demikian, dengan peningkatan tersebut, buku "Hukum Waris" dapat menjadi sumber yang lebih lengkap dan relevan dalam memahami hukum waris. Ini tidak hanya akan bermanfaat bagi para akademisi dan praktisi hukum, tetapi juga bagi masyarakat umum yang ingin memahami lebih dalam tentang nilai-nilai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun