Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ibunda

5 Agustus 2023   05:55 Diperbarui: 5 Agustus 2023   06:06 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Semuanya meninggal, Bhante?"

"Rumah mereka hancur. Istri, anak-anak dan Ibu kepala keluarga menjadi korban. Sang kepala keluarga selamat karena pada hari itu dia sedang dalam perjalanan bisnis ke suatu daerah."

Aku termangu, mengingat kembali berita-berita yang kubaca tentang bencana besar itu.

"Dalam satu hari dan secara mendadak, tanpa firasat atau pertanda apa pun, semua yang dia kasihi meninggal dengan tragis. Bro bisa bayangkan seperti apa berat deritanya? Sedalam apa kesedihannya? Dan sebesar apa penyesalannya dengan hujanan pertanyaan 'mengapa'?"

Aku tak tahu harus berkata apa, juga takut salah menanggapi. Jadi aku putuskan diam sambil sedikit menundukkan kepala, menunggu Bhante melanjutkan ceritanya.

"Batin si kepala keluarga terguncang hebat. Dia depresi dan nyaris terganggu jiwanya. Perlu waktu berbulan-bulan sebelum akhirnya dia sadar bahwa keterpurukannya dalam kesedihan ini sangat merugikan dan berbahaya. Sejak dia melihat kerugian dan bahaya dari berkumbang dalam penyesalan, dia mulai bangkit untuk menata hidupnya. Dia sadar bahwa samsara ini bercirikan ketidakkekalan, ketidakmemuaskan, dan ketanpaintian. Singkatnya, tidak ada yang benar-benar bisa kita anggap milik atau kita genggam dalam hidup ini. Mana bisa, sedangkan diri sendiri saja bukan milik kita apalagi keluarga, harta, dan sebagainya. Semua akan berlalu, cepat atau lambat, kita mau atau tidak mau."

"Tapi, Bhante, bagaimana ceritanya orang baik bisa mati dengan cara yang tragis? Ibu saya orang baik, sungguh baik hati, namun meninggal dalam satu musibah yang tragis. Saya tak rela, tidak ikhlas," kataku dengan suara yang agak tercekat karena mulai dikuasai kesedihan.

Bhante Bhadrapala memperbaiki jubah atasnya yang dipermainkan angin, menggerakkan sedikit kakinya yang mulai kesemutan karena telah bersila dalam waktu lama, sebelum berkata bahwa kita semua terikat oleh karma kita sendiri-sendiri. Kita adalah pemilik, pewaris, lahir dari, berkerabat dan terlindungi oleh karma kita sendiri.

"Jika kita hanya melihat satu kehidupan ini saja, Bro, memang tampaknya sangat tidak adil orang baik meninggal dengan cara yang tragis. Tetapi kita sudah pernah tak terhitung banyak kali lahir-mati di siklus samsara ini, yang awalnya tak bisa diketahui dan akhirnya mungkin juga tidak akan ketemu kalau kita tak sadar-sadar juga dari kebodohan kita. Dan selama pengembaraan di samsara, masing-masing kita sudah tak terhitung melakukan perbuatan baik dan perbuatan buruk, karma-karma yang berpotensi untuk membuahkan akibat-akibatnya."

"Ibunda Bro meninggal dalam suatu musibah tak lepas dari sebab-sebab, tak mungkin tanpa sebab. Seperti nyala lampu minyak yang bisa padam karena empat macam penyebab, yakni habisnya sumbu, habisnya minyak, habisnya sumbu dan minyak, dan padam karena tertiup angin, demikian juga dengan kematian kita."

"Ada orang-orang yang meninggal karena telah terpenuhinya rentang kehidupan di dunia, yang pada masa kini adalah sekitar 100-an tahun. Ada orang-orang yang meninggal karena habisnya kekuatan karma yang memberlangsungkan kehidupan, ini misalnya terjadi pada mereka yang pendek umur atau yang umurnya tak mencapai maksimal umur kehidupan saat ini. Ada juga yang karena rentang usia sudah terpenuhi sekaligus bersamaan dengan pupusnya kekuatan karma. Dan terakhir, ada yang meninggal karena musibah, kecelakaan, atau malapetaka sejenisnya. Untuk kasus yang terakhir ini, kekuatan karma yang memberlangsungkan kehidupan terpotong oleh satu karma penghancur kuat sehingga orang mengalami kematian yang sesungguhnya bukan pada waktunya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun