Aku mengambil tempat di sisi sebelah kanan pada jarak yang pantas, duduk bersila di atas tanah beralas rumput.
"Sedang apa di sini, Bro?" tanya Bhante.
"Sedang bengong saja, Bhante," jawabku terus-terang. Tidak ada gunanya berpura-pura di depan seorang samana seperti beliau yang, siapa tahu, punya kemampuan membaca pikiran.
"Boleh tahu apa yang sedang Bro bengongi tadi?"
"Saya melamunkan tentang mimpi-mimpi yang sejak kemarin lusa kerap hadir saat saya tidur, Bhante. Mimpi menyesakkan, tentang almarhumah Ibu saya. Ibu tampak sedih dan muram."
Bhante Bhadrapala terdiam sejenak. Celotehan burung kacer dan cucak rawa terdengar ramai diselingi gemerisik dedaunan. Siang menjelang sore hari ini  cerah, dan langit tampak indah dengan awan yang tersapu tipis-tipis.
"Bro belum bisa merelakan kepergian Ibu, ya?"
Aku mengangguk takzim.
"Ada penyesalan yang besar karena merasa seharusnya kejadian itu tidak perlu terjadi andai Bro begini Bro begitu?"
Nah, kan.... Bhante bisa tahu hal itu darimana kalau bukan baca pikiran? kataku dalam hati
Bhante Bhadrapala tersenyum dan berkata, "Itu bisa diketahui tanpa perlu membaca pikiran, Bro." Beliau tampak nyaris tertawa melihat ekspresi keterkejutan di wajahku. "Hanya psikologi biasa, kok. Semua orang juga bisa asal paham soal psikologi manusia."