Ibu tampak begitu tua. Wajahnya murung, sorot matanya sedih. Aku menggapai, ingin menyentuh wajahnya dengan tanganku. Tetapi wajah itu yang begitu akrab, lembut dan sabar, perlahan-lahan menjauh, memudar. Aku menggapai-gapai panik, berseru-seru memanggil Ibu hingga napasku tersengal-sengal dan tangisku kering. Aku terduduk lemas dengan sisa-sisa air mata yang mengering.
Vihara sedang sepi hari ini. Angin bertiup lirih, seakan-akan hendak menghibur karena panasnya siang membuat orang-orang merasa agak gelisah. Aku bangkit dari meditasi siangku di dalam sebuah bilik yang disediakan untukku. Sudah sebulan aku tinggal di vihara ini, menyumbangkan tenaga dengan imbalan makanan dan atap untuk bernaung. Ini bukankah jenis kehidupan yang kumau, awalnya. Tetapi setelah sekian lama, akhirnya aku menganggap wihara ini sebagai pulau pelarianku yang aman dan cukup nyaman.
Melangkah keluar dari bilikku, tampak halaman tengah vihara yang lengang. Bhikkhu Bhadrapala, kepala wihara ini, tampaknya masih beristirahat di kutinya. Selain aku dan beliau, ada Pak Jo, istri dan tiga anak mereka serta Pak Yono si tenaga serabutan dan seekor anjing jantan "milik" vihara juga ikut tinggal di sini. Namanya Molly, dan tiap kali ingat si "Molly anjing jantan", aku masih saja tergelitik ingin tertawa. Ada-ada saja si pemilik terdahulu menamai anjingnya. Molly anjing blasteran macam-macam ras, yang secara umum penampilannya menyerupai Labrador. Dia mulai tinggal di sini sejak pemiliknya, seorang umat dari desa sekitar vihara, meninggal dan berwasiat agar Molly diijinkan tinggal di vihara karena tak ada kerabatnya yang bisa diminta mengurus anjing tua ini.Â
Karena tak ada tugas yang wajib kulakukan sampai kira-kira pukul lima nanti, saat giliranku menyiram taman vihara, aku putuskan untuk berjalan-jalan sejenak di bawah bayang-bayang pepohonan hutan kecil wihara, mencoba mengusir bayang-bayang kesedihan yang sudah beberapa hari ini rutin mengusik tidur malamku.
Hutan kecil milik wihara difungsikan sebagai hutan pertapaan. Di beberapa bagian tampak menyembul atap dari pondok-pondok kecil tempat para yogi tinggal dan bermeditasi selama masa retreat, satu pondok untuk satu orang. Pepohonan penghuni hutan terdiri dari berbagai macam, antara lain dan terutama adalah pohon Bodhi (ficus religiousa) sebagai pohon pencerahan Buddha, selain juga pohon buah-buahan tropis dan pohon pengobatan. Masyarakat sekitar wihara diberi kebebasan untuk memetik apa saja hasil dari hutan ini tanpa perlu sungkan, selama mereka patuh untuk bekerja dalam hening dan penuh perhatian agar seminimal mungkin mengusik para yogi yang sedang berlatih.
Di bagian hutan yang agak membukit, pada salah satu sisi miring yang rimbun oleh rapatnya pepohonan, dari sela bebatuan granit muncul sebuah mata air tak kenal musim, selalu mengalirkan air sepanjang tahun bahkan ketika musim kemarau paling terik. Debitnya cukup besar, muncul seperti air mancur kecil namun stabil dan dibiarkan mengalir secara alami, sehingga lama kelamaan pada tempat cucurannya, di bagian yang lebih rendah, terbentuk telaga kecil. Airnya jernih dan bisa langsung diminum tanpa dimasak, segar dan sejuk. Kami biasa mengambil air dari mata air tersebut untuk keperluan persembahan amisa puja di altar Buddha, atau untuk "memandikan" Buddha rupang pada jelang Waisak atau hari raya Buddhis lainnya. Sekali dua kali penduduk sekitar ada yang datang meminta air dari mata air tersebut, katanya untuk diminumkan ke orang yang sedang sakit. Konon, sudah berkali-kali terjadi mereka yang sedang sakit ini itu pulih kembali kesehatannya setelah meminum air dari mata air dari bukit hutan wihara ini.
Langkahku tiba di sebatang pohon Bodhi paling berwibawa di hutan ini, ia tumbuh di bagian paling atas dari "bukit" hutan wihara, masih satu garis keturunan dengan cangkokan pohon Bodhi di Bodhgaya tempat Buddha mencapai pencerahan. Di bawah rimbun dedaunannya, panas musim kemarau yang terik menjadi jinak, dan pandanganku bisa meluas ke arah telaga kecil serta sebagian besar area hutan. Udara terasa sejuk dan segar. Aku duduk pada sebuah landasan bundar dari beton yang agak meninggi, ada delapan buah yang sengaja dipasang di sana dalam formasi melingkari sang pohon. Sambil duduk bersila, pikiranku segera lari ke mimpi-mimpi tentang Ibu yang kerap mengusikku. Mengapa gambaran pada mimpi tersebut amat menyesakkan hati? Apa yang telah terjadi pada Ibuku?
Aku agak tersentak oleh suara renyah dedaunan kering terinjak kaki. Bhante Bhadrapala tampak berjalan mendekat ke arah pohon Bodhi ini dengan disertai Molly yang berlari-lari anjing di depannya (ya, iyalah....dia memang anjing, jadi lari-nya pasti lari-lari anjing). Bergegas bangkit, aku bersiap menyambut beliau dengan beranjali.
"Sukhi hotu, Bhante," sapaku seraya mempersilakan beliau duduk di landasan yang tadi kududuki. Bhante tersenyum dan mengangguk kecil, lalu duduk.
"Sukhi hotu, Molly," tak lupa kusapa juga si anjing jantan yang baik hati itu. Dia mendongak dengan wajah seakan nyengir senang, lalu mencari tempatnya sendiri untuk duduk gaya anjing (ya, iyalah....masa anjing duduk gaya kucing?)
Aku mengambil tempat di sisi sebelah kanan pada jarak yang pantas, duduk bersila di atas tanah beralas rumput.
"Sedang apa di sini, Bro?" tanya Bhante.
"Sedang bengong saja, Bhante," jawabku terus-terang. Tidak ada gunanya berpura-pura di depan seorang samana seperti beliau yang, siapa tahu, punya kemampuan membaca pikiran.
"Boleh tahu apa yang sedang Bro bengongi tadi?"
"Saya melamunkan tentang mimpi-mimpi yang sejak kemarin lusa kerap hadir saat saya tidur, Bhante. Mimpi menyesakkan, tentang almarhumah Ibu saya. Ibu tampak sedih dan muram."
Bhante Bhadrapala terdiam sejenak. Celotehan burung kacer dan cucak rawa terdengar ramai diselingi gemerisik dedaunan. Siang menjelang sore hari ini  cerah, dan langit tampak indah dengan awan yang tersapu tipis-tipis.
"Bro belum bisa merelakan kepergian Ibu, ya?"
Aku mengangguk takzim.
"Ada penyesalan yang besar karena merasa seharusnya kejadian itu tidak perlu terjadi andai Bro begini Bro begitu?"
Nah, kan.... Bhante bisa tahu hal itu darimana kalau bukan baca pikiran? kataku dalam hati
Bhante Bhadrapala tersenyum dan berkata, "Itu bisa diketahui tanpa perlu membaca pikiran, Bro." Beliau tampak nyaris tertawa melihat ekspresi keterkejutan di wajahku. "Hanya psikologi biasa, kok. Semua orang juga bisa asal paham soal psikologi manusia."
"Iya, Bhante. Saya masih sangat menyesali mengapa ketika itu saya tidak bertindak dengan cepat sehingga Ibu saya bisa terselamatkan. Mengapa saya malah pergi keluar rumah. padahal Ibu sudah meminta saya tidak pergi. Dan banyak 'mengapa' lainnya," kataku.
Bhante Bhadrapala memandang ke arah telaga kecil, melihat bayangan langit senja yang terpantul di permukaannya ketika seekor elang melintas di ketinggian langit. Beliau menghela napas, lalu berkata, "Saya punya satu cerita. Bro mau dengar?"
"Cerita apa, Bhante? Yang lucu-lucu atau yang serius?"
"Yang serius, Bro, tapi mungkin ada lucu-lucunya sedikit."
"Baik, Bhante," jawabku.
"Bro, dulu sekali, Â sepuluh tahun yang lalu, pernah ada satu keluarga makmur di kota dekat sini. Keluarga itu terdiri dari sepasang suami istri dengan tiga anak mereka dan satu nenek dari anak-anak itu, Ibu dari kepala keluarga tersebut. Sang istri cantik, baik hati dan terpelajar, dan hormat pada Ibu mertuanya. Anak-anak mereka kembar tiga, dua perempuan dan satu laki-laki. Cantik dan ganteng, sedang akan menjadi remaja yang berprestasi dan berbudi. Dan si kepala keluarga sendiri punya bisnis yang menguntungkan sehingga keluarga tersebut hidup makmur. Singkat kata, mereka hidup bahagia, rukun dan sentosa nyaris tanpa ada derita."
"Kok kayak di sinetron, Bhante?" tanyaku setengah serius setengah usil. Bhante Bhadrapala tertawa kecil. "Iya, Bro, benar. Memang seperti gambaran keluarga makmur dan "sempurna" seperti di telenovela atau sinetron. Tapi yang ini kisah nyata."
"Lalu, Bhante?"
"Bro ingat, sepuluh tahun yang lalu pernah terjadi gempa besar di pulau ini?"
"O iya, bencana besar itu. Banyak korbannya."
"Iya, dan salah satu korbannya adalah keluarga itu," kata Bhante.
"Semuanya meninggal, Bhante?"
"Rumah mereka hancur. Istri, anak-anak dan Ibu kepala keluarga menjadi korban. Sang kepala keluarga selamat karena pada hari itu dia sedang dalam perjalanan bisnis ke suatu daerah."
Aku termangu, mengingat kembali berita-berita yang kubaca tentang bencana besar itu.
"Dalam satu hari dan secara mendadak, tanpa firasat atau pertanda apa pun, semua yang dia kasihi meninggal dengan tragis. Bro bisa bayangkan seperti apa berat deritanya? Sedalam apa kesedihannya? Dan sebesar apa penyesalannya dengan hujanan pertanyaan 'mengapa'?"
Aku tak tahu harus berkata apa, juga takut salah menanggapi. Jadi aku putuskan diam sambil sedikit menundukkan kepala, menunggu Bhante melanjutkan ceritanya.
"Batin si kepala keluarga terguncang hebat. Dia depresi dan nyaris terganggu jiwanya. Perlu waktu berbulan-bulan sebelum akhirnya dia sadar bahwa keterpurukannya dalam kesedihan ini sangat merugikan dan berbahaya. Sejak dia melihat kerugian dan bahaya dari berkumbang dalam penyesalan, dia mulai bangkit untuk menata hidupnya. Dia sadar bahwa samsara ini bercirikan ketidakkekalan, ketidakmemuaskan, dan ketanpaintian. Singkatnya, tidak ada yang benar-benar bisa kita anggap milik atau kita genggam dalam hidup ini. Mana bisa, sedangkan diri sendiri saja bukan milik kita apalagi keluarga, harta, dan sebagainya. Semua akan berlalu, cepat atau lambat, kita mau atau tidak mau."
"Tapi, Bhante, bagaimana ceritanya orang baik bisa mati dengan cara yang tragis? Ibu saya orang baik, sungguh baik hati, namun meninggal dalam satu musibah yang tragis. Saya tak rela, tidak ikhlas," kataku dengan suara yang agak tercekat karena mulai dikuasai kesedihan.
Bhante Bhadrapala memperbaiki jubah atasnya yang dipermainkan angin, menggerakkan sedikit kakinya yang mulai kesemutan karena telah bersila dalam waktu lama, sebelum berkata bahwa kita semua terikat oleh karma kita sendiri-sendiri. Kita adalah pemilik, pewaris, lahir dari, berkerabat dan terlindungi oleh karma kita sendiri.
"Jika kita hanya melihat satu kehidupan ini saja, Bro, memang tampaknya sangat tidak adil orang baik meninggal dengan cara yang tragis. Tetapi kita sudah pernah tak terhitung banyak kali lahir-mati di siklus samsara ini, yang awalnya tak bisa diketahui dan akhirnya mungkin juga tidak akan ketemu kalau kita tak sadar-sadar juga dari kebodohan kita. Dan selama pengembaraan di samsara, masing-masing kita sudah tak terhitung melakukan perbuatan baik dan perbuatan buruk, karma-karma yang berpotensi untuk membuahkan akibat-akibatnya."
"Ibunda Bro meninggal dalam suatu musibah tak lepas dari sebab-sebab, tak mungkin tanpa sebab. Seperti nyala lampu minyak yang bisa padam karena empat macam penyebab, yakni habisnya sumbu, habisnya minyak, habisnya sumbu dan minyak, dan padam karena tertiup angin, demikian juga dengan kematian kita."
"Ada orang-orang yang meninggal karena telah terpenuhinya rentang kehidupan di dunia, yang pada masa kini adalah sekitar 100-an tahun. Ada orang-orang yang meninggal karena habisnya kekuatan karma yang memberlangsungkan kehidupan, ini misalnya terjadi pada mereka yang pendek umur atau yang umurnya tak mencapai maksimal umur kehidupan saat ini. Ada juga yang karena rentang usia sudah terpenuhi sekaligus bersamaan dengan pupusnya kekuatan karma. Dan terakhir, ada yang meninggal karena musibah, kecelakaan, atau malapetaka sejenisnya. Untuk kasus yang terakhir ini, kekuatan karma yang memberlangsungkan kehidupan terpotong oleh satu karma penghancur kuat sehingga orang mengalami kematian yang sesungguhnya bukan pada waktunya."
Bhante Bhadrapala beranjak bangkit dari duduknya, berdiri tegap dan merapikan jubah beliau. Aku cepat-cepat ikut bangkit sembari beranjali, sementara Molly sudah siap mengantarkan Bhante kembali ke vihara. Dia senang, ekornya berkibas-kibas karena tahu sebentar lagi akan mendapatkan makan malam maknyus yang telah disiapkan istri Pak Jo untuknya.
"Bro, penyesalan itu derita. Menyesali yang sudah berlalu itu kebodohan ganda, bagai menghujami diri dengan dua pukulan sekaligus. Ibunda Bro tampak sedih dan menyesakkan hati, tidakkah terpikir bahwa bisa jadi itu tanda-tanda beliau sedih melihat Bro yang masih terus memikul penyesalan ke mana-mana?"
"Iya, Bhante," jawabku lirih. Tak bisa dibantah kebenarannya.
"Ngomong-ngomong, Bro sudah lakukan pelimpahan jasa untuk almarhumah Ibunda?"
Hah? Tak terpikirkan olehku. Aku menggelengkan kepala dengan malu.Terlalu larut dalam penyesalan hingga tak ingat lakukan pelimpahan jasa.
Bhante tersenyum maklum. "Lakukan kebajikan dan persembahkan jasa kebajikan itu kepada almarhumah Ibunda. Lepaskan penyesalanmu. Mimpi-mimpi itu tidak akan datang lagi."
Aku mengangguk takzim dan berkata dengan penuh syukur, "Anumodana, Bhante, atas nasihat dan cerita inspiratifnya. Perasaan saya kini sudah lebih lega dan mulai bisa menerima."
Aku menemani Bhante berjalan turun kembali ke vihara, dan ketika kami telah sampai, Molly langsung menghilang ke dapur. Bhante kembali ke kuti beliau, dan aku bersiap mengerjakan tugasku menyiram taman vihara. Sambil menyiram taman, pikiranku teringat kembali ke cerita Bhante tentang keluarga yang terkena musibah tersebut. Keluarga siapakah itu, memgapa ketika bercerita tadi Bhante tampak sangat menjiwai?
"O itu, Bro belum tahu?" tanya Pak Jo keheranan ketika aku sampaikan rasa penasaranku. "Itu cerita tentang Bhante sendiri, Bro."
"Hah? Yang benar, Pak Jo?"
"Benar, Bro. Keluarga itu adalah keluarga Bhante sendiri."
"Jadi kepala keluarga yang kehilangan anak, istri dan Ibundanya itu, adalah Bhante Bhadrapala ketika masih belum jadi bhikkhu?"
Pak Jo mengangguk. "Baru tahu, ya?"
"Ya, Pak Jo," jawabku, "Maklum selama ini saya kurang banyak makan tahu, jadinya baru tahu."
Pak Jo tertawa terbahak-bahak, istrinya yang ikut mendengar percakapan kami juga tertawa.
"Nggak lucu, Bro."
**
Bali, 05 Agustus 2023
Penulis: Chuang Bali, Kompasianer Mettasik
Oang Biasa yang Bercita-cita Luar Biasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H