"Iya, Bhante. Saya masih sangat menyesali mengapa ketika itu saya tidak bertindak dengan cepat sehingga Ibu saya bisa terselamatkan. Mengapa saya malah pergi keluar rumah. padahal Ibu sudah meminta saya tidak pergi. Dan banyak 'mengapa' lainnya," kataku.
Bhante Bhadrapala memandang ke arah telaga kecil, melihat bayangan langit senja yang terpantul di permukaannya ketika seekor elang melintas di ketinggian langit. Beliau menghela napas, lalu berkata, "Saya punya satu cerita. Bro mau dengar?"
"Cerita apa, Bhante? Yang lucu-lucu atau yang serius?"
"Yang serius, Bro, tapi mungkin ada lucu-lucunya sedikit."
"Baik, Bhante," jawabku.
"Bro, dulu sekali, Â sepuluh tahun yang lalu, pernah ada satu keluarga makmur di kota dekat sini. Keluarga itu terdiri dari sepasang suami istri dengan tiga anak mereka dan satu nenek dari anak-anak itu, Ibu dari kepala keluarga tersebut. Sang istri cantik, baik hati dan terpelajar, dan hormat pada Ibu mertuanya. Anak-anak mereka kembar tiga, dua perempuan dan satu laki-laki. Cantik dan ganteng, sedang akan menjadi remaja yang berprestasi dan berbudi. Dan si kepala keluarga sendiri punya bisnis yang menguntungkan sehingga keluarga tersebut hidup makmur. Singkat kata, mereka hidup bahagia, rukun dan sentosa nyaris tanpa ada derita."
"Kok kayak di sinetron, Bhante?" tanyaku setengah serius setengah usil. Bhante Bhadrapala tertawa kecil. "Iya, Bro, benar. Memang seperti gambaran keluarga makmur dan "sempurna" seperti di telenovela atau sinetron. Tapi yang ini kisah nyata."
"Lalu, Bhante?"
"Bro ingat, sepuluh tahun yang lalu pernah terjadi gempa besar di pulau ini?"
"O iya, bencana besar itu. Banyak korbannya."
"Iya, dan salah satu korbannya adalah keluarga itu," kata Bhante.