Kisah nyata ini tentang seorang malaikat yang dan dikisahkan oleh suaminya sendiri saat berkunjung ke kantorku pada tahun 2005.
Kita sebut saja Namanya pak Tobat. Dia adalah salah satu pemasok barang bagi perusahaanku. Hubungan bisnis dengan pak Tobat terjalin sudah cukup lama. Saya dan dirinya juga sudah sangat akrab, hingga Pak Tobat sudah menganggap aku bagai anaknya sendiri.
Pak Tobat orangnya bijaksana. Ia sekaligus menjadi saksi mata melihat kelakuan istriku dengan jurus mautnya:Â "gue gak mau tahu."
Bukan sekali dua kali ia tahu jika hubungan dengan istriku sedang renggang. Berbagai nasehat sudah ia berikan, namun hatiku yang keras tetap tidak pernah tergugah.
Hingga akhirnya ia pun berkata, "mohon maaf ya John, saya tidak bermaksud mengguruimu, tapi biarkanlah diriku menceritakan sekelumit rahasia hidupku yang kelam."
Aku cuma diam, menyimak kata -- katanya. Dan sedetik kemudian, kisah hidupnya mengalir deras dari mulutnya, tanpa kuminta.
**
Pak Tobat berasal dari keluarga menengah bawah, begitu juga dengan sang isteri. Saat mereka menikah di tahun 1980an keadaan mereka terbilang sederhana, namun sang isteri mampu menerima keadaan pak Tobat apa adanya sebagai komitmen ikrar perkawinan yang telah mereka ucapkan bersama.
Saat itu pak Tobat bekerja sebagai sales di sebuah toko sparepart mobil. Dikarenakan upah yang dia terima tidak terlalu besar, maka dia sering mencari usaha sampingan untuk menambah pendapatan bagi dapur rumah tangganya.
Suatu ketika, dia diajak oleh temannya ke tempat perjudian di sebuah komplek pelacuran yang ada di bagian kota kami. Ternyata keberuntungan sedang berpihak pada dirinya, sehingga dia menang dalam perjudian tersebut.
Dia pulang dengan hati senang membawa uang hasil kemenangannya, yang dia berikan kepada sang isteri untuk mengepulkan dapur mereka.
Dikarenakan sering menang diperjudian, pak Tobat menjadi ketagihan judi yang menyebabkan dia "lupa daratan". Dia sering tidak pulang ke rumahnya, dan bermalam di komplek pelacuran agar bisa bermain judi sepuas hatinya. Pulang hanya untuk menyetorkan uang dapur ke isterinya selanjutnya kembali lagi ke tempat perjudian.
Lama kelamaan, sang istri tidak tahan lagi. Ia pun sering bertanya dan menegur Pak Tobat, atas kebiasaanya yang sering tidak pulang ke rumah.
Karena sudah ketagihan, dan merasakan enaknya berjudi, Pak Tobat pun sering berbohong. Ia berkilah harus keluar kota untuk menawarkan barang dagangannya ke pelanggan--pelanggan baru dan membina hubungan baik dengan relasi bisnisnya.
Pada masa "keemasannya" di dunia perjudian, pak Tobat sudah dikarunia 3 orang anak  (yang sulung perempuan, yang ke 2 dan 3 laki--laki)
Syahdan bukan hanya istrinya, anak-anaknya yang sudah mulai mengerti pun sering menanyakan dirinya saat tidak ada di rumah.
Bila isterinya menegur kelakuannya, pak Tobat dengan pongah dan galak sering mengancam untuk menceraikannya. Beruntungnya pak Tobat tidak pernah melakukan tindakan KDRT terhadap isterinya.
Tinggallah sang isteri yang cuma bisa menangis, meratapi nasib dirinya dan anak- anaknya.
Sang isteri tidak pernah menceritakan kelakuan buruk sang suami ke keluarganya maupun keluarga pak Tobat. Bila ditanya oleh pihak keluarga, sang isteri seringkali menutupi keadaan rumah tangga mereka.
Dia tidak mau keluarga-keluarganya mengetahui keadaan sebenarnya. Dia menerima "semua cobaan" tersebut dan selalu berdoa semoga suaminya sadar, dan bisa menjadi panutan yang baik untuk keluarga dan anak-anak  mereka.
Lama-kelamaan, keberuntungan pak Tobat mulai berpaling, dia sering menderita kekalahan yang membuat dirinya kekurangan "penghasilan." Setoran uang dapur ke isterinya pun berkurang, sementara kebutuhan keluarga kian meningkat.
Untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya, sang isteri berusaha mencari tambahan dengan berdagang dan menerima laundry pakaian dari para tetangga. Ia dibantu oleh puteri sulungnya dan anak keduanya yang tidak tega melihat sang ibu yang bekerja keras. Mereka mulai sadar jika sudah tidak bisa lagi mengharapkan sang ayah yang kurang bertanggung jawab.
Dikarenakan sering menderita kekalahan dan juga sering ada razia, akhirnya pak Tobat pun berhenti berjudi.
Pada akhirnya pak Tobat bisa tinggal di rumah setiap hari, dengan bekerja serabutan karena dia sudah keluar dari tempatnya bekerja akibat kemelekatannya pada perjudian. Ia menganggap jika hasil dari kantornya tidak seberapa jika dibandingkan dengan uang dari hasil perjudian.
Pak Tobat seringkali termenung, menyesali kelakuan dirinya dan juga malu terhadap isteri dan anak-anaknya yang berjuang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Anak sulungnya memutuskan bekerja untuk membantu sang ibu selepas tamat SMA.
Anak keduanya, juga bekerja sambilan selepas sekolah demi menghidupi keluarga.
Namun, dengan semua yang telah terjadi, sang isteri tidak pernah dendam kepada pak Tobat. Dia tetap setia melayani suaminya dengan sebaik-baiknya.
Namun, tidak demikian adanya dengan anak-anak mereka. Si sulung dan si anak kedua
sudah tidak lagi memandang pak Tobat selayaknya orang tua. Di dalam hatinya, mereka hanya punya ibu saja. Mereka dendam kepada ayah kandung mereka sendiri.
Pak Tobat yang tahu sikap kedua anaknya, menerima dengan ikhlas semua perlakuan yang ia terima akibat kelakuan buruknya. Hanya anak bungsunya saja yang masih bersikap baik padanya.
Itupun karena si bungsu tidak pernah merasakan derita akibat kelakuan buruk sang ayah, karena saat itu dia masih terlalu kecil.
Sikap buruk kedua anak pak Tobat akhirnya sampai pada puncaknya. Mereka muak melihat ayahnya sendiri yang terlihat bagai pecundang di rumah. Sebagai seorang tua yang tidak bisa memberikan nafkah untuk keluarga. Hingga akhirnya mereka berdua pun mengusir pak Tobat dari rumah.
Pak Tobat tidak melawan ataupun marah, dia bisa menerima semua kelakuan anak-anaknya sebagai bentuk penyesalan dirinya. Ia merasa tidak lagi pantas menjadi kepala keluarga, tidak layak menjadi ayah yang baik, tidak becus menjadi panutan, apalagi kebanggaan keluarga.
Dengan lesu pak Tobat mengemasi pakaian seadanya. Dia berpesan kepada anak- anaknya untuk menjaga ibu mereka dengan sebaik-baiknya. Dirinya juga meminta maaf atas kelakuannya selama ini yang telah membuat mereka menderita.
Sementara si bungsu cuma terdiam, tidak mengerti apa yang telah terjadi.
Saat pak Tobat beranjak dari rumahnya, dia berpapasan dengan isterinya yang baru pulang berbelanja dari pasar. Sang isteri dengan wajah keheranan bertanya kepada Pak Tobat, mau kemanakah dirinya?
Pak Tobat menyatakan, bahwa dia ingin pergi meninggalkan rumah selamanya. Dia malu kepada anak isteri atas kelakuan buruknya selama ini. Dia serahkan rumah tersebut untuk isteri dan anak-anaknya.
Sang isteri kaget bukan kepalang mendengar perkataan pak Tobat dan membawa dirinya kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, sang isteri menanyakan apa yang telah terjadi kepada kedua anaknya, si sulung dan si tengah.
Kedua anaknya dengan gamblang menceritakan semuanya dan mengakui bahwa mereka berdua yang mengusir ayah mereka.
Sang isteri marah besar kepada kedua anaknya itu, dan menyuruh mereka segera berlutut memohon ampun pada pak Tobat.
Namun kedua anaknya bersikeras bahwa apa yang mereka lakukan adalah akibat dari kelakuan buruk sang ayah sendiri yang selama ini yang telah membuat ibu dan diri mereka menderita.
Mereka menolak perintah sang ibu untuk berlutut memohon ampun.
Pak Tobat menyabarkan isterinya dan berkata bahwa apa yang dilakukan kedua anak mereka sudah layak. Dia pantas menerimanya sebagai hukuman. Ia adalah penyebab penderitaan anak-anak sedari kecil hingga kini.
Pak Tobat malu pada isteri dan anak-anaknya juga dirinya sendiri.
Pak Tobat memohon maaf dan ampun pada isteri dan anak-anaknya atas apa yang telah terjadi selama ini, meskipun dia juga tidak berusaha mengubah keputusan anak-anaknya.
Membaca situasi yang tidak bisa berubah, akhirnya sang isteri mengambil tindakan yang mengejutkan. Ia masuk ke dalam kamar dan mengemasi pakaiannya.
Sang isteri lantas keluar menemui anak-anaknya sambil berkata; "Anakku, kalian semua sudah tidak mau mendengar kata -- kata ibu, jadi izinkanlah ibu untuk mengambil keputusan sendiri."
"Baiklah, ibu menyerahkan rumah ini pada kalian, ibu mau ikut dengan suami ibu kemanapun dia pergi. Jaga adikmu yang masih kecil itu dengan baik."
Sontak saja si sulung dan si tengah menangis, mereka berlarian langsung memeluk kaki sang ibu untuk tidak pergi meninggalkan mereka semua.
Mereka memohon ampun pada ibu mereka, namun sang ibu tetap pada pendiriannya untuk pergi dari rumah menemani pak Tobat, kemanapun sang suami pergi.
Pak Tobat pun terkejut dengan keputusan istrinya. Ia memintanya untuk mengurungkan niatnya untuk pergi bersamanya dari rumah, dan tidak membela dirinya yang hina.
Sang isteri berkata kepada pak Tobat: "Aku isterimu, yang telah berikrar di saat perkawinan kita dahulu, untuk tetap setia padamu. Hingga saat ini kubuktikan ucapanku itu kepadamu sebagai bentuk kesetiaanku. Aku tidak pernah mengeluh atas perbuatan buruk yang pernah kamu lakukan padaku dan kepad anak-anak kita."
Makin remuklah dada pak Tobat mendengar ucapan isterinya itu.
Sekali lagi, dengan tegas sang ibu memerintahkan si sulung dan si tengah untuk berlutut di hadapan pak Tobat dan memohon ampun atas kekurang ajaran mereka berdua.
Sang anak, karena takut kehilangan ibu yang mereka cintai, menuruti perintah sang ibu.
Si bungsu yang tidak tahu apa -- apa ikut berlutut dihadapan sang ayah, pak Tobat.
Ternyata,,, Â Keberuntungan masih berpihak pada pak Tobat sekeluarga.
Bagai mendapatkan energi baru, usaha pak Tobat mencari pekerjaan baru membuahkan hasil. Dia akhirnya bisa berwiraswasta sehingga perekonomian keluarga bisa dia tunjang kembali.
Sang isteri tidak perlu bersusah payah lagi mencari nafkah tambahan. Anak-anak mereka bisa melanjukan pendidikan mereka hingga ke perguruan tinggi.
Bukti perubahan ini sungguhlah dahsyat, anak-anak pak Tobat akhirnya bisa dengan tulus memaafkan perbuatan buruk dirinya.
Di akhir cerita, pak Tobat merasakan ada keanehan yg terjadi pada dirinya.
Bila dahulu ia sering mengancam untuk menceraikan sang isteri, namun sejak peristiwa pengusiran dirinya hingga kini, pak Tobat-lah yang sering ketakutan ditinggal oleh sang isteri tercinta.
Dia takut kehilangan "harta yang paling berharga dalam hidupnya" karena dia telah mengetahui dengan jelas sifat, watak, karakter dan kedewasaan pemikiran sang istri. Berkomitmen tinggi pada ikrar perkawinan mereka.
Setelah mendengar kisah tersebut, aku tersadar. Menjadikan hidup sebagai yang terbaik dengan berusaha dengan sekuat tenaga untuk tetap menjalankan komitmen ikrar perkawinan kami. Apa pun yang terjadi.
Semoga kisah ini bisa membawa manfaat untuk para pembaca sekalian.
**
Jakarta, 23 Januari 2022
Penulis: Johny Hanjaya untuk Grup Penulis Mettasik
Â
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI