Sabtu pagi ini aku berangkat dengan suasana hati yang dongkol, saat harus mengirim dua belas ekor ayam yang telah dipesan Haji Basri dua hari lalu. Pasalnya, motor yang baru kubeli dua bulan lalu dipakai oleh temanku, Heri, hingga dini hari tadi.
Motor ini kubeli dengan jerih payah membangun peternakan ayam sejak setahun silam. Jika sebelumnya hanya bisa menunggu tengkulak datang, kini dengan motor empat tak ini aku bisa mengirim ayam pedaging dan telur langsung hingga ke tangan pembeli.
Heri baru saja mengembalikan motor pukul empat dini hari tadi dengan alasan rumah pacarnya jauh di Maumere. Kami yang tinggal di Bajawa memang butuh waktu sampai enam jam perjalanan darat ke sana, tetapi menurutku ia sudah tidak menepati janjinya karena seharusnya motor dikembalikan kemarin seusai Maghrib.
Sambil menghela nafas, kuikat setiap kaki dua ekor ayam dalam satu ikatan kecil menggunakan tali rafia hingga menjadi enam kelompok. Lalu tiga kelompok kuikat lagi dengan tali yang lebih panjang, sekalian dengan bagian sayapnya agar tidak berontak.
Jadilah masing-masing enam ekor ayam kuletakkan di samping kanan dan kiri motorku. Kupastikan rendahnya ikatan tidak sampai ke ruji roda belakang, dan setelah pas tinggal kutali mati dengan jok dan gagang belakang motor agar selusin ekor ayam ini tidak bisa bergerak kemana-mana.
"Haris! Jangan lupa bawa uang kembaliannya!"
"Iya, Bu. Sudah kusiapkan di kantong," sahutku mendengar ocehan Ibu yang setiap berangkat kirim selalu saja meneriakkan hal yang yang sama.
Satu ekor ayam kujuan dengan harga Rp. 70.000,- dan akhir pekan ini aku bisa sedikit lega dengan penghasilan Rp. 840.000,- dari pembelian Haji Basri.
Sosok yang Tak Bisa Kurindukan
Perjalanan ke rumah Haji Basri menempuh sekitar tiga puluh menit perjalanan. Beliau dulu adalah tetangga sebelah rumah, namun tiga tahun terakhir sudah pindah ke daerah kota karena mempunyai usaha Warung Makan Khas Jawa.
Di Bajawa, Flores, Nusa Tenggara Timur, banyak transmigran dari Jawa yang lebih berani membuka usaha semacam itu. Kami penduduk lokal tahunya hanya memproduksi saja, karena takut mengambil resiko.
Jika ayam hidup bisa bertahan tahunan menunggu pembeli, maka kami pikir sangat beresiko menunggu sehari untuk mencari pembeli ayam goreng. Namun itulah dinamika, paling tidak Haji Basri yang sudah menganggapku sebagai cucu sendiri, bisa membuat peternakan ayamku laku setiap minggunya.
Dua puluh tahun lalu ketika aku lahir, Haji Basri dan almarhumah istrinya bagaikan kakek-nenek kandungku. Meskipun kami berbeda keyakinan, Haji Basri yang tidak dikaruniai seorang anakpun mau untuk bermain denganku yang anak tunggal ini.Â
Ia sudah paham susahnya hidup tanpa keturunan, namun belas kasihannya kepada Ibuku yang ditinggal kabur Ayah usai tiga bulan kelahiranku, dirasanya lebih besar cobaannya. Pasalnya, Ibu juga merupakan anak yang terlahir dari nenekku yang tanpa suami. Ibu sering bercerita bahwa kakekku adalah orang asli daerah Bajawa sini.
Ibu sudah berusaha mencari-cari kakekku, atau ayah kandungnya, selama belasan tahun namun belum juga bisa menemukan. Hanya nama saja yang diceritakan almarhumah nenek kepada ibu, yakni Obi Mite.
Karena nama di Flores kebanyakan merupakan singkatan ataupun bisa jadi nama lain, hanya Mite saja yang bisa menjadi patokan Ibu untuk mencari keluarga sedarahnya. Sedangkan nama Obi bisa menafsirkan banyak nama, Robertus, Robianus, Tobias, Norbertus, dan lain-lain.
Sebenarnya bisa saja kami da Haji Basri menjadi keluarga jika beliau mengadopsi keluarga kami, namun pernah dalam perbincangan Haji Basri dengan Ibu aku mendengar, "kelak kalian akan menemukan keluarga yang lain."
Entah apa maknanya, tetapi kalimat itu tetap kuyakini sampai sekarang.
"Kakek! Haji Basri!"
"Eee, iya! Taruh saja di belakang kandang, Nak! Setelah itu mari duduk di meja depan!"
Kulihat Haji Basri dan dua karyawannya masih sibuk menyiapkan makanan dan minuman kepada belasan orang di dalam Warung Makan Khas Jawa.
Setelah melepaskan semua ikatan ayam pedaging betina dan meletakkannya di kandang belakang, aku segera mencuci tangan di wastafel belakang. Sedikit berdoa mengucap syukur, aku lihat lagi selusin ayam tadi dan berdoa dalam hati, "terima kasih sudah jadi sumber penghasilanku e, manu." (Manu dalam bahasa Flores artinya ayam.)
Setelah lima menit, Haji Basri akhirnya menghampiriku di salah satu meja ujung depan warung.
"Ini Es Jeruk buat Kamu, Nak."
"Terima kasih, Kek."
"Berapa totalnya?"
"Delapan ratus empat puluh ribu, Kek."
"Ini Sembilan ratus ribu, sudah simpan saja uangnya buat beli anakan ayam lagi."
"Eee, terima kasih e, Kakek."
"Bagaimana Ibumu? Sehat-sehat saja kan?"
Pertanyaan Haji Basri seperti tahu sesuatu yang terjadi dengan ibuku. Pagi tadi memang Ibu sedikit curhat bahwa ia bermimpi kedatangan seekor anak anjing di depan pintu. Ibu tidak sakit, tetai ia sedikit kalut dalam mimpi yang terlihat nyata tersebut.
"Sehat-sehat saja, Kek. Ibu ada titip salam buat Haji Basri."
"Baik kalau begitu salam balik. Mungki Malam Natal nanti saya ke rumah. Bilang saja tidak usah masak besar, saya hanya datang sendiri."
"Terima kasih banyak. Kek, sudah berkenan mau singgah. Pasti bulan depan Haji Basri jadi tamu terbesar kami."
Akhirnya setelah perincangan singkat sambil menyesap Es Jeruk segar, akupun berpamitan dengan Haji Basri. Tak lupa kuberikan ciuman hormat ke tangan kanannya. Dalam hati aku berpikir, "jikalau mimpi Ibu jadi pertanda, biarlah Haji Basri yang mau datang mengadopsi kami sebagai keluarganya."
Haji Basri adalah sosok kakek yang tidak bisa kurindukan.
Moyang Memanggil, Alam Membantu Berbisik
Perasaan dongkol pagi tadi berubah menjadi riang saat uang sembilan ratus ribu berhasil kukantongi dari penjualan ayam ke Haji Basri. Aku segera kembali ke rumah dan dalam perjalanan kupikirkan akan memberikan seratus ribu kepada Ibu.
HARIS.....
Tiba-tiba terdengung namaku dipanggil seseorang dalam alunan angin yang menerpa wajahku. Motor tetap saja kulajukan, sambil menoleh ke kanan dan kiri. Anehnya, di sepanjang jalan Trans Ende-Bajawa ini tidak ada seorangpun yang berada di tepi jalan.
Sekarang juga masih pukul sembilan pagi, jadi kurasa setan mana yang mau menggangguku?
TRETTT.... TRETT....TRRR.....TRRRR...TRR.. TT..
Tiba-tiba saja motorku mogok dan tidak mau digeber. Aku segera menepi di sebelah kiri lalu kusandar tengah motor empat tak ini.Â
"Sialan, ini pasti gara-gara Heri", kesalku.
Bensin kulihat masih setengah tangki sesuai terakhir kali dipinjam Heri. Kalau masalah busi, tadi lancar-lancar saja dalam perjalanan pergi ke Kota Bajawa. Lalu apa yang membuat motor keluaran tiga tahun lalu ini mendadak mogok?
Setelah berulang kali kunyalakan lagi mesin menggunakan starter kaki, masih juga belum bisa membuat motor ini menyala. Mencoba mengecek lampu depan, kulihat seharusnya ada arus listrik yang mengalir karena lampu depan terlihat menyala saat kustarter.
"Bengkel motor masih jauh dari sini, apa aku pinjam aki warga sini dulu ya," kataku sambil menengok memutar ke sekeliling.
Ketika menghadap belakang, kurasakan angin tiba-tiba bertiup ke seluruh tubuhku. Sejuk sekaligus menghangatkan. Pandanganku langsung tertuju pada dua makam di depan rumah yang berada tepat di posisiku berhenti.
(Rumah di daerah Jalan Provinsi Flores memang banyak yang berada setingkat di bawah jalan. Tidak akan terjadi banjir, karena resapan tanah di sekitarnya sangat besar sekali. Sekedar diketahui, warga beragama Katolik di Flores masih banyak yang mengubur keluarga di halaman depan rumah bertahun-tahun yang lalu, sebelum pemerintah menyarankan penggunaan Makam Umum.)
Mataku lama memandang dua makam berkeramik tersebut. Sebelah kiri berwarna hijau sedang yang kanan berwarna biru muda. Langsung aku paham, bahwa kedua kakek-nenek ini meninggal dengan jarak cukup lama sehingga tidak dipersiapkan keramik yang berwarna sama.
HARIS.....
Panggilan itu datang lagi, dan kali ini aku tahu sumbernya dari makam berwarna hijau di bawahku. Tidak memperdulikan lagi motor yang tengah mogok, aku mengambil kunci kontak dan segera menuruni jalan setapak ke rumah sederhana ini.
Setiap langkah aku hanya memandang makam berwarna hijau. Pikiranku bukannya kosong, tetapi terlalu fokus. Panggilan itu sudah tidak ada lagi, tetapi aku tahu sumbernya pasti dari makam berwarna hijau ini.
Tanganku dengan sendirinya menggosok membersihkan keramik makam. Namun aku masih punya sedikit tanya, siapa gerangan almarhum yang ada di sini, sebab papan nisan terlihat sudah lepas dari tempatnya.
Aku memutuskan untuk berdoa, memanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dua almarhum diberikan tempat terbaik di sisiNya. Dan yang pasti, menanyakan padaNya apa arti semua ini?
Langkah kaki kudengar di pintu rumah di tengah doaku. Akupun langsung tersadar, mungkin aku dirasa lancang berdoa di makam nenek moyang keluarga ini. Kupercepat doaku, dan segera kusentuh lembut keramik hijau ini sekali lagi.
"Ada yang bisa dibantu, Nak?" suara mendamaikan seorang wanita paruh baya terdengar di balik telingaku.
"Oh. Maaf Bibi. Motor saya mogok di atas. Tiba-tiba saja saya terpanggil suara untuk berdoa di makam ini. Jangan marah eee."
"Tidak apa-apa. Kami bersyukur ada yang berdoa kepada nenek moyang kami. Namamu siapa, Nak?"
"Haris.. Haris Tule."
"Astaga. Nama nenek kamu siapa?"
Akupun bingung karena Bibi ini langsung melompat bertanya nama nenekku alih-alih menanyakan nama Ibu ataupun Ayahku yang pengecut itu.
"Eee.. Magdalena Tule. Memang kenapa ee, Bibi?"
"Tuhan Yesus!! Kamu tidak tahu berdoa di makam siapa?"
"Tidak Bibi, motor saya tiba-tiba mogok di atas dan saya terpanggil oleh makam berwarna hijau ini saja."
"Sebentar Bibi ambilkan nisan-nya, sudah lepas dari setahun lalu."
Setelah semenit menunggu di depan pintu, aku melihat Bibi membawa nisan berwarna hitam dalam pelukannya. Ia pun bertanya sesuatu yang menggetarkan tubuhku.
"Siapa nama kakekmu?"
Karena dari pihak Ayah tidak pernah diceritakan silisilahnya oleh ibu, maka aku hanya punya satu jawaban.
"Obi Mite."
Dibaliklah nisan dalam dekapan Bibi tersebut, tepat bersamaan muncullah seorang anak wanita Bibi yang berusia sekitar sepuluh tahun di belakangnya. Dalam nisan tersebut tertulis ANSELMUS MITE.
"Nak, Obi itu nama panggilan Kakek Ansel karena ia sering sakit sewaktu kecil. Hanya teman dan kerabat saja yang tahu bahwa Kakek mempunyai nama panggilan Obi Mite."
"Ya, Tuhan. Inilah arti mimpi Ibu dan panggilan di desiran angin tadi. Berarti kita sedarah e, Bibi?"
"Iya Haris. Sebelum nenek meninggal lima tahun lalu, beliau bercerita bahwa Kakek pernah punya anak perempuan dengan wanita lain dari daerah Bajawa ini. Kakek hanya sebut namanya Lena Tule. Kita satu darah dari Kakek Obi Mite, Nak!"
Seketika air mata turun dari pelupuk mataku dan segera memeluk Bibi yang akhirnya kukenal sebagai Bibi Rina ini.
Sebulan berselang saat Malam Natal, kami berkumpul lagi di rumah Bibi Rina dan Om Patris tempat motorku mogok saat mengirim selusin ayam ke Haji Basri. Kami melakukan ramah tamah keluarga besar cucu Kakek Obi Mite.Â
Memang sedikit canggung, tetapi aku dan Ibu sangat bahagia karena akhirnya mempunyai keluarga sedarah dalam merayakan malam kelahiran Tuhan Yesus.
TOK... TOK.... TOK
Pandangan kami teralihkan oleh tamu di depan pintu. Haji Basri dengan senyum merekah memelukku dan berkata, "tuh kan, apa kata Kakek. Waktu pasti mempertemukanmu dengan keluarga sedarah kalian."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H