Mohon tunggu...
Greg Satria
Greg Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - FOOTBALL ENTHUSIAST. Tulisan lain bisa dibaca di https://www.kliksaja.id/author/33343/Greg-Satria

Learn Anything, Expect Nothing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mbah, Akhirnya Aku Melihat Senja

23 Juli 2024   11:32 Diperbarui: 24 Juli 2024   12:59 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Matahari terbenam sempurna di atas lautan dilihat dari Bukit Paralayang Watugupit, Minggu (19/1/2020).(KOMPAS.com/ANGGARA WIKAN PRASETYA

Kriiiiinnnnggggggg!!!

Jam wekerku berbunyi kencang tepat pukul tujuh pagi, mengakhiri sebuah mimpi yang penuh tanya. 

Tidak ada ngos-ngosan seperti biasanya aku kelindihan pada mayoritas tidurku, karena kali ini jelas kuingat sebuah pesan dari almarhum kakekku, "Lihatlah Senja".

Sebab hari ini tidak ada kelas, aku putuskan memanggil kembali memori mimpi semalam dalam desapan kopi panas. Semua terasa nyata, dan tidak seperti mimpi yang kebanyakan orang bisa lupa, aku mengingat momen indah bersama kakekku di dunia fana itu secara jelas.

Kami berdua berboncengan "sepeda kebo" di sebuah jalan persawahan tanpa ujung. Kuingat jelas punggungnya ada di depanku, berarti aku yang masih kecil tengah diboncengnya.

"Le, besok kalau sudah besar jangan lupa selalu susuri jalan ini."

"Kenapa, Mbah?"

"Ketika jalan dikota sudah halus aspal dan beton, kamu tidak lupa dengan jalan berpasir dan berkerikil ini."

Lalu kakek berhenti mengayuh sepedanya, mengarahkan telunjuk kirinya ke sebuah pemandangan indah di sore itu.

"Embah tahu kamu pasti akan punya masalah suatu saat. Masalah berat. Embah cuma minta kamu lihat itu, Senja. Saat matahari usai jalankan tugasnya menerangi bumi. Lihatlah Senja."

Kebetulan aku memang sedang mengalami masalah keluarga yang berat di semester akhir kuliahku ini. Pergumulanku kusimpan rapat, tanpa ibu tahu, apalagi adikku, Si Sumber Masalah.

Kebetulan hari ini adalah hari Jumat, jadi aku bulatkan tekad sore nanti untuk melihat senja seperti yang diperintahkan kakekku. 

Tapi dimana? Masa aku harus ke Pantai Kenjeran? Atau kalau mau lebih bagus, apakah aku harus bersepeda motor empat jam ke Malang utara?

Ah, malas juga kupikir kalau harus lakukan itu semua demi sebuah mimpi. Akupun segera membuka ponsel pintar untuk mencari "spot sunset" terdekat dari jangkauanku.

Lalu kulihat ada sebuah panorama menarik yang berada di Surabaya Barat. Mengambil frame sebuah jalan dengan lalu lalang kendaraan bermotor, Jalan Raya Lontar ini bisa berujung dengan jelas ke matahari jingga besar yang sedang turun ke belahan bumi bagian barat.

Aku lihat bahwa gambar di Instagram ini baru diunggah tiga hari lalu oleh sang pemilik akun, jadi kondisi sore ini sepetinya tidak akan jauh berbeda.

Ku screenshoot gambar itu, kemudian mencubitnya untuk mengukur besarnya matahari jingga bulat sempurna tanpa adanya gangguan gumpalan awal. Posisi nya secara luar biasa, tepat di ujung Jalan Raya Lontar yang kebetulan pula sedang menanjak.

Di sebelah kiri, ada tiang listrik tinggi besar menjadi framing indah dengan untaian kabelnya. Sementara di sisi kanan, ada Masjid Baitul Muttaqin yang berwarna gelap, korban backlight pencahayaan Sang Surya.

Hanya ada dua mobil dan dua motor, yang masing-masing saling berpapasan di jalan selebar kurang lebih enam meter tersebut. Di koridor jalan ada beberapa orang yang berjalan menunaikan hajatnya masing-masing.

Dua diantaranya cukup menyita perhatianku. Ada gadis kecil yang hendak menyeberang jalan dari sisi kiri ke kanan, melambaikan tangan untuk berharap pengendara motor memelankan lajunya. Sementara tangan yang lain, tampak erat mencengkeram bocah laki-laki yang dari postur tampak lebih besar. Keduanya berseragam Sekolah Dasar.

Akhirnya tiba pukul lima sore, dan aku berkendara hanya lima menit menuju spot foto Sunset itu diambil, yakni sebuah Pom Bensin besar di Jalan Raya Lontar, Surabaya.

Ku sandar tengah motor Yamaha Vixion kesayanganku, lalu aku duduk di atasnya. Karena bukan perokok, aku jadi mati gaya menanti menit-menit senja yang menghiasi Kota Pahlawan ini.

Lima menit aku perhatikan matahari mulai turun ke ufuk barat. Sepertinya posisi ini sama persis dengan foto yang sudah ku sreenshoot tadi.

Ingin membuktikan teoriku ini benar, padahal hanya benar-benar gabut saja sih, kubuka lagi ponsel pintarku untuk membuktikan komparasi dua panorama ini. Ternyata, voila! 

Persis sekali! Terutama ada dua anak yang hendak menyeberang jalan dari sisi kiri ke sisi kanan. Atau dari selatan ke arah utara. Luar biasa, pikirku.

TIIIINNNNNNN!! TIIIINNNN! BRAKKKKK!!!!

Seketika pandanganku dari layar ponsel teralihkan ke panorama dunia nyata. Kerumunan orang kini menyerbu tengah jalan, hendak memberikan pertolongan. Pandanganku tertutup dua mobil yang mendadak berhenti di tengah jalan.

"Dua anak kecil tadi." itulah pikirku sembari berlari ke tempat kejadian secara membabi buta.

Pundak dua orang aku sisihkan untuk membuat jalanku terbuka.

"Syukurlah!" kulihat dua anak tadi saling berpelukan, meringkuk di jalan. Mereka tidak terluka sedikitpun.

"Anak kurang ajar! Sudah tahu masih kecil, nyeberang jalan sembarangan!" teriak satu bapak dengan menggunakan helm yang berjalan terpincang. Sepertinya motor bapak ini yang jatuh tadi.

"Bapak jangan asal bicara? Dua anak ini tiap hari menyeberang jalan dengan santun. Sampean saja yang saya lihat ngebut tadi!" Sembur ibu penjual gorengan yang pasang badan di depan dua anak yang masih meringkuk.

Aku memang punya sifat proaktif dalam setiap kondisi. Maka dengan refleks, dua tanganku menarik masing-masing lengan kedua anak itu untuk kupinggirkan dari situasi chaos. 

Beruntungnya, dari celotehan berjamaah yang kudengar, terbukti dua anak ini tidak bersalah Pengemudi itulah yang menanggung akibat gaya nyetir kebut-kebutannya.

Tepat di samping jalan, ada minimarket yang menyediakan tempat duduk dengan meja bundar. Aku menyuruh mereka duduk dahulu disana sembari memberi isyarat menunggu untuk kubelikan minuman dingin.

"Ini, Dik. Kalian minum dulu."

Gadis itu, yang lebih kecil, menerima dengan gemetar sodoran minuman dariku. Sementara bocah yang lebih besar, tampak salah mengarahkan tangannya dari sodoran botolku. Ia buta.

"Oh ini, Dik. Sekalian kakak buka, ya." 

Jantungku berdetak cepat melihat kondisi ini. Asumsiku menjadi jelas, si gadis itu adalah adik dari anak laki-laki yang tunanetra ini.

"Kalian kakak adik, ya?"

"Iya, Mas." jawab sang kakak ingin ambil alih posisi kedewasaan di momen ini.

"Tiap hari memang menyeberang jalan Lontar?"

"Iya, Mas. Aku sama adik sekolah di SDN 45. Rumah kami ada di belakang masjid."

"Orang tua kalian tidak antar jemput?"

"Ibu kerja di pabrik, pulang jam tujuh malam. Kalau Bapak, sudah meninggal tahun lalu."

"Innalillahi. Kakak ikut berduka cita ya adik-adik. Ehmm.. Adik-adik tapi tahu kan, kalau nyeberang Jalan Lontar tadi agak berbahaya?"

"Iya Mas. Awalnya banyak yang bantu kok. Tapi lama kelamaan mereka tahu kalau Adik bisa menyeberang jalan dengan aman. Jadinya terbiasa. Tadi mungkin Bapak itu saja yang ngebut."

"Iya kamu benar, Dik. Tuh Bapaknya sudah pergi. Mungkin dia tahu kalau dia yang salah."

Semua pertanyaanku ini dijawab dengan lantang oleh anak lelaki yang pandangannya tidak lurus ke arahku. Sementara aku melihat, sang adik, yang berusia kira-kira kelas tiga SD masih agak syok sambil meminum air yang kuberikan.

"Adik-adik habiskan minumannya dulu, ya. Kakak ambil motor di Pom Bensin depan, setelah itu kembali untuk antar kalian jalan ke rumah."

"Oke Mas. Terimakasih." Masih tak ada satu patahpun dari anak gadis itu.

Aku beranjak dari kursi, namun ada satu panggilan untuk mendengar suara gadis itu walau singkat saja.

"O iya, nama kalian siapa?"

"Aku Ilham, Mas. Kalau.."

"Kalau adik?"

"Namaku Senja."

Usai mengantar Senja dan kakaknya pulang, aku langsung berkemudi dengan tetesan air mata membasahi pipi.

Senja dan Ilham hidup sendiri dengan ibunya yang hanya seorang buruh pabrik. Setiap hari mereka selalu berpegangan tangan untuk berangkat dan pulang sekolah. Senja bertugas menyeberangkan mereka karena kakaknya yang tidak bisa melihat. Tanpa pamrih, penuh kasih sayang.

Sementara aku yang sudah sedewasa ini, belum bisa memberikan kasih sayang serupa kepada adikku yang tertimpa musibah. Aku malah marah di saat ia mendapatkan prahara besar seminggu lalu. Ibuku sendiri yang harus menanggung semua masalah itu. 

Tidak, aku salah. Bagaimanapun dia adalah adikku.

Sampai rumah, aku bergegas memarkir motorku. Aku berlari secepat kilat, mencari dimana adikku Naufal berada. Aku peluk dia erat-erat sambil menangis.

"Fal, maafin kakak. Aku setuju kamu menikah dengan Indah. Anak dalam rahim Indah juga merupakan keponakan Kakak nantinya. Aku merestui hubungan kalian. Kakak mau jadi wali nikahmu nanti."

Sebuah kalimat yang tak terbalas dengan kalimat lainnya dari adik dan ibuku. Hanya pelukan erat di antara kami bertiga menjadi penegas hubungan keluarga. 

Tiada aib seperti yang kusangka kan, sama seperti Ilham yang tak bisa melihat. Senja telah memberiku pelajaran terbaik dalam hidup.

"Mbah, akhirnya aku telah melihat Senja."

Karya : 

Greg Satria 

Foto.dokpri
Foto.dokpri

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun