Ibu adalah sebutan sakti yang disematkan pada wanita yang melahirkan anak-anaknya. Dalam perumpamaan sastra tertinggi, ibu diandaikan seorang bidadari tanpa sayap yang selalu mengiringi fisik dan pikiran mereka. Mau tahu seperti apa ibuku.
"Julie, please sayang. Ibu tahu ini hari minggu, tapi tidak boleh terus-menerus mendaratkan tubuhmu di ranjang." Ibu menghambur masuk ke dalam kamarku dengan celotehannya yang mulai terdengar melebihi jam weker.
Setiap pagi selalu begitu, tidak peduli hari senin, selasa, atau bahkan hari minggu. Beliau akan membangunkan sambil menarik paksa selimut yang menjadi tempat nyaman menina bobokan anak gadisnya ini. Beliau tidak ingin aku terbaring lebih dari delapan jam di tempat tidur. Menurutnya tidur terlalu banyak kurang baik buat kesehatan.
"Julie, kau harus sarapan cukup. Jangan cuma minum teh saja, tubuhmu itu anemia, gampang kurang darah."
"Julie, warna pakaianmu jangan terlalu terang. Nanti bisa menarik perhatian orang, anak perempuan itu, lebih cocok memakai baju yang bewarna kalem-kalem saja."
Aku memang anak satu-satunya dalam keluarga dan ibu selalu bersemangat menggaduhi seluruh hidupku. Setelah ayah meninggal dalam kecelakaan, ibu mulai bersikap protektif.
Aku tidak menyalahkan beliau, tapi bukankah sekarang anaknya ini sudah besar dan memakai baju SMA? Sudah berada di kelas  dua, saatnya melakukan sendiri apa yang diinginkan, bukan malah terbelenggu karena diatur oleh Ibuku sendiri.
"Bisa kau bayangkan, betapa tersiksanya selama 16 tahun tinggal bersama Ibuku sendiri?" tanyaku pada Beni. Aku berceloteh panjang dengan curhatan yang tanpa titik koma.
Laki-laki ini adalah teman seperjalananku saat bel pulang sekolah telah berteriak panjang. Kami ditingkat yang sama, tapi di kelas yang berbeda. Kalau saja rumah kami tidak sejurus, tentu aku tidak bersamanya. Mengenal Beni dengan lesung pipi yang mirip penyanyi terkenal, Afgan Syahreza. Begitu mengemaskan ketika ia memperlihatkan senyum.
"Kau tahu, Ben, kadang aku malas untuk pulang ke rumah. Saat melihat pintu rumah, langsung bisa menebak, kalau Ibu sudah berdiri di belakang sana menunggu. Menanyakan apa semua hal yang sudah kulakukan di sekolah, padahal anak semata wayangnya ini belum duduk, berganti pakaian, bahkan menelan makanan." Kuhela napas panjang sambil melirik dengan Beni cemas. Sesaat senyumnya mengembang. Lensung pipi itu kembali membuat gemasku bangkit dan ingin menyentuhnya, tapi itu tidak mungkin. Maaf, itu agak, umm ... membuat pipi merona.
"Tapi bagaimanapun juga kau harus pulang, Julie. Tidak mau, kan, tiba-tiba saja ada berita di tivi dan koran tentang seorang Ibu yang menghubungi pangkalan udara hanya untuk mencari anak perempuannya yang sedang marah?"
Aku hanya menunduk dan menghela napas. Memandangi langkah kaki sambil berpikir, kejadian apa lagi yang akan menimpa saat memasuki pintu rumah.
***
"Undangan siapa, Bu?" tanyaku ketika mendapati sebuah undangan berwarna merah muda tergeletak tenang di atas meja ruang tengah.
"Oh, itu undangan dari Tante Mery. Seseorang mengirimkan tadi siang. Lisa akan menikah hari minggu ini. Kau masih ingat mereka?" Ibu menyahut sedikit keras dari arah dapur.
Ya, tentu saja aku mengingat mereka. Kejadian tahun lalu sama sekali tidak bisa kulupakan. Ibu melakukan perdebatan panjang dengan Tante Mery di acara arisan yang diadakan Tante Jesy.
Saat itu ibu dengan lantang mengelu-elukan kelebihanku sebagai anaknya, begitu pula Tante Mery yang tidak mau kalah mengunggulkan prestasi anaknya, Miko, yang kebetulan seumuran denganku.
Tiba-tiba perdebatan itu berubah menjadi ajang tarik menarik rambut dan sobekan baju. Mengerikan. Memalukan. Aku hanya bisa menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
"Kita tidak akan datang ke sana. Resepsi pernikahan itu bukan untuk kita," ujar ibu yang datang membawa sepiring pisang goreng kesukaanku. Beliau duduk memerhatikan undangan yang kupegang, lalu meluruskan posisi untuk menatap acara tivi.
"Tapi kita harus datang, Bu. Mereka keluarga Ayah, Tante Mery saudara ipar Ibu. Mereka orang baik, sudah setahun kita tidak berkunjung. Aku merindukan mereka." Sambil memelas dan membuat nada manja, berharap agar dituruti oleh ibu.
"Tidak, jangan membantah. Kita tidak harus datang ke sana. Acara resepsi itu tidak penting!" jawab beliau dengan menghentakkan telunjuknya.
Aku terdiam, lalu teringat saat almarhum ayah masih hidup. Kami bertiga selalu datang ke acara-acara keluarga. Ayahku memang berasal dari keluarga kaya sedangkan ibu hanya seorang anak panti asuhan yang beruntung menikahinya.
Banyak hal yang tidak bisa kulupakan dari keluarga ayah, yaitu betapa baiknya mereka pada kami, memberikan hadiah-hadiah. Pakaian, makanan dan barang-barang bagus, tapi setelah ayah pergi, hubungan keluarga kami semakin merenggang dan puncaknya adalah kejadian memalukan setahun yang lalu. Â
***
Tiga hari sebelum acara pernikahan berlangsung, tiba-tiba Tante Mery datang rumah. Kebetulan saat itu ibu tidak ada. Tante Mery hanya berdiri di depan pintu, enggan masuk.
Sudah setahun kami tak bertemu, dan sikapnya masih tidak berubah. Tetap baik dan perhatian, walaupun kadang aku merasa sikap wanita setengah baya itu sinis dan merendahkan, tapi selama ayah masih hidup, beliau menjelaskan, kalau Tante Mery memang punya karakter yang unik. Aku dihimbau untuk tidak berpikir negative tentangnya.
"Oh, halo sayang, bagaimana kabarmu, apa kau sehat?" tanyanya tersenyum sambil melepas kaca mata.
"Baik, Tante," jawabku dengan senyum senang setelah beberapa detik memeluknya.
"Jangan repot-repot, Tante tidak ingin masuk, karena tidak ingin memulai perang dengan Ibumu. Oh, umm, apa dia ada?" tanyanya sambil mencuri-curi pandang ke dalam ruangan.
"Ibu tidak ada di rumah, Tante."
Tante Mery tersenyum lega, ternyata ia datang untuk memberikan beberapa tas belanja berisi pakaian dan barang-barang bagus, meminta agar kami memakai semua itu saat acara pernikahan Lisa, tapi tentu saja hal pertama yang harus kulakukan adalah menyimpan terlebih dahulu semua barang-barang pemberian itu.
Tidak sekarang aku memperlihatkannya pada ibu. Nanti, disaat kami akan pergi, aku akan memberikannya pada beliau yang sudah pasti tidak bisa menolak hingga mau tidak mau wanita setengah baya itu akan menerima semuanya.
Ternyata kebahagiaanku hanya bertahan satu kali dua puluh empat jam. Begitu pulang sekolah, ibu telah berada di dalam kamar dan duduk di pinggir ranjang bersampingan dengan semua tas belanjaan pemberian dari Tante Mery.
"Apa semua ini, Julie?" tanyanya tampak tidak tahu, tapi terlihat menahan amarah.
"Semua itu pemberian dari Tante Mery."
"Ibu tahu, di sini ada kartu ucapannya." Ibu memperlihatkan sebuah kartu dari salah satu tas belanjaan.
"Sudahlah, Bu. Terima saja semua barang-barang itu. Tante Mery tetap baik walaupun kita melupakannya hampir setahun ini." Aku mendekat untuk merayu.
"Tidak. Ibu tidak bisa melupakan perlakuan wanita itu dan kata-katanya setahun yang lalu. Kita harus mengembalikan, membuang atau membakar semua ini." Beliau mengultimatum sambil berdiri.
"Jangan, Bu," jawabku kesal berusaha memunguti semua tas-tas belanjaan itu untuk kukembalikan ke dalam lemari.
"Kau tidak boleh menyimpannya," ucap ibu sambil merampas beberapa tas belanjaan yang sudah kupegang.
"Tapi kenapa, Bu? Apa yang salah? Ini semua untuk kita!" Aku berteriak kesal.
"Jangan keras kepala, Julie. Kalau kau lebih menyukai semua pemberian dari wanita itu, pergi dari rumah ini dan tinggal saja bersama mereka!" ibu mengeluarkan nada yang tidak kalah keras.
Aku terkejut mendengar pengusiran dari beliau. Hati ini langsung panas, refleks tubuhku berputar, masih dengan pakaian seragam SMA berlari keluar rumah. Masih terdengar suara ibu memanggil, tapi terlambat.
Kuterima kalimat menyayat itu dan pergi sambil menangis, langkah kaki membawa ke tempat yang sudah lama tak kudatangi.
***
"Jadi, Ibumu tega berkata seperti itu? Oh, ya ampun keterlaluan sekali dia." Tante Mery terlihat shock mendengar kejadian yang menimpa keponakannya ini, saat itu dia dan Lisa menerimaku di ruang tamu.
Anak dan ibu itu memandang dengan iba. Aku menjadi tenang melihat perhatian yang mereka tunjukkan atas apa yang baru saja terjadi.
"Tenang saja, Julie. Tinggallah di sini selama yang kau mau," kata Tante Mery dengan tersenyum lembut.
Sebentar aku pamit untuk ke kamar mandi. Di sana mencuci muka dan menangis sebentar ketika mengingat ibu yang tidak mengingingkanku lagi.
Hampir tiga puluh menit di dalam kamar mandi milik Tante Mery yang mewah, aku lalu kembali ke ruang tamu, tapi begitu mendekati ruangan itu sayup-sayup terdengar suara Tante Mery dan Lisa sedang bicara serius.
"Mam, kita tidak bisa membiarkan Julie tinggal di rumah ini. Tidak peduli walaupun dia anak dari Om Heru. Aku tidak tahan dekat-dekat dengannya." Lisa berujar dengan tegas.
"Biarkan saja, sayang. Seperti setahun yang lalu, kali ini kita akan menghina Ibunya. Kau ingat, dulu Mama menghina anaknya sampai perempuan yatim piatu itu mempermalukan Mama di arisan Tante Jesy. Sekarang saatnya untuk membalas dendam."
Saat mendengar obrolan itu, spontan dahiku terlipat keras. Sebenarnya apa yang terjadi? Peristiwa setahun yang lalu dapat dipastikan bukan karena perdebatan antara dua orang ibu yang membela mati-matian tentang anak-anak mereka, sepertinya ini lebih serius. Ada yang ibu sembunyikan, tapi apa?
Saat itu karena tidak mau dihantui rasa penasaran dan tanda tanya besar, tanpa menunggu lama, aku langsung keluar dari persembunyian dan berpamitan pada Tante Mery dan Lisa. Tentu saja tidak ada sikap dari mereka yang menahan kepergianku.
Detak jantung ini menggebu ingin bertemu ibu, aku harus bertanya padanya. Bahkan dalam perjalanan pulang langkah kaki terasa hampir tidak menginjak tanah, aku berlari kesetanan hanya untuk sampai di rumah. Tepat saat kembali, ibu masih berada di kamar sambil menangis.
Hatiku luluh lantak melihat wanita itu menderaikan air mata. Merasa sudah menjadi anak jahat, karena mendebatnya dengan kasar.
"Apa yang terjadi, Bu? Hinaan apa yang sudah Tante Mery katakan setahun yang lalu? Aku mohon jangan merahasiakan apa pun, anakmu ini sudah dewasa."
Ibu memandangku dengan sedih, lalu memeluk dengan erat hingga kami menangis bersama. Saat itulah beliau menceritakan semuanya. Selama ayah masih hidup, Tante Mery memang sudah tidak suka dengan keberadaan kami, perempuan itu tidak pernah setuju dengan pernikahan orang tuaku, karena ibu hanya anak yatim piatu, Tante Mery selalu berprasangka kalau ibu hanya menginginkan harta keluarga, tapi ayah selalu memberikan pandangan yang baik tentang kakak perempuannya.
Ayah selalu berharap kalau Tante Mery bisa berubah menyayangi kami, tapi sampai pria itu menutup mata, kakak perempuan satu-satunya tetap mempertahankan kebencian pada kami.
Setahun yang lalu, di acara Tante Jesy. Tante Mery mengeluarkan kata-kata sumpah serapah. Ia berharap aku dan ibu tidak akan pernah hidup tenang, karena menurutnya keberadaan kami hanya akan menjadi duri dalam daging.
Bahkan wanita jahat itu mendo'akanku supaya tidak pernah menikah, sengsara dan menderita. Ibu yang mendengar langsung kutukan itu tidak tinggal diam, hingga akhirnya pertengkaran hebat itu terjadi.
Kami masih tetap mengganggap Tante Mery sebagai keluarga, tapi tidak ingin lagi datang ke rumah wanita itu ataupun menghubunginya. Aku dan Ibu tidak mau Tante Mery selalu berprasangka buruk.
Walaupun kami tahu ada hak sebagai ahli waris setelah ayah meninggal. Tetapi biarlah, lebih bahagia hidup seperti ini, sederhana dan tidak pernah merasa kekurangan. Setelah keributan besar di rumah, keadaan berubah, hubunganku dan ibu semakin dekat dan akrab.
Sore itu, seperti biasa aku pulang bersama Beni dan menceritakan semua yang terjadi beberapa hari kemarin. Dan satu kalimat dari Beni yang tidak pernah kulupa hingga saat ini.
"Julie, kau dan Ibumu memang harus memaafkan semua perilaku Tante Mery dan keluarganya, bahkan tetap mendo'akan mereka, walaupun kita tahu, Tuhan tidak akan pernah membiarkan mereka bahagia."
SELESAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H