***
"Jadi, Ibumu tega berkata seperti itu? Oh, ya ampun keterlaluan sekali dia." Tante Mery terlihat shock mendengar kejadian yang menimpa keponakannya ini, saat itu dia dan Lisa menerimaku di ruang tamu.
Anak dan ibu itu memandang dengan iba. Aku menjadi tenang melihat perhatian yang mereka tunjukkan atas apa yang baru saja terjadi.
"Tenang saja, Julie. Tinggallah di sini selama yang kau mau," kata Tante Mery dengan tersenyum lembut.
Sebentar aku pamit untuk ke kamar mandi. Di sana mencuci muka dan menangis sebentar ketika mengingat ibu yang tidak mengingingkanku lagi.
Hampir tiga puluh menit di dalam kamar mandi milik Tante Mery yang mewah, aku lalu kembali ke ruang tamu, tapi begitu mendekati ruangan itu sayup-sayup terdengar suara Tante Mery dan Lisa sedang bicara serius.
"Mam, kita tidak bisa membiarkan Julie tinggal di rumah ini. Tidak peduli walaupun dia anak dari Om Heru. Aku tidak tahan dekat-dekat dengannya." Lisa berujar dengan tegas.
"Biarkan saja, sayang. Seperti setahun yang lalu, kali ini kita akan menghina Ibunya. Kau ingat, dulu Mama menghina anaknya sampai perempuan yatim piatu itu mempermalukan Mama di arisan Tante Jesy. Sekarang saatnya untuk membalas dendam."
Saat mendengar obrolan itu, spontan dahiku terlipat keras. Sebenarnya apa yang terjadi? Peristiwa setahun yang lalu dapat dipastikan bukan karena perdebatan antara dua orang ibu yang membela mati-matian tentang anak-anak mereka, sepertinya ini lebih serius. Ada yang ibu sembunyikan, tapi apa?
Saat itu karena tidak mau dihantui rasa penasaran dan tanda tanya besar, tanpa menunggu lama, aku langsung keluar dari persembunyian dan berpamitan pada Tante Mery dan Lisa. Tentu saja tidak ada sikap dari mereka yang menahan kepergianku.
Detak jantung ini menggebu ingin bertemu ibu, aku harus bertanya padanya. Bahkan dalam perjalanan pulang langkah kaki terasa hampir tidak menginjak tanah, aku berlari kesetanan hanya untuk sampai di rumah. Tepat saat kembali, ibu masih berada di kamar sambil menangis.