Aku hanya menunduk dan menghela napas. Memandangi langkah kaki sambil berpikir, kejadian apa lagi yang akan menimpa saat memasuki pintu rumah.
***
"Undangan siapa, Bu?" tanyaku ketika mendapati sebuah undangan berwarna merah muda tergeletak tenang di atas meja ruang tengah.
"Oh, itu undangan dari Tante Mery. Seseorang mengirimkan tadi siang. Lisa akan menikah hari minggu ini. Kau masih ingat mereka?" Ibu menyahut sedikit keras dari arah dapur.
Ya, tentu saja aku mengingat mereka. Kejadian tahun lalu sama sekali tidak bisa kulupakan. Ibu melakukan perdebatan panjang dengan Tante Mery di acara arisan yang diadakan Tante Jesy.
Saat itu ibu dengan lantang mengelu-elukan kelebihanku sebagai anaknya, begitu pula Tante Mery yang tidak mau kalah mengunggulkan prestasi anaknya, Miko, yang kebetulan seumuran denganku.
Tiba-tiba perdebatan itu berubah menjadi ajang tarik menarik rambut dan sobekan baju. Mengerikan. Memalukan. Aku hanya bisa menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
"Kita tidak akan datang ke sana. Resepsi pernikahan itu bukan untuk kita," ujar ibu yang datang membawa sepiring pisang goreng kesukaanku. Beliau duduk memerhatikan undangan yang kupegang, lalu meluruskan posisi untuk menatap acara tivi.
"Tapi kita harus datang, Bu. Mereka keluarga Ayah, Tante Mery saudara ipar Ibu. Mereka orang baik, sudah setahun kita tidak berkunjung. Aku merindukan mereka." Sambil memelas dan membuat nada manja, berharap agar dituruti oleh ibu.
"Tidak, jangan membantah. Kita tidak harus datang ke sana. Acara resepsi itu tidak penting!" jawab beliau dengan menghentakkan telunjuknya.
Aku terdiam, lalu teringat saat almarhum ayah masih hidup. Kami bertiga selalu datang ke acara-acara keluarga. Ayahku memang berasal dari keluarga kaya sedangkan ibu hanya seorang anak panti asuhan yang beruntung menikahinya.