Mohon tunggu...
Viride
Viride Mohon Tunggu... Buruh - penulis

Penulis tidak dapat menulis secepat pemerintah membuat perang; karena menulis membutuhkan pemikiran. - Bertolt Brecht (Penulis dari Jerman-Australia)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jangan Cintai Dia

25 Februari 2017   05:30 Diperbarui: 14 Juni 2018   12:12 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Umm, apakah, Aaron ada di dalam? Tadi aku sudah ke rumahnya dan orang tuanya mengatakan kalau dia ada di sini. Aku ingin bertemu dengannya.” Perempuan itu tampak tegang. Tangannya meremas tas yang tergantung di bahu kanannya.

“Maaf, kau siapa?” tanya Jenna.

“Umm, aku … katakan saja kalau, Cindy mencarinya,” jawabnya tersenyum getir, lalu terlihat meraih sebuah botol kecil dari dalam tas dan mengeluarkan beberapa pil di atas telapak tangan, kemudian langsung dilemparkan dengan pelan ke dalam mulut.

Seperti melihat situasi genting, Jenna berbalik dan berjalan cepat menuju ruang tengah setelah ia meminta perempuan itu menunggu di teras.

“Aaron, ada seseorang mencarimu. Dia sedang menunggu di depan,” lapornya.

“Siapa?” Sambil bertanya heran, Aaron berdiri dan meninggalkan stick game di lantai. Ia berjalan menuju teras diikuti Deni dari belakang. Tiba-tiba saja pertengkaran antara perempuan itu dan Aaron pecah.

“Kau tidak menjelaskan apa-apa!” Perempuan itu terlihat sangat kecewa. Kalimatnya meninggi, ia tampak tak memedulikan keberadaan Deni dan Jenna yang menatap bingung.

“Tapi sudah jelas kita putus!” Aaron pun terlihat menegaskan sesuatu.

“Tidak semudah itu mengatakannya lewat pesan, kau harus menjelaskannya dulu.”

“Kau harus memberiku waktu.”

“Sudah terlalu lama! Dua minggu aku menunggu, tapi kau tidak juga mau bicara. Sampai aku harus mencarimu ke kampus, ke rumahmu, ke mana pun kau pergi. Aku lelah!” Wajah perempuan itu tampak tak kuat lagi menahan beban hati. Dia menangis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun