Jenna tersenyum datar. Hatinya serasa keriput mendengar Aaron akan pergi bersama kakaknya. Dia sangat berharap bisa ikut bersama mereka, bahkan berkeinginan hanya jalan berdua dengan Aaron, tapi otak Jenna sudah bisa memprediksikan akhir dari sikap kakaknya yang akan marah dengan membabi buta.
“Ya, Tuhan, Aaron. Aku sudah lama menunggu di atas, tapi kau tidak muncul juga. Aku bingung memilih baju.” Deni muncul dengan memprotes pelan sambil menuruni tangga, dia membuang tatapan kesal pada Jenna.
“Jenna, sedang apa kau di sini? Apa kau lupa dengan perkataanku semalam?” ketusnya hingga membuat Jenna marah. Tanpa menjawab pertanyaan Deni, ia langsung menuju kamar dengan menghempaskan langkah-langkah kaki diiringi lirikan tajam kearah laki-laki yang enam lima tahun lebih dulu lahir darinya itu.
Sambil berkacak pinggang, Deni memperhatikan sikap Jenna, hingga tubuh adiknya hilang di balik pintu. “Bodoh sekali dia. Apa masih tidak mengerti juga? Padahal aku sudah menjelaskan semuanya. Heran, kapan dia jadi dewasa?! Ayo, Aaron, kita pergi sekarang,” ajaknya lalu melangkah lebih dulu.
“Ada apa dengan Jenna?” tanya Aaron yang kemudian mengikuti Deni keluar rumah.
“Seperti biasa, anak perempuan. Keinginan mereka selalu aneh-aneh, aku jadi bingung.”
“Mungkin dia sedang mengalami masalah?”
“Datang bulan, maksudmu?” Lirik Deni dengan wajah bingung.
“Hei, aku tidak bilang begitu. Kau, kan tahu aku tidak punya saudara perempuan, jadi aku tidak mengerti.” Aaron tersenyum lucu sambil angkat bahu.
“Entahlah.” Deni menutup obrolan dengan raut wajah masa bodoh, padahal dia sangat tahu, kenapa adiknya memperlihatkan sikap se-emosional itu.
Malam minggu tiba. Langit Kalimantan terlihat cerah dengan hamparan bintang-bintang yang setia menemani bulan. Untuk kedua kalinya harapan Jenna, agar bisa berdua dengan Aaron, terkabul. Kebetulan, sebelum laki-laki itu datang, kakaknya sudah pergi ke minimarket untuk membeli sesuatu, karena perjalanan yang menempuh jarak kurang lebih 20 menit, Jenna pun menggunakan waktu itu sebaik-baiknya. Oh, ya ampun lihatlah wajah gadis belia itu. Ia seperti di awang-awang, tersenyum seolah berada di dunia penuh bunga dan tampak jelas hatinya berkunang-kunang terang dengan warna indah.