Jarum jam menunjuk angka 12, malam, saat Mila melihat bayangan kelabu berkelebat, lalu ambang tidur merayap dari ubun-ubunnya hingga menelusup ke seluruh sel-sel dan syaraf tubuhnya. Seperti mati, namun ada yang bekerja diam-diam pada tubuhnya, sebuah perjalanan menembus alam mimpi.
Seperti angka pada dadu yang bergulir, mimpi tak dapat ditebak. Kadang begitu buruk, membuat napas Mila tersengal-sengal ketika bangun. Kadang sebaliknya, membuat Mila bahagia hingga rasanya tak ingin bangkit dari lelap.
“Hai, kau yang selalu datang tepat waktu...,“ sapa Mila dalam mimpinya.
“Bagaimana kau tahu aku tepat waktu?” jawab lelaki itu seraya tersenyum.
“Begitu aku masuk dalam mimpi, kau senantiasa menunjukkan diri.”
“Aku memang menunggumu. Tapi, kau sadar bahwa ini bunga tidurmu?”
“Jelas, sebab ini bukan nyata.”
“Apa yang membuatmu yakin ini bukan realita?
“Di alam nyata kau tidak pernah ada!”
Pada awalnya Mila terkejut akan kehadiran lelaki itu, bukan karena berwujud seram atau aneh, namun lelaki itu terasa tidak asing lagi. Mila bagai mengenalnya lama entah di mana, entah kapan.
“Tenang Mila, kau tidak perlu takut.”
“Aku tidak takut. Hanya terkejut. Dan bagaimana kautahu kehadiranku?”
“Ah...,” laki-laki itu menghela nafas.
“Ah, apa?”
“Hmmm... sesungguhnya aku juga baru hadir di sini.”
“Baru hadir? Maksudmu?”
“Ya, sama sepertimu, aku tak menyangka kita berjumpa dalam alam ini.”
“Kau juga tidur, lalu bermimipi dan kemudian bertemu aku?”
“Ya, semacam itu.”
Apa maksudnya semacam itu? Baru saja Mila ingin bertanya, laki-laki itu menghilang seiring datangnya sinar yang menyilaukan, menembus kelopak matanya, seolah membasuh secara paksa agar Mila terbangun.
Sejenak Mila tak mengerti apa yang terjadi. Dan ketika itulah pertama kali ia mengalami: mimpi yang tak lekas hilang dari ingatan walau berhari-hari kemudian. Secara detail Mila dapat menceritakan kepada siapapun tentang mimpi tersebut. Misalnya kepada pengemudi taksi yang membawanya ke mal, misalnya lagi kepada teman-teman sekantornya. Tetapi reaksi mereka biasa-biasa saja, tidak ada yang menanggapi secara istimewa. Andaikata ada senyuman dari satu atau dua lawan bicara, kesannya meremehkan dan mungkin menertawai dalam hati. Kecuali seorang sahabatnya, Sarah.
Sarah pernah bilang, setiap orang pernah tidur, setiap orang pernah mengalami mimpi. Bisa begitu jelas, sering pula sangat absurd. Apa yang istimewa soal itu? Barangkali toko buku menyediakan jawabannya, bukankah banyak buku tentang telaah mimpi. Ada 20 buku tafsir mimpi di rak Mila, namun sayangnya tidak satu pun dari buku-buku mampu memuaskan, malah membuatnya semakin bingung.
Maka Mila memutuskan, lebih percaya kepada pikiran dan hatinya saja. Segala penafsiran mempunyai celah kesalahan, dan penulisnya belum tentu pengalaman. Bisa jadi karangan belaka atau semacam kepercayaan turun-temurun yang ditulis ulang.
“Mungkin kau mencari seseorang, semacam figur kekasih yang selama ini kau cari-cari. Rasa penasaran yang terpendam dalam pikiran lalu menjelma dalam rupa mimpi,” ujar Sarah di sebuah kafe.
“Aku rasa, malah dialah yang mencariku, menungguku.”
“Laki-laki itu berkata demikian?”
“Tidak juga.”
“Lantas bagaimana kau tahu?” Sarah urung meneguk kopinya.
“Apa kau tak tahu, dengan bahasa tubuh, kita dapat memastikan seseorang menanti kehadiran kita. Maksudku, dia selalu menghampiriku, seolah tahu aku akan datang dan dia menjemputku. Sebab dia juga datang dari dimensi lain.”
“Waduh, rumit sekali....“
“Begini, mimpi itu adalah tempat aku dan lelaki itu bertemu. Dia datang entah dari mana, yang jelas bukan dari sini, maksudku bumi ini. Dia pula sulit mengatakan alamat sebenarnya. Paham, ya?”
“Mungkin... mungkin hampir sama dengan yang aku alami. Semenjak aku sakit-sakitan, kadang aku melihat sosok samar-samar ketika aku dirawat di rumah sakit. Tak tahulah dia siapa, susah aku jelaskan.”
“Tapi kita tidak sakit jiwa, kan?”
Pertannyaan Mila membuat keduanya hening, seolah sang waktu berhenti di jalan buntu.
***
Mila mengayunkan kaki lambat-lambat di tengah hutan kelabu, pepohonan tumbuh bersilang serupa jajaran garis diagonal, batangnya tinggi seperti kelapa, namun akar-akarnya menggelantung mirip beringin. Semuanya bernuansa kelabu. Sungai kelabu, awan dan langit kelabu, juga tanah yang kelabu.
Mata Mila mencari lelaki itu di antara sulur-sulur kelabu, di antara rerumputan kelabu. Biasanya laki-laki itu duduk di batu besar sambil merokok. Oh, bukan, bukan merokok, namun mulutnya mengeluarkan semacam asap. Dan harusnya laki-laki itu menunggu di sana seperti biasanya, memakai jas musim dingin, mengenakan sarung tangan dan topi yang aneh bentuknya. Di punggungnya memanggul sesuatu, tapi bukan ransel atau tas besar. Bentuknya memanjang dan berbulu.
“Mila....”
Mila tersentak, hampir saja tersandung bebatuan mendengar suara yang tak asing baginya. Sosok lelaki itu pula bernuansa kelabu. Kulitnya kelabu muda, hampir putih. Seluruh yang dikenakannya kelabu tua, nyaris hitam.
“Kau?”
“Ya, aku,” sahut lelaki itu berjalan dari balik pohon diagonal.
“Mengapa mengejutkanku, dan mengapa warnamu mengelabu?”
“Memang sejak kapan kita berwarna? Dan kau pun mengejutkanku, hampir aku tak mengenali wajahmu. Sedari tadi aku menunggumu, tapi aku hampir sangsi, betulkah ini dirimu?”
“Ragu? Harusnya aku yang begitu.” Mata Mila menyapu seluruh tubuh lelaki itu.
“Lihat, dirimu kini memutih, tidak seperti biasanya. Berkacalah di telaga.”
Telaga bening tak jauh dari keduanya berjumpa, di sanalah Mila dapat melihat pantulan dirinya. Dan benar, Mila seperti patung pualam yang pucat.
***
Mila terbangun, kali ini nafasnya tersengal-sengal. Perlahan membuka pandangan, lalu beragam tanda tanya mengitarinya. Sekelilingnya berwarna kelabu, persis seperti di mimpinya. Dinding, lukisan, meja, lampu, jendela dan lantai kelabu. Di mana aku? tanya Mila dalam hati.
“Selamat pagi, Mila.” Suara lelaki itu, ya, lelaki yang baru saja Mila bertemu di alam tidurnya.
“Kau, kau juga di sini?” Bibir Mila bergetar.
“Bangunlah perlahan, kau mimpi buruk rupanya. Aku telah menyediakan sarapan pagi untukmu.”
Masih belum habis keheranannya, Mila meneguk minuman dari cangkir yang disodorkan lelaki itu. Minuman yang agak aneh rasanya, namun mengusir sebagaian besar kantuknya. Matanya kini jelas melihat sepasang sayap yang sesekali mengepak dari punggung lelaki itu.
“Ayolah bersiap, hari ini kita ada urusan penting.” Kepakan sayap lelaki itu semakin kencang.
“Urusan apa?”
Pertanyaan Mila tak dijawab, namun Mila tetap beranjak seolah terkena magnet. Dan Mila merasa embusan angin datang dari belakang punggungnya sendiri. Tubuhnya berangsur-angsur terasa ringan. Ringan sekali, lalu kakinya tak menapak lagi. Terangkat, terbang menerobos jendela, mengikuti ke mana lelaki itu mengajaknya.
“Besar sekali sayapmu Mila. Rupanya selama ini aku tak sadar, kau telah tumbuh semakin dewasa.”
***
Keduanya terbang, melayang cepat dan semakin cepat menembus atmosfir, hingga berada di kegalapan luar angkasa. Kemudian lelaki itu menggandeng tangan Mila menuju bola raksasa di antara hamparan bola-bola berwarna-warni yang lebih kecil berlatar belakang gemerlap cahaya seperti tebaran milyaran kunang-kunang.
“Itu apa?” tanya Mila sambil menatap bola raksasa bernuansa hijau, putih dan biru.
“Itu bumi manusia. Kita ke sana untuk menjemput salah seorang di antaranya.”
“Ini kah urusan penting yang kau katakan!?”
“Ya!”
Mila tak tak tahu harus berkata apa. Bumi manusia semakin dekat, gedung-gedung, sawah, sungai, kota semakin jelas. Bersamaan ribuan sosok seperti keduanya muncul pula dari bentangan awan. Ribuan mahluk kelabu muda dan kelabu tua, bagai anak panah melesat dari angkasa
Mila masih tak mengerti. Tetapi dia yakin, sebentar lagi akan bangun dari mimpinya. Setelah mengetahui, orang yang akan dijemputnya adalah sahabatnya sendiri, Sarah.
*****
Granito,
Jakarta, 11 Januari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H