Pertannyaan Mila membuat keduanya hening, seolah sang waktu berhenti di jalan buntu.
***
Mila mengayunkan kaki lambat-lambat di tengah hutan kelabu, pepohonan tumbuh bersilang serupa jajaran garis diagonal, batangnya tinggi seperti kelapa, namun akar-akarnya menggelantung mirip beringin. Semuanya bernuansa kelabu. Sungai kelabu, awan dan langit kelabu, juga tanah yang kelabu.
Mata Mila mencari lelaki itu di antara sulur-sulur kelabu, di antara rerumputan kelabu. Biasanya laki-laki itu duduk di batu besar sambil merokok. Oh, bukan, bukan merokok, namun mulutnya mengeluarkan semacam asap. Dan harusnya laki-laki itu menunggu di sana seperti biasanya, memakai jas musim dingin, mengenakan sarung tangan dan topi yang aneh bentuknya. Di punggungnya memanggul sesuatu, tapi bukan ransel atau tas besar. Bentuknya memanjang dan berbulu.
“Mila....”
Mila tersentak, hampir saja tersandung bebatuan mendengar suara yang tak asing baginya. Sosok lelaki itu pula bernuansa kelabu. Kulitnya kelabu muda, hampir putih. Seluruh yang dikenakannya kelabu tua, nyaris hitam.
“Kau?”
“Ya, aku,” sahut lelaki itu berjalan dari balik pohon diagonal.
“Mengapa mengejutkanku, dan mengapa warnamu mengelabu?”
“Memang sejak kapan kita berwarna? Dan kau pun mengejutkanku, hampir aku tak mengenali wajahmu. Sedari tadi aku menunggumu, tapi aku hampir sangsi, betulkah ini dirimu?”
“Ragu? Harusnya aku yang begitu.” Mata Mila menyapu seluruh tubuh lelaki itu.