Maka Mila memutuskan, lebih percaya kepada pikiran dan hatinya saja. Segala penafsiran mempunyai celah kesalahan, dan penulisnya belum tentu pengalaman. Bisa jadi karangan belaka atau semacam kepercayaan turun-temurun yang ditulis ulang.
“Mungkin kau mencari seseorang, semacam figur kekasih yang selama ini kau cari-cari. Rasa penasaran yang terpendam dalam pikiran lalu menjelma dalam rupa mimpi,” ujar Sarah di sebuah kafe.
“Aku rasa, malah dialah yang mencariku, menungguku.”
“Laki-laki itu berkata demikian?”
“Tidak juga.”
“Lantas bagaimana kau tahu?” Sarah urung meneguk kopinya.
“Apa kau tak tahu, dengan bahasa tubuh, kita dapat memastikan seseorang menanti kehadiran kita. Maksudku, dia selalu menghampiriku, seolah tahu aku akan datang dan dia menjemputku. Sebab dia juga datang dari dimensi lain.”
“Waduh, rumit sekali....“
“Begini, mimpi itu adalah tempat aku dan lelaki itu bertemu. Dia datang entah dari mana, yang jelas bukan dari sini, maksudku bumi ini. Dia pula sulit mengatakan alamat sebenarnya. Paham, ya?”
“Mungkin... mungkin hampir sama dengan yang aku alami. Semenjak aku sakit-sakitan, kadang aku melihat sosok samar-samar ketika aku dirawat di rumah sakit. Tak tahulah dia siapa, susah aku jelaskan.”
“Tapi kita tidak sakit jiwa, kan?”