“Aku tidak takut. Hanya terkejut. Dan bagaimana kautahu kehadiranku?”
“Ah...,” laki-laki itu menghela nafas.
“Ah, apa?”
“Hmmm... sesungguhnya aku juga baru hadir di sini.”
“Baru hadir? Maksudmu?”
“Ya, sama sepertimu, aku tak menyangka kita berjumpa dalam alam ini.”
“Kau juga tidur, lalu bermimipi dan kemudian bertemu aku?”
“Ya, semacam itu.”
Apa maksudnya semacam itu? Baru saja Mila ingin bertanya, laki-laki itu menghilang seiring datangnya sinar yang menyilaukan, menembus kelopak matanya, seolah membasuh secara paksa agar Mila terbangun.
Sejenak Mila tak mengerti apa yang terjadi. Dan ketika itulah pertama kali ia mengalami: mimpi yang tak lekas hilang dari ingatan walau berhari-hari kemudian. Secara detail Mila dapat menceritakan kepada siapapun tentang mimpi tersebut. Misalnya kepada pengemudi taksi yang membawanya ke mal, misalnya lagi kepada teman-teman sekantornya. Tetapi reaksi mereka biasa-biasa saja, tidak ada yang menanggapi secara istimewa. Andaikata ada senyuman dari satu atau dua lawan bicara, kesannya meremehkan dan mungkin menertawai dalam hati. Kecuali seorang sahabatnya, Sarah.
Sarah pernah bilang, setiap orang pernah tidur, setiap orang pernah mengalami mimpi. Bisa begitu jelas, sering pula sangat absurd. Apa yang istimewa soal itu? Barangkali toko buku menyediakan jawabannya, bukankah banyak buku tentang telaah mimpi. Ada 20 buku tafsir mimpi di rak Mila, namun sayangnya tidak satu pun dari buku-buku mampu memuaskan, malah membuatnya semakin bingung.