Pasal-pasal tersebut hanya menunjukkan pembagian prioritas dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan di mana Presiden menjadi pemegang prioritas utama, sementara Wakil Presiden sebagai pemegang prioritas kedua. Dengan demikian, jika Presiden berhalangan maka, Wakil Presiden dapat dengan sendirinya menggantikannya.
Sementara itu, kemungkinan kedua, didapat melalui penafsiran Pasal 4 Ayat 2, Pasal 5 UUD 1945, serta Pasal 8 Ayat 1 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978.
Berdasarkan penafsiran ini, Presiden merupakan satu-satunya penyelenggara pemerintahan negara tertinggi yang menyebabkan segala tanggung jawab mengenai penyelenggaraan pemerintahan negara yang tertinggi berada di tangannya.Â
Dalam hubungannya dengan hal ini, Wakil Presiden tidak dapat bertindak sendiri karena hanya merupakan Pembantu Presiden.
Cawapres sebagai "Barang Antik" dan "Permata Politik"
Dalam menghadapi perhelatan Pesta Demokrasi Pilpres Tahun 2024, publik di Tanah Air tidak hanya sedang dihebohkan oleh proses penentuan Calon Presiden dari Partai Politik dan atau Koalisi Partai Politik.
Tetapi, yang justru lebih menyita perhatian masyarakat Indonesia hari ini adalah, hiruk pikuk para politisi di Partai Politik atau Koalisi Partai Politik dalam mencari dan menentukan Sosok Calon Wakil Presiden atau Cawapres.
Pasalnya, dari hasil Riset Lembaga Survei yang kredibel di Tanah Air, terungkap bahwa, belum ada Capres yang memiliki elektabilitas yang mencapai Angka Psikologis di atas 30 % untuk memenangkan Pilpres Tahun 2024.
Oleh karena itu, sangat diperlukan cawapres yang memenuhi kriteria elektabilitas yang mumpuni untuk dapat mendulang suara konstituen berbasis beragam variabel sebagai faktor penentu kemenangan dalam Pilpres 2024.
Memang, belakangan ini, sudah ada beberapa nama populer yang muncul ke muka publik sebagai Cawapres andalan, antara lain, Erick Thohir, Sandiaga Uno, Ridwan Kamil.
Kecuali itu, ada juga Erlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY, dan Mahf'ud MD serta Khofifah Indar Parawansa.