Ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat (1), (2) UU PPN dan Pasal 7 ayat (1) SE-33/PJ/2013 huruf E angka 1 huruf a dan d bahwa Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang ter utang, dan tarif PPN.
Analisa atas Regulasi Pemajakan Freight Forwarding
Analisa atas regulasi pemajakan perusahaan freight forwarding dari berbagai referensi baik hasil penelitian maupun dari para ahli yang penulis baca bahwa berkesimpulan :
- Regulasi pemajakan SE-33/PJ/2013 yang berbasiskan PMK-38/2013 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak bisa mendatangkan kerugian/kekurangan bagi pemasukan negara, karena mekanisme PPN terganggu akibat secara konsep/teori dari tax base nya tidak terbidik secara efektif. Sebenarnya konsep pada SE tersebut sudah baik untuk menangkap adanya potensi PPN yang terkandung dalam freight sebagai pendapatan negara, namun dari sudut Konsep Prinsip produktivitas pendapatan menimbulkan permasalahan baru yang sebenarnya tidak perlu terjadi karena dasarnya timbulnya realisasi transaksi selisih freight dapat dijaring dari pembukuan komersial yang diselenggarakan berbasis SAK yang berlaku yang merupakan suatu indikasi terciptanya suatu nilai tambah yang menjadi objek pengenaan PPN (Ilmu et al., 2016);
- Pemajakan atas selisih freight atau nilai tambah dalam biaya freight kargo laut dan udara pada perusahaan Freight Forwarding di Indonesia tidak sesuai dengan teori/kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip PPN, sehingga atas ketidaksesuaian tersebut penerimaan negara dari PPN menjadi rendah (Ilmu et al., 2016);
- Faktur Pajak yang diterbitkan kepada shipper/eksportir/pengirim kargo akan timbul tambahan beban yang sebenarnya merupakan tax shifting dari perusahaan Freight Forwarding ke pihak shipper/eksportir/pengirim kargo yang pada akhirnya menimbulkan high cost economy karena faktur pajak PPN tersebut tidak bisa dikreditkan oleh pihak shipper/eksportir/pengirim kargo. Pemberlakuan peraturan terbaru tersebut dapat merusak kaidah-kaidah/prinsip-prinsip dasar, karakteristik, dan mekanisme yang terkandung didalam PPN (Ilmu et al., 2016);
- Pada hakekatnya sistem PPN memiliki konsep alternatif pengenaan PPN dalam transaksi penyerahan Jasa Pengurusan Transportasi atau Freight Forwading atas freight charges tanpa melanggar kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip PPN yaitu dengan menerapkan metode Subtraction atau Subtractive Direct Method. Selain penerimaan negara lebih besar seperti penjelasan No. 1 diatas, pihak konsumen (shipper/eksportir/pengirim kargo) tidak merasa dirugikan karena adanya PPN atas selisih freight tersebut menjadi beban perusahaan freight forwarding (Ilmu et al., 2016).
Atas hasil analisa diatas mengenai Pemajakan PPN atas jasa freight forwarding maka menurut hemat penulis Kementerian Keuangan qq Direktur Jenderal Pajak diharapkan untuk dapat me-review SE-33/PJ/2013 dan PMK-38/2013 yang berlaku dan diharapkan dapat memperbaiki dengan regulasi baru Pemajakan PPN atas freight yang telah dikeluarkan dengan menerapkan metode Subtraction atau Subtractive direct method dalam pengenaan PPN atas selisih freight dengan rumus tarif PPN sebesar 10% x selisih freight.
Referensi :
- Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 sttd Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 Tentang PPN Barang dan Jasa Dan PPnBM (“UU PPN”);
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 jo PMK-38/PMK.011/2013 Tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak;
- Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2013 Tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Jasa Pengurusan Transportasi (Freight Forwarding) Yang Di Dalam Tagihannya Terdapat Biaya Transportasi (Freight Charges);
- Ilmu, I., Dan, S., & Stiami, M. (2016). KEMENRISTEK DIKTI JUDUL PENELITIAN : TIM PENGUSUL :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H