Selain itu, hal-hal yang relate dalam konten, sering kali tidak melihat sisi baik dan buruk bahkan cenderung menormalisir kebiasaan buruk.Â
Seperti halnya, konten yang ditunjukkan untuk mencari validasi bahwasannya kebiasaan buruk tidak hanya dilakukan oleh seorang tetapi juga banyak orang dan ingin dianggap normal.Â
Hal tersebut sempat disinggung oleh seorang seorang kreator @lailsjournal, yang menggambarkan bagaimana konten receh dengan embel-embel relate itu sebenarnya justru berbahaya.Â
Ia menggambarkan, dengan salah satu konten berisi " tidak bercerita tetapi..." menampilkan kondisi kamar yang berantakan, kemudian ditulis kata "relate kan?".
Tentu semakin banyak konten receh seperti ini, akan berdampak buruk terhadap pola pikir dan perilaku hidup, seolah berantakan adalah yang normal dan banyak orang melakukan itu ketika banyak masalah.Â
Bahkan, menurut studi ilmiah menunjukkan, kinerja otak itu kualitasnya bergantung dengan apa yang dikonsumsi, dengan demikian jika asupan yang diberikan receh, maka speknya pun menurun.Â
Dalam hal ini, penelitian Craig Jackson, profesor psikologi di Birmingham City University, menjelaskan bahwa meskipun brain rot tidak merusak otak secara fisik.
Tetapi, brain rot memengaruhi cara otak memproses informasi, hingga membuatnya lebih lambat dan kurang kreatif.
Selain itu, penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Abnormal Psychology juga menemukan bahwa kebiasaan mengonsumsi konten berkualitas rendah dapat menurunkan kemampuan otak.Â
Khususnya dalam hal berpikir mendalam dan meningkatkan risiko gangguan mental seperti kecemasan dan depresi.
Lantas, Bagaimana Mencegah Brain Rot?