Pernah enggak mendengar istilah brain rot? atau merasa otak seakan kosong setelah scroll short video yang bentukannya vertikal seperti halnya TikTok atau Instagram Reels.
Padahal sebelumnya, sudah merasa bahagia dengan menonton konten-konten receh yang bahkan istilahnya relate dengan kehidupan yang dilalui.
Ternyata, hal ini tak hanya dirasakan oleh kalangan anak muda saja, tetapi juga mereka para orang dewasa yang harusnya mempunyai kematangan berpikir dan kemampuan manajemen resiko yang lebih oke.
Akibat dari kebiasaan tersebut, sering kali tubuh menjadi sulit untuk beraktivitas secara normal atau istilah yang lebih populer yaitu "mager" alias malas gerak dan menginginkan segala sesuatu yang sifatnya instan.
Fenomena Brain Rot
Melansir laman Oxford Universiry Press, pada Rabu (11/12/2024), setelah pemungutan suara yang melibatkan lebih dari 37.000 orang, brain rot resmi dinobatkan sebagai Oxford Word of the Year 2024.
Menurut penelitiannya, istilah ini menggambarkan sebuah fenomena kemerosotan mental atau intelektual akibat konsumsi berlebihan terhadap konten receh, terutama di media sosial.
Penggunaan istilah brain rot ini melonjak 230% dalam setahun terakhir. Ini menjadi sinyal betapa besarnya dampak budaya digital terhadap pola konsumsi konten masyarakat
Dulunya, brain rot hanya sekadar guyonan di media sosial, khususnya Tiktok, tetapi dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi, kini istilah ini diakui sebagai cerminan zaman digital.
Bahkan, meski terkesan kekinian, istilah brain rot sebenarnya sudah muncul sejak 1854 di buku Walden karya Henry David Thoreau.
Ia mengkritik masyarakat yang cenderung menyukai hal-hal simpel dibandingkan ide-ide kompleks, yang menurutnya menunjukkan kemunduran mental.
Dipopulerkan oleh Gen Z dan Gen Alpa
Fast forward ke era digital, istilah brain rot dihidupkan kembali oleh Gen Z dan Gen Alpha. Mereka sering menyebut brain rot untuk menggambarkan video absurd.
Adapun konten berkualitas rendah, Biasanya, jenis konten ini berupa hiburan. Seperti halnya, video lucu yang berisi insiden-insiden memalukan, meme absurd, konten related, hingga tren-tren receh lainnya.
Seperti halnya istilah Skibidi Toilet atau meme viral Only in Ohio. Bahkan, muncul istilah turunan seperti “skibidi” untuk sesuatu yang aneh atau “Ohio” untuk hal memalukan.
Tak bisa dipungkiri, konten jenis ini memang sah-sah saja karena tidak terkait dengan larangan tertentu selama tidak bersifat menyinggung sara atau semacamnya.
Selain itu, konten semacam ini juga memang marketnya sangat luas sehingga menguasai algoritma media sosial karena mudah menarik perhatian.
Bahkan, karena peminatnya luas, ini menjadi ide konten yang dimanfaatkan oleh para kreator, influencer, atau digital marketer untuk mendobrak engagment akun media sosial yang tinggi.
Dampak Konten Receh dan Relate
Jika dilihat dari dampaknya, konten-konten receh dan relate yang dikonsumsi berulang kali justru beresiko serius terhadap keberlangsungan hidup.
Pasalnya, kesenangan instan dari konten receh membuat otak terbiasa menerima informasi tanpa usaha. Hasilnya, kemampuan berpikir kritis dan fokus menurun drastis.
Selain itu, hal-hal yang relate dalam konten, sering kali tidak melihat sisi baik dan buruk bahkan cenderung menormalisir kebiasaan buruk.
Seperti halnya, konten yang ditunjukkan untuk mencari validasi bahwasannya kebiasaan buruk tidak hanya dilakukan oleh seorang tetapi juga banyak orang dan ingin dianggap normal.
Hal tersebut sempat disinggung oleh seorang seorang kreator @lailsjournal, yang menggambarkan bagaimana konten receh dengan embel-embel relate itu sebenarnya justru berbahaya.
Ia menggambarkan, dengan salah satu konten berisi " tidak bercerita tetapi..." menampilkan kondisi kamar yang berantakan, kemudian ditulis kata "relate kan?".
Tentu semakin banyak konten receh seperti ini, akan berdampak buruk terhadap pola pikir dan perilaku hidup, seolah berantakan adalah yang normal dan banyak orang melakukan itu ketika banyak masalah.
Bahkan, menurut studi ilmiah menunjukkan, kinerja otak itu kualitasnya bergantung dengan apa yang dikonsumsi, dengan demikian jika asupan yang diberikan receh, maka speknya pun menurun.
Dalam hal ini, penelitian Craig Jackson, profesor psikologi di Birmingham City University, menjelaskan bahwa meskipun brain rot tidak merusak otak secara fisik.
Tetapi, brain rot memengaruhi cara otak memproses informasi, hingga membuatnya lebih lambat dan kurang kreatif.
Selain itu, penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Abnormal Psychology juga menemukan bahwa kebiasaan mengonsumsi konten berkualitas rendah dapat menurunkan kemampuan otak.
Khususnya dalam hal berpikir mendalam dan meningkatkan risiko gangguan mental seperti kecemasan dan depresi.
Lantas, Bagaimana Mencegah Brain Rot?
Meski terdengar mengkhawatirkan, brain rot sebenarnya masih dapat dicegah dengan langkah-langkah sederhana sebagai berikut:
1. Batasi Waktu Layar
Pengurangan waktu di depan layar terbukti meningkatkan kesehatan mental dan kualitas tidur. Gunakan fitur pembatas waktu di aplikasi atau tetapkan jadwal khusus untuk berinteraksi dengan media sosial.
2. Lakukan Digital Detox
Beristirahat sejenak dari media sosial, meski hanya sehari, tentu dapat membantu mengurangi stres digital dan memulihkan keseimbangan mental.
3. Pilih Konten Berkualitas
Gantikan konsumsi konten receh dengan aktivitas yang merangsang otak, seperti membaca buku, menonton dokumenter, atau mengikuti diskusi edukatif, untuk membantu meningkatkan kreativitas dan keterampilan berpikir kritis.
4. Aktivitas Fisik dan Menggeluti Hobby
Olahraga teratur, melakukan pekerjaan rumah, atau bahkan menggeluti hobby seperti menulis, berkebun dan semacamnya dapat meningkatkan kesehatan otak dan menjaga daya pikir tetap tajam.
5. Latih Mindfulness dan Meditasi
Menurut pakar psikolog dan sejumlah ahli di bidang ini, praktik meditasi dan kesadaran penuh efektif untuk memulihkan fokus dan mengurangi gejala kecemasan termasuk brain rot.
Dengan demikian, menikmati konten ringan sesekali tentu sah-sah saja, tetapi jika berlebihan, efeknya brain rot, yang dapat memengaruhi kualitas hidup.
Lebih dari itu, fenomena ini menjadi refleksi bagaimana budaya digital modern mengubah cara berinteraksi dengan dunia.
Generasi muda, yang menjadi motor tren ini, sering menggunakan istilah brain rot sebagai bentuk sindiran sekaligus alarm terhadap gaya hidup di era digital.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H