Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karya Karma Bagian 13

25 Oktober 2016   18:34 Diperbarui: 28 Oktober 2016   18:29 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disclaimer:

Gore-horror theme. Karya fiksi ini berisi kekerasan, darah, dan kata-kata kasar. Bagi yang tidak berkenan, cukup membaca sampai disini. Salam :-)

Sambil berlari W. bukan menuju ruang farmasi. Ia buang suntikan berisi sianida. Ia pilih melepas baju suster di ruang ganti dan pergi meninggalkan rumah sakit. Ada begitu banyak tanya dalam fikirannya. Ada sesuatu yang tidak beres dengan apa yang Mariam igaukan. Tidak mungkin dalam tidak sadarnya, Mariam bias tahu nama lengkap W.

Siapa Mariam? Kenapa ia tahu namaku? Ku tidak pernah bilang nama lengkapku kepadanya.’ W. berjalan lambat sambal fikirannya terus bertanya.

Apa yang sebenarnya terjadi. Abah mungkin tahu?’ (Bagian 12)

* * *

“Penggal kepalanya sekarang!” ucap Sadam sang kapten.

“Tapi dia keliatan masih anak-anak kapten?” ujar Norman bawahannya.

“Turuti perintah saya! Kalau sudah dewasa, anak ini akan jadi pemberontak. Percayalah. Lakukan prajurit! Sadam memerintahkan kembali.

“Tidak kapten. Saya tidak mau membunuhnya.” Ujar Norman. Sementara sang anak yang dianggap pemberontak tesengal dan bingung dengan apa yang terjadi. Ia ingin dibunuh atau dibebaskan ia tidak tahu.

“Halah kau ini pengecut Norman” seketika itu pula Sadam mengambil machete yang dibawa Norman.

“Crashh!” kepala si anak yang diduga pemberontak putus sekali tebas. Tubuh si anak menggelinjang serupa ayam yang baru saja terpotong.

“Grooookkk…grrooookkk!” suara darah yang muncrat dari leher yang terpotong memberi nuansa mengerikan. Suara paru-paru yang memompa darah kini memuntahkan darah dan oksigen keluar. Seperti sumber air yang baru saja ditemukan, darah mengalir perlahan namun pasti. Merah menggenang di jasad sang anak.

Ada tatapan kepedihan sekaligus ketakutan di kepala si anak yang diduga pemberontak. Matanya tidak mau terpejam. Rasa sakit yang begitu sangat mungkin dirasakan saat kepalanya berpisah dengan badan. Tepat di bekas pemenggalan, urat dan tulang leher bersimbah darah. Menyiratkan betapa maut tebasan machete yang Sadam ayunkan dan memutus hidup dan leher si anak.

“Kapten harus bertangungjawab! Ini menyalahi aturan perang!”

“Persetan dengan aturan itu Norman. Kuburkan saja jasad anak ini. Perduli sekali negara mencari pembunuhnya. Mereka akan menyangka tentara pemerintah yang memenggal dan menguburnya!”

“Tapi, kita adalah tentara perdamaian kapten. Kita harus melindungi yang tidak berdaya bukan?”

“Ah sudah jangan banyak bicara prajurit. Pembunuhan ini juga untuk melindungi masa depan negara memuakkan ini. Cepat kuburkan jasadnya!” Sadam memerintahkan Norman dan beberapa prajurit menguburkan jasad. Masih segar darah menggenang. Masih kentara juga kengerian yang dilakukan Sadam.

Sadam adalah kapten dari grup Helenia di negara konflik di Afrika. Pemerintah mengirimnya bukan tanpa alasan. Sudah banyak negara konflik ia laluli. Mulai dari negara-negara Timur Tengah sampai daerah Siberia di Rusia, ia lalui dengan baik. Pengalaman ia di negara konflik menjadikan Sadam senor dalam hal perdamaian.

Buatnya perdamaian adalah omong kosong. Dan tentara perdamaian tak lain adalah pasukan pembantu tentara pemerintah. Dan ia tahu apa yang harus ia lakukan. Membunuh untuk perdamaian adalah salah satunya. Dan ia sudah lakukan hal ini berkali-kali. Semua demi perdamaian negara atas perintah tentara pemerintah.

Dan usai dari mengurusi konflik di negara-negara Afrika, Sadam memilih mengundurkan diri. Ia ingin menjalani hidup seperti orang biasa. Sudah puluhan tahun di medan perang membuatnya menjadi pribadi yang keras.

Seusai kembali ke tanah air, ia bertemu Safitri. Seorang gadis yang ia kenal saat SMA dulu. Ia tahu Safitri suka padanya. Namun ia dulu begitu canggung dan lugu mengungkapkan cinta. Namun kini Sadam lebih berani. Cintanya pun bersambut di hati Safitri.

Tak lama mereka menjallin mahligai rumah tangga. Sadam mulai banyak mempelajari sastra. Kadang ia memanggil istrinya dengan Nona. Dan tak jarang pula ia menyambut tamunya dengan kata Tuan dan Nyonya.

“Anak kita akan segera lahir 3 bulan lagi. Kira-kira ayah mau dipanggil ayah atau daddy atau papa sama anak kita?” tanya Safitri sambal merebahkan diri di samping Sadam. Obrolan kecil menjelang tidur menjadikan Sadam makin cinta kepada istrinya. Apalagi saat tahu Safitri mengandung anaknya. Gembiranya bukan main hati Sadam.

Hatinya yang kasar dan brutal seolah berubah total saat bertemu Safitri. Dan bertambah kian elok dan penyanyang saat Sadam tahu Safitri hamil.

“Apa yang mah.....? Bingung aku.”

“Yang beda dong. Masa panggil ayahnya nanti Tuan Sadam?” ujar Safitri sambal terkekah.

“Abah… ya Abah saja. Sama seperti ayah dulu panggil bapak di rumah.”

“Abah? Menarik juga. Selamat malam Abahku sayang” Safitri lalu memeluk dan mulai terlelap tidur.

Sadam masih tersenyum dan membayangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya saat anaknya lahir nanti.

* * *

Sial. Kenapa mereka bisa tahu gubug ini?’ Abah bertanya dalam hati. Ia pun menelepon W.

“W. ada beberapa polisi datang kesini. Coba cari tahu kenapa ia bias kesini nak?” tanya Abah tanpa basa-basi.

“Apa? Kenapa mereka bias sampai sana. Baik Abah akan segera saya periksa. Mungkin Niko yang beberapa malam lalu mengantarkan Sofyan terendus jejaknya.”

“Siapapun dia, coba kamu telusuri nak.” Abah segera menutup telepon.

Ia pun segera mengambil container berisi potongan tangan Mariam. Segera ia keluarkan container tadi ke hutang di belakang gubug. Abah lalu membukanya.

Bau busuk bercampur amis telur menyeruak. Dibiarkan container berisi tangan dan telur busuk itu begitu saja. Dan tak lama, lalat-lalalt pun berdatangan. Abah tahu itu.

Betapa bau busuk akan menarik lalat-lalat datang. Dan ia sudah merencanakan untuk mengumpulkan lalat-lalat untuk diberikan pada Mariam dan Sofyan di ruang Kesempurnaan. Biar mereka tahu rasanya membusuk dan dirubungi ribuan lalat.

Biar mereka tahu rasanya membusuk. Rasanya kehilangan nyawa. Betapa Abah dulu pun membusuk harapannya karena orang-orang seperti Mariam dan Sofyan. Biar mereka membusuk di dalam sana.

Dasar orang busuk!’ Abah meninggalkan container tadi di tengah hutan.

Kini ia harus memeriksa apa saja yang hilang saat polisi tadi menggeladah gubugnya.

* * *

“Saya dan Danu akan membuntuti target dari belakang. Rangga dan Husein segera mengikuti saat target sudah masuk ke jalan tol. Faham?” ucap Irham.

“Tapi bung, target kita sekarang polisi? Apa kita tidak butuh senjata yang lebih besar?” Husein tiba-tiba bertanya kepada Irham.

“Baw saja FN atau Colt kalian. Kita cukup bias menangkapnya hidup-hidup. Untuk lalu kita eksekusi di daerah jauh dari kota. Jika kondisi berubah baku tembak. Kalian segera saja lepas tembakan dan bunuh target. Urusan menghilangkan jasadnya kita urus bersama. Mengerti?” Irham menjelaskan.

“Lalu apa bayaran kita naik bro!” Rangga dengan santainya bertanya.

“Ya tentu. Karena target kita memang bukan orang sipil. Dan juga mungkin target sudah terlatih untuk menembak dan bereaksi cepat dalam suasan genting. Kalian harus waspada dan siap.”

“Berarti kita hentikan mobil target. Lalu kita bekap dan angkut dia ke dalam mobil kita bung?” tanya Husein.

“Rencana A begitu. Tapi kalau terjadi suasana gawat. Segera bungkam dan habisi target.” Irham berkata tegas.

Danu yang dari tadi terdiam memperhatikan mengetahui ada rasa takut pada teman-temannya. Karena Danu sudah pelajari berkas target, W. alias Wardah. Ia bukan polisi sembarangan. Dan Danu tahu apa yang akan mereka hadapi suasana hidup dan mati. Sepertinya hal ini Danu bias rasakan di nada bicara Irham yang ragu. Namun ia tutupi dengan nada yang cukup tegas.

* * *

Bersambung

Wollongong, 25 Oktober 2016

10:34 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun