Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Horor dan Misteri] Karya Karma Bagian 6

30 September 2016   20:53 Diperbarui: 30 September 2016   21:52 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disclaimer:

Gore-horror theme. Karya fiksi ini berisi kekerasan, darah, dan kata-kata kasar. Bagi yang tidak berkenan, cukup membaca sampai disini. Salam :-)

Abah segera menyeret jasad Niko ke samping gubuk. Walau sudah tua, tapi Abah tidak kalah tegap dan kokoh seperti Niko. Abah adalah pensiunan tentara. Sudah puluhan perang ia lalui di daerah konflik di negara lain. Namun yang ia dapat saat pulang ke negri ini adalah busuknya sistem korup. Sampai istri dan anaknya menjadi korban ketamakan lingkaran setan ini.

"Buuhhggh!" Tersia jasad Niko dilemparkan ke dalam lubang besar.  Tanah dan urea segera menutup jasad Niko. (Bagian 5)

* * *

Pintu ruang Kesempurnaan terbuka. Terang segera menyerang mata Mariam. Ribuan lalat berhamburan keluar. Beberapa masih mendekap jasad Johan. Abah segera membaringkan Hendra di lantai.

"Mau apa kau?" Mariam berusaha bertanya. Ingin rasanya dia berlari. Tapi badannya sudah sangat kepayahan.

"Hai Nona Mariam. Saya bawakan teman. Kenal Tuan Hendra bukan? Ucapkan selamat datang jika ia terbangun." 

"Pak Hendra?? Mau kau apakan dia??"

"Bukankah kalian bertiga bersekongkol apik dalam lingkaran korup kalian. Saatnya kalian dipersatukan. Silahkan kalian bersekongkol menunggu ajal bersama." Abah segera beranjak pergi dan menutup pintu ruang Kesempurnaan.

"Sraak!!" panel pintu dibuka Abah.

"Satu hal lagi Nona Mariam. Kalau Nona sudah bosan hidup, di kantong kemeja tuan Hendra ada pistol. Atau kalau kalian berdua berhasil lolos nanti. Cari dan bunuh aku jika mampu." menyeringai Abah sambil menutup panel.

Segera Mariam menghampiri Hendra dan mencari pistol yang Abah sebut. Ya. Pistolnya memang benar ada. 

Sesaat Mariam berfikir ucapan Abah benar. Buat apa memperpanjang kepayahan dan penderitaan ini. Lebih baik mati. Dengan mudah Mariam arahkan pistol ini ke pelipisnya. Dor! Hilanglah penderitaan yang selama ini ia rasa menyiksa. Namun bisikan kecil merubah hal itu.

"Pak Hendra... pak bangun!" Mariam coba membangunkan Hendra.

Hendra segera tersadar dalam gelap ia coba memahami pandangan matanya. Gelap ruangnya ini begitu pekat. Mungkin Hendra merasa dirinya sudah mati.

"Siapa? Siapa kamu?" Hendra terduduk dan menjauh dari Mariam. 

Bau bangkai, darah dan apak memenuhi hidung Hendra. Hendra segera muntah mengeluarkan isi perutnya. Muntah semuntah-muntahnya. Bau bangkai menusuk yang tidak pernah ia baui selama menjadi pejabat. Hendra biasa hidup mewah dan wangi. Walau busuknya perilaku Hendra mungkin lebih menyengat daripada jasad Johan.

"Dimana ini? Kamu siapa perempuan??" Dalam kebingungannya Hendra menyentuh tubuh Johan. Ribuan lalat mendengun berhamburan. Hendra ketakutan bukan main. Wajahnya memucat bak mayat.

"Tenang pak Hendra... ini saya Mariam. Mariam dari C.V Delta Rona"

"Ahh.. Mariam. Kenapa kita disini. Ruang apa ini? Bau bangkai apa ini??" Hendra semakin panik dan ketakutan.

"Bapak di ruang Kesempurnaan. Dan kita dibawa oleh orang aneh itu untuk mati disini. Johan sudah mati. Persis di samping pak Hendra. Kita harus keluar dari sini pak Hendra."

"Apa maksud semua ini? Kenapa Johan bisa mati?" Ketakutan dan kebingungan tergambar di wajah Hendra. Ciut segera nyalinya.

"Orang yang membawa bapak ingin kita mati disini. Mati bersama busuknya perbuatan kita. Bapak dan CV saya sudah tahu pasti kita banyak melakukan kebusukan bisnis. Mungkin orang itu mau kita mati karena korupsi yang kita lakukan."

"Sial. Darimana orang itu tahu kita ambil uang sana-sini. Bagaimana kita keluar dari sini Mariam?" Hendra berdiri dan mencoba mencari arah.

"Di sebelah kanak pak Hendra ada pintu. Coba lihat apa ada gagang pintunya?"

Hendra segera beranjak ke arah kanan dalam gelap.  Dalam gelap total, Hendra mencoba meraba tembok atau pintu seperti yang diucapkan Mariam.

"Sepertinya ada pintu. Tapi tidak ada gagang pintu untuk membuka. Sial!! Bagaimana kita keluar dari sini!" Panik dan bingung Hendra berbicara. Intonasi putus asa nyata di suara Hendra.

Mariam mendekati Hendra sekuat tenaga menyeret tubuhnya.

"Ini pak, ada pistol yang sengaja ditinggalkan bajingan yang membawa kita ke sini. Bapak coba tembak pintunya. Siapa tahu bisa merusak pintu dan kita bisa keluar?" Melangkah pelan ke arah Marian, sergap Hendra mengambil dan mundur mencari jarak untuk menembak.

"Door!!...". "Tang...!" ternyata pintunya terbuat dari baja. Suara pantulan peluru begitu jelas terdengar.

"Terkutuk ruang ini!! Pintunya dari baja. Tidak mungkin ditembus peluru Mariam? Apa yang harus kita lakukan??" Pasrah dan putus asaHendra bertanya.

"Mungkin kita akan mati membusuk disini pak Hendra" Mariam menjawab dengan sinis dalam kebingungan.

"Mati? Kau sudah gila Mariam!" Hendra mondar-mandir tak keruan.

"Bahkan sebelum gila, saya sudah mati pak... Biar saya pakai pistolnya untuk bunuh diri saja pak?" Mariam meminta Hendra menyerahkan pistolnya.

"Doorr!!" tiba-tiba tembakan terdengar diikuti jatuhnya tubuh Hendra dan pistol.

"Pak Hendra!!" anyir darah segar menyampur sengat bau mayat ruang ini. Tak disangka Hendra menghabisi nyawanya sendiri. Secepat ini.

* * *

"W. kita harus segera berbenah. Polisi sudah mengendus gubuk kita. Segera hilangkan semua jejak yang menuju kedirimu atau Abah." Abah berbicara di telpon.

"Baik Abah. Saya sebentar lagi akan pulang!"

"W. diminta Inspektur Jenar ke ruangnya sekarang." Adam rekannya tiba-tiba segera muncul di hadapan W..

"Baik. Segera kesana. Terima kasih." 

'Jangan-jangan Inspektur Jenar tahu saya terlibat. Sial!' W. berprasangka di dalam hati.

"Duduk W." Inspekur Jenar mempersilakan duduk. Di umurnya menjelang 40 tahun, isnpektur Jenar masih terlihat muda. Walau garis uban nampak di rambutnya yang klimis. Namun sifatnya yang tenang membuatnya penuh pesona seorang pria.

"Terima kasih." 

"Bagaimana dengan berkas yang saya berikan? Sudah diteliti? Kira-kira para pejabat atau pengusaha di sana terlibat hilangnya Mariam dan Johan?" Inspektur Johan membuka obrolan.

"Sudah pak. Semua sepertinya terlibat. Namun belum ada bukti terang." W. menjawab. W. tahu yang sebenarnya akan diutarakan inspektur Jenar bukan tentang ini. Gerakan mata dan bibirnya menahan suatu makna. W. menunggu dan mencoba menjaga ketenangan.

"Kemarin pak Hendra, si pejabat rekanan Mariam dan Johan juga diculik orang tidak dikenal. Kamu tahu W.?" Isnpektur Inspektur Jenar merubah posisi duduknya yang bersandar menjadi mendekati meja kerjanya.

"Tidak.. tidak tahu pak."

"Niko dari Unit Terorisme kamu kenal W.?" Inspektur Jenar mulai membaca raut wajah W.. Ada peperangan membaca perangai di ruang itu. W. berusaha tetap tenang. Sedang inspektur Jenar berusaha menyelidik semua detail di wajah W.

"Kenal dari rekan. Jika Niko terkait dengan kasus penculikan ini dengan Niko saya kira mustahil. Kenapa ditanyakan tentang Niko pak?" W. berusaha melempar tanya. Mencoba mencari celah menyudahi ini semua. Karena W. tahu Niko sudah mendapat karma kecerobohannya oleh Abah.

"Karena Niko sudah sejak kemarin tidak diketahui keberadaannya. Mungkinkah dia juga diculik pelaku yang sama yang menculik Mariam, Johan atau Hendra. Mudah-mudahan saya salah duga." Pandangan tajam inspektur Jenar diarahkan ke W..

"Kalau ada dugaan sebaiknya kita selidiki bukan? Kenapa harus bertanya ke saya?" W. mulai sinis menjawab.

"Baiklah kita selidiki dugaan saya ini nanti. Terima kasih W."

Tanpa diminta W. segera beranjak pergi. 

'Sial! Aku terpancing! ' Dengan sungut emosi W. bergumam dalam hati.

'Abah... Abah semoga kau baik-baik saja!' W. segera mempercepat langkahnya.

* * *

Bersambung

Fiksiana
Fiksiana
Wollongong, 30 September 2016

11:53 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun